Minggu, 30 September 2012

Minggu, 09 September 2012

Manajemen Berbasis Madrasah


BAB I
PENDAHULUAN
Istilah manajemen berbasis sekolah/madrasah (School Based Management) pertama kali muncul di Amerika serikat ketika masyarakat mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat setempat. Manajemen Berbasis Sekolah/ Madrasah mulai dipopulerkan di Indonesia sejak tahun 1994-an dan dicobakan sejak tahun 1998. Ada banyak harapan tersimpan dalam pendekatan baru tersebut.
 Manajemen Berbasis Sekolah/Madrasah merupakan paradigma baru manajemen pendidikan, yang memberi otonomi luas pada sekolah dan pelibatan masyarakat dalam kerangka kebijakan nasional. Otonomi diberikan agar sekolah leluasa dalam mengelola sumber daya, sumber dana, sumber belajar, dan mengalokasikannya sesuai prioritas kebutuhan serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat. Otonomi tersebut tidak serta merta menjadikan sekolah melepaskan diri dari kontrol pemerintah. Aturan kelembagaan yang bersifat fungsional operasional sebagai bagian dari lembaga negara di bidang pendidikan, tentu  tetap berlaku.
Kebijakan Manajemen Berbasis Madrasah memberi peluang madrasah untuk menjadi semakin unggul. Sekolah ber-MBM artinya dalam menyelenggarakan manajemen pengelolaannya berorientasi pada kepentingan sekolah. Secara mandiri madrasah menentukan visi, misi, tujuan dan segala aktivitas pelaksanaannya. Kurikulum sekolah MBM disusun sesuai tujuan madrasah, sebagai hasil kesepakatan kehendak madrasah,  orang tua, dan masyarakat terutama  pengguna lulusan madrasah.
Segala aktivitas pendidikan di madrasah diorientasikan untuk peningkatan mutu pendidikan sekolah yang bersangkutan. Kontribusi orang tua dan masyarakat terhadap sekolah tidak hanya tanggung jawab finansial terhadap penyediaan sarana prasarana pendidikan di sekolah, tetapi juga tanggung jawab terhadap pengendalian mutu sekolah. Fungsi pengawasan pun dilakukan oleh orang tua dan masyarakat terhadap sekolah secara utuh dan menyeluruh.
Bertambahnya sekolah dan madrasah ber-MBS/M di seluruh Indonesia baik secara kuantitas maupun kualitas akan semakin memunculkan sekolah dan madrasah unggulan. Sebuah obsesi jika semua madrasah ber-MBM maka  kompetisi  unggul dari yang unggul menjadi wacana. Daya saing secara global dalam hal ini akan memberi aroma positif terhadap pendidikan di Indonesia.
Untuk membatasi permasalahan dalam pembahasan, maka dalam makalah ini akan membahas tentang pola manajemen berbasis sekolah/madrasah, pengertian MBM, bagaimana implementasi di madrasah, apasaja hambatan-hambatan dalam pelaksanaanya, dan bagaimana manajemen pengelolaan MI yang ideal menurut penulis.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Konsep Manajemen berbasis madrasah (MBM)
1.    Pola Manajemen berbasis madrasah
Seiring dengan berlakunya Undang-Undang RI No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Otonomi Daerah) dan bukti-bukti empiris tentang kurang efektif dan efisiensinya manajemen berbasis pusat, maka Depdiknas melalui perubahan dan penyesuaian, salah satu diantaranya adalah melalui pergeseran pendekatan manajemen, yaitu manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah/ madrasah (MBM).
Adapun untuk menelaah lebih lanjut tentang paradigma baru perubahan pola lama ke pola baru secara rinci dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.

Pola Lama    Menuju    Pola Baru      
- Subordinasi    à    - Otonomi      
- Pengambilan keputusan terpusat    à    - Pengambilan Keputusan
 Partisipatif      
- Ruang gerak kaku    à    - Ruang gerak luwes      
- Pendekatan birokratik    à    - Pendekatan profesional      
- Sentralistik    à    - Desentralistik      
- Diatur    à    - Motivasi diri      
- Overregulasi    à    - Deregulasi      
- Mengental    à    - Mempengaruhi      
- Mengarahkan    à    - Memfasilitasi      
- Menghindari risiko    à    - Mengelola risiko      
- Gunakan uang seenaknya    à    - Gunakan uang seefisien
   Mungkin      
- Individu tercerdas    à    - Team work cerdas      
- Informasi terpribadi    à    - Informasi terbagi      
- Pendelegasian    à    - Pemberdayaan      
- Organisasi hierarkis    à    - Organisasi datar   
(Diadaptasi dari Depdiknas, 2000)
Berdasarkan Tabel 1 di atas, dapat dikemukakan bahwa otonomi dapat diartikan sebagai kemandirian yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri. Kemandirian dalam perencanaan program maupun rencana anggaran merupakan tolok ukur utama kemandirian madrasah. Pada gilirannya kemandirian yang berlangsung secara terus menerus akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan madrasah. Jadi otonomi sekolah adalah kewenangan madrasah untuk mengurus dan mengatur kepentingan semua warga madrasah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga madrasah sesuai paraturan dan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku.
Dalam hal ini kemandirian harus didukung dengan sejumlah kemampuan: kemampuan mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi yaitu menghargai perbedaan pendapat, kemampuan bermobilisasi sumber daya, kemampuan berkomunikasi dengan baik, dan kemampuan memecahkan masalah sekolah.
Fleksibilitas dapat diartikan sebagai keluwesan-keluwesan yang diberikan kepada sekolah untuk mengelola, memanfaatkan, dan memberdayakan sumber daya sekolah seoptimal mungkin untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan keluwesan-keluwesan yang lebih besar diberikan kepada sekolah, maka akan lebih lincah dan tidak harus menunggu arahan dari atasannya untuk mengelola, memanfaatkan dan memberdayakan sumber daya. Dengan cara ini, sekolah akan lebih responsif dan cepat tanggap atas segala tantangan yang dihadapi. Namun demikian keluwesan yang dimaksud harus tetap dalam koridor kebijakan dan peraturan perundangan yang ada.
Pendekatan profesionalisme pada pendekatan birokratis, apa yang dilakukan oleh sekolah didasarkan atas kemauan atasan mana yang dianggap baik dan benar oleh pemimpin, itulah yang harus dilaksanakan. Pada pendekatan profesionalisme yang dilakukan sekolah berorientasi pada keahlian pada warga sekolah, sehingga profesionalisme yang dimiliki dapat membimbing tingkah laku dan arahan kepada semua warga sekolah bukan semata-mata pada keluwesan.
Pola manajemen desentralistik, keputusan kekuasaan tidak akan terjadi lagi karena banyak kewenangan pusat wilayah dan Diknas kota yang diserahkan sekolah. Dengan demikian sekolah lebih berdaya dan semua keputusan yang dibuatnya akan lebih efektif dan efisien.
Deregulasi pendidikan akan mampu menumbuhkan daya kreativitas. Prakarsa sekolah, tidak tergantung pada jumlah dan jenis, perintah, membuat sekolah seperti robot, membunuh kreativitas sekolah terutama gurunya. Dengan deregulasi akan membuat sekolah sebagai pusat perubahan, mampu memberikan kelenturan dalam mengelola sekolahnya. Mempengaruhi cenderung ditekankan pada input dan proses sehingga terhindar dari kemungkinan kesalahan, oleh karena itu manajemen berbasis madrasah lebih menekankan pada “mempengaruhi” atau “mengontrol”. Memfasilitasi dengan maksud lebih menekankan pada pemberian “fasilitas”, misalnya bagaimana menurut pendapat Anda program dan perencanaan ini dimana kelebihan dan kelemahannya, bagaimana pemecahannya, sehingga terjadi inovasi, kreativitas bertumbuh subur.
“Mengelola risiko” pada pola manajemen baru lebih menganjurkan “mengambil risiko” dalam hal ini didasari oleh kenyataan yang terjadi bahwa orang-orang yang berani untuk mengambil risiko ternyata cenderung lebih produktif, kreatif dan lebih maju dalam menghadapi permasalahan ke depan dibanding dengan orang yang suka “menghindari risiko”.
Penggunaan uang yang seefisien. Kenyataan pada pola manajemen lama menekankan pada “uang harus dihabiskan semua”, akan tetapi pada pola manajemen baru bergeser menjadi “gunakan uang secukupnya”, sehingga memungkinkan meningkatkan efisiensi sekolah. Kelebihan uang dapat digunakan pelaksanaan program berikutnya walaupun dalam hal ini tetap dituntut terstrukturisasi anggaran pola lama.
“Team work” (kebersamaan) merupakan karateristik yang dituntut oleh MPMBM, karena output pendidikan merupakan hasil kolektif warga sekolah, bukan hasil individual. Team work harus kompak, cerdas dan dinamis. Inti budaya kerjasama antar fungsi dalam sekolah, antar individu dalam sekolah, harus merupakan kebiasaan hidup sehari-hari semua warga sekolah, dengan demikian akan mampu meningkatkan kinerja sekolah.
“Informasi Terbagi” pada pola manajemen lama informasi hanya dimiliki oleh sejumlah warga sekolah khususnya kepala madrasah, wakil dan stafnya serta sebagian guru. Bahkan hal tersebut umumnya tidak disebarluaskan kepada warga sekolah (terpribadi). Dalam pola sekolah dengan manajemen baru informasi harus tersebar, terbagi secara merata ke seluruh warga. Tentu saja yang dimaksudkan adalah tidak setiap hanya diberikan kepada mereka yang memang berhak menerimanya.
Pemberdayaan manajemen pendidikan sampai saat ini masih diwarnai dengan praktik-praktik penyalahgunaan pendelegasian tugas dan fungsi serta tanggung jawab semata tanpa diikuti penyerahan kewenangan. Dengan demikian, sekolah tidak berdaya sama sekali, akan tetapi dengan pemberdayaan melalui penyerahan tugas dan fungsi, tanggung jawab, hak dan kewajiban yang disertai kewenangan untuk mengambil keputusan, maka hanya sekolahlah yang merupakan “pusat perubahan” yang sebenarnya terutama sumber daya manusianya. Sebaik apapun kebijakan dari pusat namun, jika sekolah tidak berubah, maka tidak akan pernah ada perubahan.
Organisasi datar, dari perjalanan panjang pendidikan di Indonesia, bahkan perubahan kurikulum 1968 sampai dengan kurikulum 1994 belum menunjukkan perubahan yang signifikan, apalagi organisasi pendidikan khususnya organisasi sekolah masih diatur dengan berlapis-lapis manajemen yang rumit, sehingga sekolah lamban untuk beradaptasi terhadap perubahan-perubahan, dan kurang tanggap atas isu-isu kritis strategis yang menyangkut kemajuan sekolah. Maka dengan organisasi baru sekolah lebih responsif, antisipatif terhadap isu strategis kritis, termasuk perubahan-perubahan sosial secara umum.
Simpulan dari uraian tabel tersebut di atas yaitu:
a.    Pada pola lama, tugas dan fungsi sekolah lebih pada melaksanakan program daripada mengambil inisiatif merumuskan dan melaksanakan program peningkatan mutu yang dibuat sendiri oleh sekolah.
b.    Pada pola baru, sekolah memiliki wewenang lebih besar dalam pengelolaan lembaganya, pengambilan keputusan dilakukan secara partisipatif, dan partisipasi masyarakat akan semakin besar. Sekolah lebih luwes dalam mengelola lembaganya, pendekatan profesionalisme lebih diutamakan daripada pendekatan birokratis, pengelolaan sekolah lebih desentralistik. Perubahan sekolah lebih didorong oleh motivasi diri daripada diatur dari luar, regulasi pendidikan lebih sederhana, peranan pusat bergeser dari mengontrol menjadi mempengaruhi dan dari mengarahkan menjadi memfasilitasi dari menghindari risiko menjadi mengelola risiko, penggunaan uang lebih efisien karena sisa anggaran pada tahun yang lalu digunakan tahun berikutnya (efficiency based budgetting).
2.    Pengertian Manajemen Berbasis Madrasah
Menurut Malen, Ogawa dan Kranz manajemen berbasis sekolah/ madrasah secara konseptual dapat digambarkan sebagai suatu perubahan formal struktur penyelenggaraan sebagai suatu bentuk desentralisasi yang mengidentifikasi sekolah itu sendiri sebagai unit utama peningkatan serta bertumpu pada kewenangan pembuatan keputusan sebagai sarana penting dalam peningkatan.
Menurut Mulyasa MBS/M merupakan salah satu dari wujud reformasi pendidikan yang menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai. Otonomi dalam manajemen merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja para staf, menawarkan partisipasi langsung kelompok-kelompok tertentu, dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan.
Menurut Depdiknas (2001) Manajemen berbasis sekolah (MBS) atau “School Based Management” (SBM) merupakan bentuk alternatif yang dapat diartikan sebagai pengkoordinasian dan penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah (Stake Holders). MBS/M bertujuan memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan, keluwesan dari sumber daya untuk meningkatkan mutu sekolah dengan meningkatkan produktivitas sekolah, memberikan fleksibilitas, meningkatkan akutabilitas, mampu melakukan perubahan ke arah perbaikan.
Manajemen berbasis madrasah merupakan salah satu bentuk kebijakan pemerintah dalam bidang desentralisasi pendidikan dan merupakan salah satu implementasi dari pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan PP RI No. 25 tentang Otonomi Daerah.
Esensi manajemen berbasis madrasah adalah merupakan bentuk pengelolaan madrasah yang menjamin madrasah memiliki otonomi luas dalam mengelola sumber daya, melibatkan masyarakat dalam pengelolaan, serta tidak mengabaikan kebijakan nasional. Beberapa faktor yang merefleksikan kepentingan otonomi sekolah, yaitu terjaganya akutabilitas atau “accountability”, tercapainya staff, orang tua, dan siswa dalam pengambilan keputusan, dan tercapainya program-program pengembangan profesi dalam meningkatkan manajemen.
3.    Tujuan Penerapan Model MBM
Desain pengelolaan madrasah menggunakan MBM bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. MBM memberikan kekuasaan dan meningkatkan partisipasi madrasah dalam memperbaiki kinerja madrasah mencakup kepemimpinan madrasah, profesionalisme guru, layanan belajar peserta didik yang bermutu, manajemen madrasah yang bermutu, partisipasi orangtua peserta didik dan masyarakat.
Penerapan Manajemen Berbasis Madrasah bertujuan:
a.    Meningkatkan mutu pendidikan dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdaya sumber daya dan potensi yang tersedia.
b.    Meningkatkan kepedulian warga madrasah dalam menyelenggarakan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama.
c.    Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, sekolah, dan pemerintah tentang mutu sekolah.
d.    Meningkatkan kompetensi yang sehat antarmadrasah untuk pencapaian mutu pendidikan yang diharapkan.
4.    Prinsip Manajemen Berbasis Madrasah
Prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan MBM antara lain:
a.    Komitmen, kepala madrasah dan warga madrasah harus mempunyai komitmen yang kuat dalam upaya menggerakkan semua warga sekolah untuk ber-MBM
b.    Kesiapan, semua warga madrasah harus siap fisik dan mental
c.    Keterlibatan, pendidikan yang efektif melibatkan semua pihak
d.    Kelembagaan, madrasah sebagai lembaga adalah unit terpenting bagi pendidikan yang efektif.
e.    Keputusan, segala keputusan madrasah dibuat oleh pihak yang benar-benar mengerti pendidikan
f.    Kesadaran, guru-guru harus memiliki kesadaran untuk membantu dalam pembuatan keputusan program pendidikan
g.    Kemandirian, madrasah harus diberi otonomi sehingga memiliki kemandirian dalam membuat keputusan
h.    Ketahanan, perubahan akan bertahan lebih lama apabila melibatkan stakeholders madrasah
5.    Karakteristik MBS
Manajemen berbasis sekolah/ madrasah memiliki karakteristik sama dengan sekolah yang efektif, yaitu:
a.    Memiliki output, yaitu prestasi pembelajaran dan manajemen sekolah yang efektif.
b.    Efektifitas proses belajar mengajar yang tinggi
c.    Peran kepala madrasah yang kuat dalam mengkoordinasikan, menggerakkan, dan menyerasikan semua sumber daya pendidikan yang tersedia.
d.    Lingkungan dan iklim belajar yang aman, tertib, dan nyaman sehingga manajemen sekolah lebih efektif.
e.    Melakukan analisa kebutuhan, perencanaan, pengembangan, evaluasi kerja,, hubungan kerja, dan imbalan jasa tenaga kependidikan dan guru yang dapat memenuhi kebutuhan nafkah hidupnya sehingga mampu menjalankan tugasnya dengan baik.
f.    Pertanggungjawaban madrasah terhdap keberhasilan program yang telah dilaksanakan.
g.    Pengelolaan dan penggunaan anggaran yang sepantasnya dilakukan oleh madrasah sesuai kebutuhan riil untuk meningkatkan mutu layanan belajar. 
6.    Kepala madrasah Dalam Era MBM
Peran kepala madrasah dalam era MBM dapat dirinci sebagai berikut:
a.    Memiliki masukan manajemen yang lengkap dan jelas yang ditampilkan oleh kelengkapan administrasi serta kejelasan dalam tugas (apa yang harus dikerjakan), rencana (deskripsi produk yang akan dihasilkan) ketentuan-ketentuan/limitasi (peraturan perundang-undangan, kualifikasi spesifikasi, metode kerja, prosedur kerja, dan sebagainya) pengendalian (tindakan turun tangan), dan dapat memberikan kesan yang baik bagi lainnya.
b.    Memahami, menghayati, dan melaksanakan perannya sebagai manajer (mengkoordinasi dan menyerasikan sumber daya untuk mencapai tujuan), pemimpin madrasah memobilisasi dan memberdayakan sumber daya manusia), pendidik (mengajak murid untuk berubah, wirausahawan (membuat sesuatu bisa terjadi) penyelia( mengarahkan, membimbing dan memberi contoh), pencipta iklim kerja (membuat situasi kerja menjadi nikmati), pengurus/administrator (mengadministrasi), pembaru (memberi nilai tambah), dan pembangkit motivasi (menyemangatkan).
c.    Mampu menciptakan tantangan kinerjanya (di madrasah akan terjadi kesenjangan antara kinerja kenyataan dan kinerja harapan) berangkat dari sinilah, kemudian dirumuskan sasaran apa yang akan dicapai oleh sekolah, dilanjutkan dengan melakukan analisis (SWOT) dan berupaya mencari langkah-langkah pencegahannya.
d.    Menciptakan team work kompak/kohesif dan cerdas, serta menciptakan koneksi dan kesalingtergantungan antar fungsi dan antar warganya, sehingga membentuk suatu sistem yang utuh dan benar yang dapat menjamin kepastian dan kebermanfaatan hasilnya. Esensinya kepala madrasah mampu mengajak warganya untuk selalu berfikir sistem.
e.    Mampu menciptakan situasi dan menumbuhkan kreativitas dan memberikan peluang kepada warganya untuk melakukan eksperimentasi dalam rangka mencari penemuan-penemuan baru walaupun kurang akurat atau salah, sehingga dalam hal ini kepala madrasah mendorong warganya untuk mengambil risiko dan dilinsungi apabila hasilnya salah.
f.    Mampu dan sanggup menciptakan sekolah sebagai tempat belajar. Suatu lembaga pendidikan atau sekolah perlu penataan misalnya letaknya jauh dari kebisingan, suasana kelas yang sejuk. Mempunyai lapangan bermain saat beristirahat, sarana ibadah yang memadai, mempunyai lapangan olahraga, perpustakaan yang lengkap, laboratorium sebagai tempat siswa untuk praktik, dan yang lainnya sehingga sekolah benar-benar menjadi tempat belajar.
g.    Mampu dan mempunyai kesanggupan untuk melaksanakan manajemen berbasis madrasah sebagai konsekuensi logis dari pergeseran kebijakan manajemen dari manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis madrasah.
h.    Mampu memutuskan perhatian terhadap pengelolaan proses belajar-mengajar sebagai kegiatan utamanya, karena kegiatan-kegiatan lainnya dipandang sebagai kegiatan pendukung/penunjang proses belajar-mengajar, karena itu pengelolaan proses belajar mengajar dianggap memiliki tingkat kepentingan yang urgensi sehingga kegiatan ini dianggap komponen proses.
i.    Sanggup dan mampu memberdayakan madrasahnya, terutama sumberdaya manusia melalui pemberian kewenangan, keluwesan dan kemandirian sehingga nantinya komitmen yang tinggi dari warganya terhadap visi dan misi sekolah, tingkat kemandirian tinggi dan tingkat ketergantungan rendah, bersifat adaptif dan proaktif, sekaligus berjiwa kewirausahaan yang tinggi, bertanggung jawab terhadap hasil, memilki kontrol yang kuat terhadap input manajemen, komitmen yang tinggi terhadap dirinya dan dapat dimiliki oleh pencapian prestasinya. Adapun contoh yang dapat memberdayakan kepada warga madrasah: pemberian otonomik kepada warganya, penugasan kerja yang bermakna, pemecahan persoalan secara “team work”, variasi tugas, hasil kerja yang terukur, warga sekolah selalu didengar, ada penghargaan atas prestasi kerjanya atau ide-ide baru dan mengetahui bahwa warga madrasah adalah bagian terpenting dari madrasah.
    Kinerja mempunyai hubungan erat dengan produktivitas karena merupakan indikator dalam menentukan usaha untuk mencapai tingkat produktivitas organisasi yang tinggi. Sehubungan dengan hal tersebut maka upaya untuk mengadakan penilaian terhadap kinerja organisasi merupakan hal yang penting untuk mengetahui pekerjaan seseorang (kepala madrasah) sehingga perlu ditetapkan standar kinerja atau standard performance.
B.    Analisis Masalah di Lapangan
1.    Fenomena I
Kemenag: Pemda Harus Adil pada Madrasah
Sabtu, 10 April 2010, 01:15 WIB

Republika online JAKARTA--Kementerian Agama mendesak pemerintah daerah di seluruh Indonesia dari tingkat provinsi hingga kabupaten dan kota untuk memberikan perlakuan adil dan tidak diskriminatif pada madrasah. Hal itu karena siswa madrasah adalah warga negara dan memiliki hak untuk diperlakukan sama oleh pemda seperti siswa sekolah negeri.
'’Madrasah seharusnya mendapatkan perlakuan adil dan sama seperti daerah memperlakukan sekolah,’’ kata Direktur Pendidikan Madrasah Kemenag, Firdaus, kepada Republika, Jumat, (9/4). Menurut Firdaus, hingga akhir tahun lalu, jumlah seluruh madrasah tingkat MI, MTs, dan MA di Indonesia mencapai sekitar 40.218 buah. Dari jumlah itu, hanya 8,6 persen berstatus sebagai madrasah negeri. Sisanya 91,4 persen merupakan madrasah swasta yang dibiayai secara swadaya oleh masyarakat.
Firdaus menyebutkan, perbandingan porsi terbalik terjadi pada data jumlah sekolah umum tingkat SD, SMP, SMA, dan SMK. Sekitar 80 persen sekolah umum di Indonesia berstatus negeri dan sisanya 20 persen swasta. Hal ini berarti jumlah sekolah negeri yang didukung anggaran pemerintah yang bersumber dari pajak masyarakat jauh lebih besar dibandingkan madrasah negeri. Lebih sedikitnya jumlah madrasah negeri dibandingkan sekolah negeri disebabkan keterbatasan alokasi anggaran. Madrasah negeri hanya mendapatkan alokasi anggaran pengembangan pendidikan dari pemerintah pusat melalui Kementerian Agama. Sedangkan, sekolah negeri tidak hanya mendapatkan alokasi anggaran pendidikan dari pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan Nasional, tapi juga pemerintah daerah. Hal itu sehingga pengembangan kuantitas dan kualitas madrasah negeri tidak secepat sekolah negeri.
Menurut Firdaus, sebagian besar pemda tidak bertanggung jawab pada pengembangan pendidikan di madrasah negeri. Mereka menganggap madrasah negeri adalah milik Kemenag, jadi tidak perlu dibiayai anggaran daerah. Sedangkan, sekolah negeri merupakan tanggung jawab bersama pemerintah pusat dan daerah. ‘’Mereka menilai madrasah itu tanggung jawab vertikal pemerintah pusat dan mereka juga menggunakan alasan UU Otonomi Daerah,’’ katanya.

 Analisis:
Di dalam UU Nomor 22 tahun 1999, pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa “Agama merupakan bidang pemerintahan yang tidak di otonomikan”. Dalam Kemenag terdapat sekolah-sekolah keagamaan yang dalam hal ini Madrasah Ibtidaiyah (MI) Madasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA), sehingga pemerintah daerah menilai madrasah itu menjadi tanggung jawab vertikal pemerintah pusat dan terjadi perbedaan perlakuan terhadap sekolah umum dan madrasah.
Dalam upaya merespon desentralisasi pendidikan, Departemen Agama telah melayangkan Surat Menteri Agama nomor : MA/407/2000 tanggal 21 November 2000 yang diarahkan kepada Menteri Dalam Negeri dan otonomi daerah.surat itu berisi : Kewenangan penyelenggaraan pendidikan agama (PAI) pada sekolah umum dan penyelengaraan Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah diserahkan kepada Daerah Kabupaten dan   kewenanagan lain di bidang pendidikan sebagaimana dimaksud dalam PP No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom. Bab II pasal 2 ayat (3) angka II sepanjang yang menyangkut agama masih di bawah wewenang Departemen Agama.
Di Indonesia terdapat kelembagaan madrasah yang jumlahnya cukup signifikan. Jumlah MA sebanyak 4.687 (86 % diantaranya swasta), MTs sebanyak 12.054 (90% diantaranya swasta), dan MI sebanyak 23.517 (93% diantaranya swasta). Kabupaten Blora terdapat 163 MI diantaranya hanya ada satu MI negeri dan 162 MI swasta. Masyarakat Madrasah banyak yang menyampaikan keluhannya terutama dalam akses otonomi daerah. Berbeda dengan eksistensi sekolah, di beberapa daerah madrasah memang belum diterima secara bulat sebagai asset daerah.
2.    Fenomena II
Kemenag Belum Serius Urus Madrasah dan  Pesantren
|Selasa, 14 Februari 2012 | 09:33 WIB

JAKARTA, KOPAS.com  Pemerintah, khususnya Kementerian Agama, diminta serius meningkatkan kualitas madrasah dan pesantren. Apalagi, lembaga pendidikan Islam ini bisa menjadi cermin bagi kemajuan pendidikan umat Islam dan anak negeri ini. ”Saat ini masih banyak masalah yang dihadapi Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Agama dalam meningkatkan kualitas madrasah dan pesantren,” kata anggota Komisi VIII DPR, Jazuli Juwaini, di Jakarta, Selasa (14/2/2012).
Sehari sebelumnya pada rapat kerja dengan kepala kanwil Kemenag se-Indonesia di Jakarta, menurut Jazli, ia sudah menyampaikan sejumlah solusi yang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas lembaga pendidikan Islam.
”Pendidikan Islam membutuhkan solusi yang tepat dan strategis sehingga tidak dipersepsikan lagi sebagai pendidikan kelas dua. Saya sangat mendukung peningkatan anggaran dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan, namun dari Kemenag juga harus berbenah dalam pengelolaan madrasah dan pesantren,” ujarnya.
Kementerian Agama merupakan salah satu yang tidak diotonomikan sehingga pertanggungjawabannya secara vertikal termasuk pendidikan Islam. ”Walaupun ada beberapa usulan yang meminta madrasah dan pesantren dilebur saja dengan kementerian yang mengurusi pendidikan, saya akan terus mempertahankan karena madrasah dan pesantren memiliki keunikan sendiri yang tidak dapat dimengerti oleh yang lain,” jelas Jazuli.
Analisis:
Pemerintah khususnya Kementerian Agama haruslah melakukan upaya-upaya yang mampu meningkatkan mutu madrasah karena Madrasah Ibtidaiyah memiliki berbagai karakter dan keunikan. Madrasah Ibtidaiyah  didirikan dan dikelola oleh tokoh Agama yg memiliki prototype kepribadian Muslim tertentu. Seringkali karakter sang tokoh sebagai pendiri sekaligus menjadi karakter Madrasah Ibtidaiyah. Bahkan Madrasah Ibtidaiyah itu identik dengan karakter pendiri dan pengelolanya, terutama Madrasah Ibtidaiyah swasta. Madrasah itu sebetulnya pondok pesantren plus dan sekolah plus. Keunggulan Sekolah Dasar itu terletak pada sistem pendidikan modern terutama mata pelajaran umum dan Bahasa Inggris. Keunggulan Pondok Pesantren itu terletak pada sistem pendidikan tradisional yg memiliki keunggulan dari segi kepribadian, rumpun mata pelajaran Agama Islam dan Bahasa Arab. MI adalah SD (unggul pada sistem pendidikan modern terutama mata pelajaran umum) plus kepribadian Muslim, Pendidikan Agama Islam, dan Bahasa Arab.
Madrasah merupakan lembaga pendidikan Islam yang dalam sejarah telah melahirkan intelektual-intelektual bermoral karena nilai-nilai keagamaan sangat kental dalam sistem pendidikannya. Selain itu, madrasah juga menjadi media perjuangan untuk mempertahankan kelestarian ajaran-ajaran Islam. Untuk itulah, seharusnya, proses pembelajaran dan pendidikan di madrasah harus terus dilestarikan dan dikembangkan dengan memberikan porsi perhatian yang seimbang mengingat peran krusial yang diemban oleh madrasah. Posisi madrasah tidak dapat digantikan oleh lembaga-lembaga lain, sebab kelahiran madrasah merupakan upaya menjawab kebutuhan masyarakat akan pendidikan agama. Lembaga pendidikan ini menawarkan konsep pendidikan yang berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Ciri khas madrasah lebih dari hanya sekadar penyajian mata pelajaran agama saja. Artinya, ciri khas tersebut bukan hanya sekadar menyajikan mata pelajaran agama Islam di dalam lembaga madrasah tetapi yang lebih penting ialah perwujudan dari nilai-nilai keislaman di dalam totalitas kehidupan madrasah. Suasana madrasah yang demikian dapat melahirkan budaya madrasah yang merupakan identitas lembaga pendidikan madrasah. Otonomi lembaga pendidikan madrasah hanya dapat dipertahankan apabila madrasah tetap mempertahankan dirinya sebagai pendidikan yang berbasis masyarakat (community-based education).
3.    Fenomena III
Lima Sekolah di Biak Dapat Bantuan Dana MBS
Selasa, 14 Pebruari 2012, 06:29 WIB
REPUBLIKA.co.id, BIAK - Lima sekolah di Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua mendapat dukungan dana bantuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk pengembangan manajemen berbasis sekolah (MBS) masing-masing sebesar Rp 15 juta/sekolah.
Sekretaris Dewan Pendidikan Biak Tjipto Prawira SE,MM di Biak, Selasa (14/2) mengakui, lima sekolah yang menerima dana program MBS terdiri atas tiga sekolah di antaranya SD YPK Wafnor, SD Santo Yosef 2 serta SD Madrasah Ibtidaiyah DDI Mandouw. "Untuk tingkat SMP dua sekolah yang menerima dukungan bantuan dana MBS yakni SMP negeri 3 dan SMP negeri 5, anggaran langsung ditranfer ke rekening sekolah," kata Tjipto. Ia mengakui, dua dari lima sekolah penerima dana MBS tahun 2011 hingga ssat ini belum ditranfer rekening sekolah SD Santo Yosef 2 dan Madrasah Ibtidaiyah DDI Mandouw.
Masalah keterlambatan pemberian dana pengembangan MBS, lanjut Tjipto, karena menyangkut rekening sekolah bersangkutan merupakan milik pribadi. "Sesuai aturan bantuan dana program pengembangan MBS dari pemerintah pusat untuk lima sekolah harus ditranfer langung ke rekening sekolah bukan milik pribadi," ujarnya. Tjipto mengakui, tiga sekolah penerima dana MBS telah memanfaatkan penggunaannya untuk melakukan sosialisasi kepada komite sekolah, dewan guru serta pihak berkepentingan di wilayah ini. "Harapan saya pengelolaan bantuan dana pengembangan MBS meski sedikit harus digunakan tepat sasaran untuk kemajuan pendidikan di sekolah bersangkutan," kata mantan Kepsek SMP Negeri 3 Biak ini. Berdasarkan data sejak tahun 2004 hingga saat ini pengembangan program MBS di berbagai sekolah kabupaten Biak Numfor mendapat pembinaan dan intervensi program dari badan dunia Unicef.
Analisis:
Dengan adanya bantuan dana tersebut semoga dapat dimanfaatkan dengan tepat sasaran dan tepat waktu. Jangan sampai dana tersebut hanya dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu dan tidak digunakan sebagaimana mestinya. Dana ini sangat mendukung bagi perkembangan Manajemen Berbasis Madrasah. Perlu adanya monitoring dan evaluasi dalam pelaksanaan kebijakan MBM supaya tidak terjadi penyelewengan dalam pengelolaan dana khususnya.
4.    Fenomena IV
Mutu Madrasah Harus Ditingkatkan
Kamis, 22 Maret 2012 | 06:15 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) dituntut untuk lebih memperhatikan sekolah-sekolah berbasis agama atau madrasah. Sampai saat ini, banyak madrasah yang belum mampu menyelenggarakan pendidikan bermutu bagi peserta didiknya.
Wakil Ketua Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama Pusat, Masduki Baidhowi mengatakan, ketimpangan mutu pendidikan di madrasah yang terjadi antara kota dan daerah disebabkan oleh banyak hal. Beberapa diantaranya adalah dikotomi kebijakan pemerintah antara sekolah negeri dan swasta, keterbatasan sekolah-sekolah di daerah terpencil dalam memperoleh guru yang kompeten, sarana prasarana yang lengkap, serta kelengkapan sumber materi ajar.
"Lembaga-lembaga ini (madrasah) terdiskriminasi secara masif. Kemdikbud harus memperhatikan ini," kata Masduki di sela-sela diskusi pendidikan bertajuk "Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Inovasi Teknologi Pendidikan", di gedung PBNU, Jakarta, Rabu (21/3/2012). Ia mengungkapkan, diskriminasi pada madrasah umumnya terjadi di level daerah.
Hal itu terjadi lantaran madrasah masih menjadi tanggungjawab pemerintah pusat. Berbeda dengan sekolah lainnya (jenjang pendidikan dasar), yang sudah menginduk dan menjadi kewenangan pemerintah daerah. Semestinya, kata dia, Kemdikbud dapat benar-benar membuka akses pendidikan madrasah agar haknya dapat sama rata dengan sekolah lain yang menjadi tanggungjawab pemerintah. "Yang bertanggungjawab itu Kemdikbud, bukan Kementerian Agama. Termasuk jika terjadi kegagalan pada peningkatan mutu, Kemdikbud harus bertanggungjawab," pungkasnya.
Analisis:
Salah satu cara untuk meningkatkan mutu MI adalah melalui pengelolaan MI secara professional disertai dengan memperkuat plusnya. Pengelola MI adalah pemerintah dan masyarakat. Pengelola berusaha memenuhi 8 standar pendidikan, terutama standar-standar yg memang pada umumnya masih kurang, seperti standar proses, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan.
Peningkatan mutu MI merupakan tanggung jawab bersama, baik itu pemerintah dan masyarakat. Kurang bijaksana kiranya jika saling menyalahkan siapa yang bertanggung jawab atas rendahnya mutu pendidikan di madrasah ibtidaiyah. Pemerintah haruslah adil dan tisak membeda-bedakan antara sekolah negeri dan sekolah swasta, sekolah yang dibawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atau dibawah Kementerian yang lainnya.
Jika pendidikan diserahkan dalam satu naungan di bawah Kemdikbud dan tidak mengurangi ciri khas dari pendidikan yang ada di naungan kementrian Agama, penulis merasa tidak masalah. Hal yang lebih penting adalah mengusahakan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia sehingga tujuan pendidikan tercapai secara efektif dan efisien.
5.    Fenomena V
14.000 Kepala Madrasah Studi Manajemen Pendidikan
| Benny N Joewono | Minggu, 4 Desember 2011 | 22:52 WIB
SEMARANG, KOMPAS.com - Kementerian Agama mengirim sekitar 14.000 kepala madrasah dan pengawas di seluruh wilayah Indonesia untuk belajar manajemen pendidikan dengan menggandeng perguruan tinggi setempat.
"Itu memang program kami, tahun ini total 14.000 kepala madrasah dan pengawas dapat pelatihan," kata Kepala Seksi Pengawas Madrasah Direktorat Pendidikan Madrasah Kementerian Agama R. Nurul Islam di Semarang, Minggu (4/12/2011).
Hal tersebut diungkapkannya usai membuka Pendidikan dan Pelatihan Kepala Madrasah Jawa Tengah di Kampus II Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) PGRI Semarang.
Menurut dia, pelatihan kepala madrasah itu dilakukan dengan menggandeng perguruan tinggi setempat, untuk Jateng menggandeng Universitas Sains Alqur’an (Unsiq) Wonosobo dan IKIP PGRI Semarang.
Ia mengakui, kompetensi kepala madrasah di bidang agama memang tidak perlu diragukan, namun kompetensi di bidang manajerial pendidikan masih kurang, diiringi sarana dan prasarana madrasah yang mereka kelola.
Sekitar 92 persen madrasah di Indonesia, kata dia, berstatus swasta yang tentunya kelangsungan hidup dan pemenuhan sarana prasarana mereka bergantung kepada pendanaan masyarakat.
"Kebanyakan kepala madrasah ini bahkan belum pernah tersentuh pelatihan manajemen pendidikan semacam ini sama sekali. Karena itu, kami beri mereka pelatihan dengan menggandeng perguruan tinggi," katanya.
Rektor IKIP PGRI Semarang Muhdi menyatakan mendukung langkah Kemenag menggandeng perguruan tinggi untuk membantu peningkatan kompetensi para kepala madrasah dan pengawas di lingkup kementerian itu.
Ia mengakui, kondisi madrasah berbeda dengan sekolah umum, sebab banyak madrasah yang didirikan dengan prinsip "ikhlas beramal" dalam artian mereka harus berjuang keras untuk menyelenggarakan pendidikan.
"Sebagian besar madrasah memang swasta. Apalagi dengan prinsip ’ikhlas beramal’ itu. Mereka tentunya kesulitan meningkatkan kompetensi tenaga pendidiknya, termasuk kepala sekolah," katanya.
Selain pelatihan manajemen pendidikan, Muhdi menekankan pelatihan itu juga mencakup penanaman nasionalisme dan cinta tanah air kepada peserta didik yang menjadi tugas pendidik, di samping transfer ilmu.
Pelatihan yang berlangsung selama tujuh hari itu memberikan berbagai materi di antaranya pendidikan dan analisis dalam penelitian tindakan kelas (PTK) dan diikuti oleh sekitar 800 kepala madrasah di Jateng.
Analisis:
Dalam mengembangkan Madrasah haruslah dimulai dengan mengembangkan faktor kuncinya, yaitu sumberdaya manusianya yang meliputi kepala Madrasah, guru-guru, staf administrasi, pengurus yayasan/BP3, dan pejabat Kandepag atau Kanwil Depag yang mengurusi Madrasah. The man behind the gun lebih menentukan daripada the gun-nya.
Usaha pengembangan Madrasah yang berhasil menuntut agar seluruh, atau sebagian besar, personil Madrasah tersebut melakukan perubahan-perubahan pada pekerjaan mereka sehari-hari yang telah mereka lakukan bertahun-tahun: cara mengajar, cara melayani siswa, cara kerja, dsb.  Mungkin, sebagian besar dari mereka merasa kikuk dan tidak siap untuk melakukan hal itu.  Dalam hal ini, Kandepag/Kanwil dapat memainkan peran untuk mengatasi hal itu.  Kandepag atau Kanwil dapat membantu Madrasah yang mempunyai potensi untuk berkembang (dan ingin berkembang) dalam hal peningkatan wawasan, pengetahuan,  ketrampilan dan kemampuan para kepala madrasahnya sebagai pemimpin pendidikan.
Kandepag/Kanwil dapat melakukan penataran kepala madrasah di bidang ini dengan memanfaatkan para ahli yang ada di Fakultas Tarbiyah, Diklat, maupun IKIP di wilayah mereka. Peningkatan wawasan, pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan ini kemudian dapat dilanjutkan sampai ke guru-guru, staf non-guru, dan pengurus yayasan/BP3.
Dalam menentukan mitra yang ahli dalam bidang manajemen, kemenag haruslah lebih bijaksana. Misalnya apakah perguruan tinggi yang digandeng tersebut benar-benar ahli dalam bidang menejemen, sehingga usaha yang dilakukan dengan anggaran biaya yang tidak sedikit tersebut dapat efektif dan mencapai tujuan yang diharapkan.
C.    Hambatan dalam Penerapan MBM
Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan Manajemen Berbasis Madrasah adalah:
1.    Tidak Berminat Untuk Terlibat. Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.
2.    Tidak Efisien. Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif         adakalanya menimbulkan frustrasi dan sering kali lebih lamban     dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan     sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas,     bukan pada hal-hal lain di luar itu.
3.    Pikiran Kelompok. Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit pikiran kelompok. Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
4.    Memerlukan Pelatihan. Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan      besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model     yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak     memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS     sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, dan     komunikasi.
5.    Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru. Pihak-pihak yang     terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja     yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan     tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang     mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan     kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab     pengambilan keputusan.
6.    Kesulitan Koordinasi. Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah. Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah dilibatkan sejak awal, mereka dapat memastikan bahwa setiap hambatan telah ditangani sebelum penerapan MBM. Dua unsur penting adalah pelatihan yang cukup tentang MBM dan klarifikasi peran dan tanggung jawab serta hasil yang diharapkan kepada semua pihak yang berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat harus memahami apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yang dapat dibagi, oleh siapa, dan pada level mana dalam organisasi.

D.    Manajemen Pengelolaan MI Masa Depan Menurut Penulis
Madrasah Ibtidaiyah memiliki berbagai karakter dan keunikan. Madrasah Ibtidaiyah  didirikan dan dikelola oleh tokoh Agama yg memiliki prototype kepribadian Muslim tertentu. Seringkali karakter sang tokoh sebagai pendiri sekaligus menjadi karakter Madrasah Ibtidaiyah. Bahkan Madrasah Ibtidaiyah itu identik dengan karakter pendiri dan pengelolanya, terutama Madrasah Ibtidaiyah swasta.
Posisi madrasah tidak dapat digantikan oleh lembaga-lembaga lain, sebab kelahiran madrasah merupakan upaya menjawab kebutuhan masyarakat akan pendidikan agama. Lembaga pendidikan ini menawarkan konsep pendidikan yang berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Ciri khas madrasah lebih dari hanya sekadar penyajian mata pelajaran agama saja. Artinya, ciri khas tersebut bukan hanya sekadar menyajikan mata pelajaran agama Islam di dalam lembaga madrasah tetapi yang lebih penting ialah perwujudan dari nilai-nilai keislaman di dalam totalitas kehidupan madrasah. Otonomi lembaga pendidikan madrasah dapat dipertahankan apabila madrasah tetap mempertahankan dirinya sebagai pendidikan yang berbasis masyarakat (community-based education).
Pengelolaan Madrasah Ibtidaiyah agar efektif dan efisien dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut:
1.    Analisis SWOT keseluruhan fungsi madrasah yang diperlukan untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Untuk mengetahui tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya dicapai melalui membandingkan faktor dalam kondisi nyata dengan faktor dalam kriteria kesiapan. Dari analisis SWOT nantinya akan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam perancangan Visi dan Misi Madrasah sehingga dapat mengetahui keunggulan-keunggulan dan kelemahan dan bagaimana mengubah hambatan MI menjadi sebuah kesempatan.
2.    Sumber Daya Manusia yang Kompeten, Kreatif, Mau dan Mampu untuk     Berubah menjadi lebih Baik.
        Dalam pengelolaan MI dibutuhkan SDM yang berkualitas, kompeten,     kreatif. Dengan memiliki SDM yang demikian maka kekurangan-    kekurangan lain seperti fasilitas, sarana dan prasarana dapat ditutupi.
3.    Memperkuat plus/ keunikan MI
Keunggulan Sekolah Dasar itu terletak pada sistem pendidikan modern terutama mata pelajaran umum dan Bahasa Inggris. Keunggulan Pondok Pesantren itu terletak pada sistem pendidikan tradisional yg memiliki keunggulan dari segi kepribadian, rumpun mata pelajaran Agama Islam dan Bahasa Arab. MI adalah SD (unggul pada sistem pendidikan modern terutama mata pelajaran umum) plus kepribadian Muslim, Pendidikan Agama Islam, dan Bahasa Arab.
4.    Menarik Animo Masyarakat
Dapat dilakukan dengan melakukan suatu kegiatan yang dapat menarik perhatian masyarakat, seperti menampilkan keunggulan-keunggulan yang ada di MI, kegiatan drumband, lomba pidato bahasa asing, dll. Dengan melihat beragam kegiatan yang ditampilkan, secara bertahap masyarakat akan mempercayakan putra-putrinya untuk sekolah di MI
5.    Mengadakan program-program unggulan
Program-program unggulan yang dapat dilakukan seperti: mengadakan ekstrakurikuler sesuai bakat dan minat peserta didik, pidato bahasa Asing, Musik, Modelling, Menyanyi, Sains, dll.
6.    Menjalin kerjasama dengan orang tua dan masyarakat
Hal ini dapat dilakukan dengan adanya kegiatan parent day. dimana wali murid yang memiliki profesi atau life skill tertentu diberikan kesempatan untuk mengajar. Program ini membantu terjalinnya hubungan baik antara pihak sekolah dan para wali murid sehingga tercipta iklim belajar yang lebih kondusif.
Selain mampu meningkatkan kompetensi siswa, hari orang tua (parent day) juga merupakan upaya meningkatkan kesadaran orang tua akan tanggung jawab dalam melaksanakan perannya sebagai pendukung kemampuan bersosialisasi anak dan pengembangan mereka.
7.    Memiliki Badan Usaha
    Madrasah memiliki suatu badan usaha yang sesuai dengan keadaan ekonomi dan keterampilan masyarakat sekitar. Misalnya memiliki usaha Koperasi tani, percetakan, bengkel, kolam ikan, apotek hidup dll. Hal ini dapat dimanfaatkan sebagai media pembelajaran bagi peserta didik. Dengan begitu peserta didik seudah dilatih sejak dini untuk berwira usaha. Hasil keuntungan dapat dimanfaatkan untuk mensejahterakan guru dan karyawan. Meskipun madrasah swasta, tetapi mampu memberikan kesejahteraan guru dan karyawan sehingga guru termotivasi dan semangat dalam mengajar. Sesuai dengan teori Maslow bahwa untuk meningkatkan motivasi seseorang maka haruslah dipenuhi kebutuhan dasarnya.
8.    Meningkatkan fasilitas
Diharapkan tersedianya alat-alat atau fasilitas belajar yang memadai secara kuantitatif, kualitatif dan relefan dengan kebutuhan dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan proses pendidikan dan pengajaran, baik oleh guru sebagai pengajar maupun murid-murid sebagai pelajar.
9.    Model Boarding School
Dengan model boarding school atau asrama maka peserta didik akan lebih mendapatkan banyak pendidikan. Ia akan dapat bersosialisasi dengan teman-temannya, melatih kemandirian dan hidup bermasyarakat, dapat dikontrol dengan baik kegiatan-kegiatan yang dilakukannya, meminimalisasi pengaruh-pengaruh buruk dari lingkungan. Selain itu dengan model boarding school maka dapat meningkatkan ibadah peserta didik, dengan shalat jamaah bersama, kegiatan mengaji, dll.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
MBM merupakan salah satu strategi dalam peningkatan mutu madrasah. Esensi MBM adalah otonomi madrasah. Salah satu metode pendekatan pengelolaan manajemen madrasah bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan semua warga sekolah melalui pemberian kewenangan dan keluwesan untuk peningkatan mutu. Dalam konsepnya baik manajemen berbasis sekolah atau madrasah merupakan suatu bentuk kebijakan desentralisasi yang memberikan otonomi yang luas kepada sekolah dan madrasah agar dapat meningkatkan mutu pendidikan, tetapi dalam prakteknya masih ada perlakuan-perlakuan yang berbeda oleh pemerintah dalam memperhatikan antara sekolah dan madrasah. Madrasah di bawah naungan kementerian agama dimana agama merupakan hal yang tidak diotonomikan, sehingga dirasa bukan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.
Kepala madrasah sebagai motor penggerak dituntut untuk memiliki  kemampuan manajerial yang dapat menggerakkan seluruh kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah (stake holders) untuk mencapai tujuan sekolah tersebut. Adanya perubahan dari pola manajemen lama (sentralisasi) ke pola baru (desentralisasi) yang lebih bernuansa otonomi dan demokrasi yang menuntut pola perubahan dalam pengelolaan pendidikan, yaitu ke arah manajemen berbasis madrasah (MBM).
B.    Rekomendasi
    Dari kesimpulan diatas bahwa mamanajemen berbasis madrasah ini sesuai dengan hakikat madrasah itu sendiri yakni berbasis masyarakat. Dalam penerapan manajemen berbasis madrasah diperlukan SDM yang berkualitas, kompeten, dan kreatif. Kepala madrasah sebagai leader harus mampu membawa MI menuju MI yang unggul bermutu dan berkualitas. Para stake holder yang harus mau dan mampu untuk berubah menuju yang lebih baik. Madrasah harus open manajement terutama masalah keuangan sehingga dapat dipertanggungjawabkan.


DAFTAR PUSTAKA

Abu-Duhou, Ibtisam. 2002. School-Based Management. Jakarta: Logos Wacana Ilmu

Arikunto, Suharsimi. 2008. Manajemen Pendidikan. Yogyakarta: Aditya Media.

Danim, Sudarwan. 2006. Visi Baru Manajemen Sekolah. Jakarta: Bumi Aksara.

Hidayat, Ara dan Imam Machali. 2010. Pengelolaan Pendidikan. Bandung: Pustaka Educa.

Mulyasa, E. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: Rosdakarya.

_______, E. 2005. Menjadi Kepala Sekolah Profesional. Bandung: Rosdakarya.

Rifai, Veithzal dan Sylviana Murni. 2009. Education Management. Jakarta: RajaGrafindo Persada

Sagala, Syaiful. 2010. Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Usman, Husaini. 2008. Manajemen Teori Praktik dan Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Wahjosumidjo. 2002. Kepemimpinan Kepala Sekolah. Jakarta: Rajawali Press

Kompas. “Kemenag Belum Serius Urus Madrasah dan  Pesantren”. Kompas.co.id. diakses pada tanggal 14 Februari 2012

Kompas. “Mutu Madrasah Harus Ditingkatkan”. Kompas.co.id. diakses pada tanggal 22 Maret 2012

Kompas. “14.000 Kepala Madrasah Studi Manajemen Pendidikan” Kompas.co.id. diakses pada tanggal 4 Desember 2012

Republika. “Lima Sekolah di Biak Dapat Bantuan Dana MBS”. Republika.co.id. diakses tanggal 14 Pebruari 2012

Republika. “Kemenag: Pemda Harus Adil pada Madrasah”. Republika.co.id. diakses tanggal 10 April 2010




Strategi pembelajaran kooperatif

STRATEGI PEMBELAJARAN KOOPERATIF DALAM PEMBELAJARAN PAI MI


SINOPSIS (INTISARI)
Pembelajaran merupakan suatu sistem yang terdiri atas berbagai komponen yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Komponen tersebut meliputi: tujuan, materi, metode, dan evaluasi. Keempat komponen pembelajaran tersebut harus diperhatikan oleh guru dalam memilih dan menentukan model dan strategi pembelajaran yang akan digunakan dalam kegiatan pembelajaran.
Belajar dalam konsep Pendidikan Agama Islam merupakan tuntutan hidup sepanjang hayat manusia (life long learning). Dalam mempertahankan kehidupannya, manusia harus mempunyai bekal kecakapan hidup (skill of life), yang dapat diperoleh melalui berbagai proses belajar, seperti belajar untuk mengetahui (learning to know), belajar untuk melakukan ( learning to do), belajar untuk menjadi seseorang (learning to be) dan belajar untuk hidup bersama (learning to life together). Dari empat pilar pendidikan tersebut, disebutkan bahwa salah satu dari esensi pembelajaran adalah untuk dapat hidup bersama (learning to live together). Pembelajaran kooperatif berguna untuk meningkatkan kompetensi sosial peserta didik. Oleh karena itu, pembelajaran kooperatif merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan dalam pembelajaran untuk mewujudkan peserta didik yang mampu hidup bersama.
Pembelajaran kooperatif adalah suatu aktivitas pembelajaran yang menggunakan pola belajar siswa berkelompok untuk menjalin kerjasama dan saling ketergantungan dalam struktur tugas, tujuan, dan hadiah. Maksud hadiah disini adalah penghargaan kooperatif. Siswa didorong untuk bekerjasama pada suatu tugas dan mereka harus mengkoordinasikan usahanya untuk menyelesaikan tugas. Tujuan pembelajaran kooperatif adalah menciptakan situasi di mana keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya.
Keuntungan positif mengenai kelompok kooperatif biasanya mengarah pada meningkatnya keterlibatan dengan konten sebagai salah satu faktor penting. Dibandingkan dengan format seisi kelas yang besar, kelompok-kelompok kecil memiliki potensi lebih besar dalam partisipasi, umpan balik, dan penyusunan makna timbal balik diantara para peserta didik. Format kelompok mendorong para peserta didik menjadi lebih aktif. Peserta didik yang memiliki prestasi rendah diuntungkan dari penjelasan rekan sebaya dan peserta didik yang berprestasi tinggi dapat lebih memperkuat pendalaman informasinya. Peserta didik dapat mengembangkan kemampuan interpersonal melalui tugas-tugas kelompok.
Kelemahan pembelajaran kooperatif bersumber pada dua faktor, yaitu faktor intern diantaranya: guru harus mempersiapkan pembelajaran secara matang (memerlukan lebih banyak tenaga, pemikiran dan waktu), dibutuhkan dukungan fasilitas, alat, dan biaya yang cukup memadai, kecenderungan topik permasalahan yang sedang dibahas meluas, terkadang didominasi oleh seseorang. Sedangkan faktor ekstern terkait dengan kebijakan pemerintah, misalnya adanya UN yang seolah-olah pembelajaran hanya dipersiapkan untuk keberhasilan dalam UN.
Strategi pembelajaran kooperatif merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan dalam pembelajaran PAI agar pembelajaran dapat berjalan secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Strategi pembelajaran kooperatif secara psikologis sesuai dengan perkembangan sosial peserta didik usia MI dan sesuai dengan karakteristik mereka yang senang bekerja dalam kelompok. Strategi kooperatif juga merupakan cerminan dari unsur kepribadian bangsa Indonesia yaitu gotong royong. Oleh karena itu pembelajaran harus sesuai dengan keadaan masyarakat dan sifat gotong royong hendaknya dijadikan suatu prinsip yang mewarnai praktik pembelajaran untuk peserta didik.
Dengan strategi pembelajaran kooperatif, guru dapat menggunakan berbagai metode yang menarik yang dapat meningkatkan minat, motivasi, prestasi peserta didik. Peserta didik tidak hanya mendengarkan melalui ceramah, tetapi mereka dituntut untuk aktif kooperatif dengan teman sekelasnya. Dengan strategi ini, interaksi pembelajaran akan lebih “multi-arah” dan terjadi diversifikasi sumber belajar. Strategi pembelajaran kooperatif ini diarahkan pada pengembangan kemampuan kognitif siswa bersamaan dengan kemampuan hubungan interpersonal (ketrampilan sosial) peserta didik.
Dalam pelaksanaan strategi pembelajaran kooperatif dibutuhkan kemauan dan kemampuan serta kreatifitas guru dalam mengelola lingkungan kelas, sehingga guru menjadi lebih aktif terutama saat menyusun rencana pembelajaran secara matang, pengaturan kelas saat pelaksanaan, dan membuat tugas untuk dikerjakan siswa bersama dengan kelompoknya.


BAB I
PENDAHULUAN
Belajar dalam konsep Pendidikan Agama Islam merupakan tuntutan hidup sepanjang hayat manusia (life long learning). Dalam mempertahankan kehidupannya, manusia harus mempunyai bekal kecakapan hidup (skill of life), yang dapat diperoleh melalui berbagai proses belajar, seperti belajar untuk mengetahui (learning to know), belajar untuk melakukan ( learning to do), belajar untuk menjadi seseorang (learning to be) dan belajar untuk hidup bersama (learning to life together).1
Dari empat pilar pendidikan tersebut, disebutkan bahwa salah satu dari esensi pembelajaran adalah untuk dapat hidup bersama (learning to live together). Pembelajaran kooperatif berguna untuk meningkatkan kompetensi sosial peserta didik. Oleh karena itu, pembelajaran kooperatif merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan dalam pembelajaran untuk mewujudkan peserta didik yang mampu hidup bersama.
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam selama ini masih menerapkan dan masih mempertahankan cara-cara lama (tradisional), seperti ceramah, menghapal, demonstrasi praktik-praktik ibadah yang tampak kering.2 Dilihat dari situasi pembelajaran yang semacam ini hampir tidak ada kesempatan bagi siswa untuk menuangkan kreatifitasnya dan menyampaikan gagasannya. Hal tersebut dapat menyebabkan proses pembelajaran menjenuhkan, membosankan, tidak menggairahkan, dan membuat siswa kurang semangat dalam mengikuti proses pembelajaran pendidikan Agama Islam.
Secara psikologis apabila siswa kurang tertarik dengan metode yang digunakan guru, maka dengan sendirinya siswa akan memberikan umpan balik yang kurang mendukung dalam proses pembelajaran. Akibatnya timbul rasa ketidakpedulian siswa terhadap guru agama dan tidak tertarik dengan proses pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Implikasinya ranah afektif dan ranah psikomotorik tidak tercapai dengan maksimal. Kalau kondisinya sudah seperti itu maka akan sulit mengharapkan siswa sadar dan mau mengamalkan ajaran-ajaran agama.3
Paradigma lama tentang proses pembelajaran yang bersumber pada teori tabula rasa John Lock dimana pikiran seorang anak seperti kertas kosong dan siap menunggu coretan coretan dari gurunya sepertinya kurang tepat lagi digunakan oleh para pendidik saat ini. Tuntutan pendidikan sudah banyak berubah. Pendidik perlu menyusun dan melaksanakan kegiatan belajar mengajar dimana anak dapat aktif membangun pengetahuannya sendiri. Hal ini sesuai dengan pandangan kontruktivisme yaitu keberhasilan belajar tidak hanya bergantung pada lingkungan atau kondisi belajar, tetapi juga pada pengetahuan awal siswa. Belajar melibatkan pembentukan “makna” oleh siswa dari apa yang mereka lakukan, lihat, dan dengar. Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu pembelajaran yang dikembangkan dari teori kontruktivisme karena mengembangkan struktur kognitif untuk membangun pengetahuan sendiri melalui berpikir rasional.
Terkait dengan upaya peningkatan kualitas pendidikan atau pembelajaran, banyak konsep yang ditawarkan diantaranya yaitu konsep Active Learning, Contextual Teaching Learning, Cooperative Learning, dan lain sebagainya. Salah satu model yang dianggap efektif untuk diterapkan dalam pembelajaran, yaitu model pembelajaran kooperatif.4 Melalui pembelajaran kooperatif, siswa didorong untuk bekerjasama secara maksimal, menerima keragaman, mengembangkan ketrampilan sosial, setiap anggota kelompok harus saling membantu, yg cepat membantu yang lambat karena kegagalan individu adalah kegagalan kelompok dan keberhasilan individu adalah keberhasilan kelompok shg setiap anggota kelompok dituntut memiliki tanggungjawab penuh terhadap kelompoknya. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas mengenai PAI MI, karakteristik peserta didik usia MI dan strategi pembelajaran kooperatif dalam pembelajaran PAI MI.



BAB II
PEMBAHASAN
  1. PAI MI
Pendidikan Agama Islam di Madrasah Ibtidaiyah terdiri atas empat mata pelajaran, yaitu: Al-Qur'an-Hadis, Akidah-Akhlak, Fikih, dan Sejarah Kebudayaan Islam. Masing-masing mata pelajaran tersebut pada dasarnya saling terkait, isi mengisi dan melengkapi. Al-Qur'an-hadis merupakan sumber utama ajaran Islam, dalam arti ia merupakan sumber akidah-akhlak, syari’ah/fikih (ibadah, muamalah), sehingga kajiannya berada di setiap unsur tersebut.
Akidah (ushuluddin) atau keimanan merupakan akar atau pokok agama. Syariah/fikih (ibadah, muamalah) dan akhlak berti tik tolak dari akidah, yakni sebagai manifestasi dan konsekuensi dari akidah (keimanan dan keyakinan hidup). Syari’ah/fikih merupakan sistem norma (aturan) yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, sesama manusia dan dengan makhluk lainnya.
Akhlak merupakan aspek sikap hidup atau kepribadian hidup manusia, dalam arti bagaimana sistem norma yang mengatur hubungan manusia dengan Allah (ibadah dalam arti khas) dan hubungan manusia dengan manusia dan lainnya (muamalah) itu menjadi sikap hidup dan kepribadian hidup manusia dalam menjalankan sistem kehidupannya (politik, ekonomi, sosial, pendidikan, kekeluargaan, kebudayaan/seni, iptek, olahraga/kesehatan, dan lain-lain) yang dilandasi oleh akidah yang kokoh. Sejarah Kebudayaan Islam merupakan perkembangan perjalanan hidup manusia muslim dari masa ke masa dalam usaha bersyariah (beribadah dan bermuamalah) dan berakhlak serta dalam mengembangkan sistem kehidu pannya yang dilandasi oleh akidah.
Pendidikan Agama Islam (PAI) di Madrasah Ibtidaiyah yang terdiri atas empat mata pelajaran tersebut memiliki karakteristik sendiri-sendiri. Al-Qur’an-hadis, menekankan pada kemampuan baca tulis yang baik dan benar, memahami makna secara tekstual dan kontekstual, serta mengamalkan kandungannya dalam kehidupan sehari-hari. Aspek akidah menekankan pada kemampuan memahami dan mempertahankan keyakinan/keimanan yang benar serta menghayati dan mengamalkan nilai-nilai al-asma’ al-husna.
Aspek akhlak menekankan pada pembiasaan untuk melaksanakan akhlak terpuji dan menjauhi akhlak tercela dalam kehidupan sehari-hari. Aspek fikih menekankan pada kemampuan cara melaksanakan ibadah dan muamalah yang benar dan baik. Aspek Sejarah Kebudayaan Islam menekankan pada kemampuan mengambil ibrah dari peristiwa-peristiwa bersejarah (Islam), meneladani tokoh-tokoh berprestasi, dan mengaitkannya dengan fenomena sosial, budaya, politik, ekonomi, IPTEKS, dan lain-lain untuk mengembangkan kebudayaan dan peradaban Islam.
Hal ini sejalan dengan misi pendidikan dasar adalah untuk pengembangan potensi dan kapasitas belajar peserta didik, yang menyangkut: rasa ingin tahu, percaya diri, keterampilan berkomunikasi dan kesadaran diri, pengembangan kemampuan baca-tulis-hitung dan bernalar, keterampilan hidup, dasar-dasar keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, fondasi bagi pendidikan berikutnya.
Di samping itu, juga mempertimbangkan perkembangan psikologis anak, bahwa tahap perkembangan intelektual anak usia 6-11 tahun adalah operasional konkret (Piaget). Peserta didik pada jenjang pendidikan dasar juga merupakan masa social imitation (usia 6-9 tahun) atau masa mencontoh, sehingga diperlukan figur yang dapat memberi contoh dan teladan yang baik dari orang-orang sekitarnya (keluarga, guru, dan teman-teman sepermainan), usia 9-12 tahun sebagai masa second star of individualisation atau masa individualisasi, dan usia 12-15 tahun merupakan masa social adjustment atau penyesuaian diri secara sosial.
  1. Karakteristik Peserta Didik Usia MI
Ada beberapa karakteristik anak di usia MI yang perlu diketahui para guru, agar lebih mengetahui keadaan peserta didik ditingkat MI. Sebagai guru harus dapat menerapkan strategi/ metode pembelajaran yang sesuai dengan keadaan peserta didiknya maka sangatlah penting bagi seorang pendidik mengetahui karakteristik siswanya. Karakteristik peserta didik dapat dilihat dari perkembangan fisik, motorik, kognitif, emosi, sosial, dan religiusitasnya. Berikut penjelasannya:

  1. Perkembangan Fisik
Pada masa ini merupakan periode pertumbuhan fisik yang lambat dan relatif seragam sampai mulai terjadi perubahan-perubahan pubertas, kira-kira dua tahun menjelang anak menjadi matang secara seksual, pada masa ini pertumbuhan berkembang pesat.5 Oleh karena itu, masa ini sering disebut juga sebagai “periode tenang” sebelum pertumbuhan yang cepat menjelang masa remaja, meskipun merupakan masa tenang, tetapi hal ini tidak berarti bahwa pada masa ini tidak terjadi proses pertumbuhan fisik yang berarti.
  1. Perkembangan Motorik
Dengan terus bertambahnya berat dan kekuatan badan,maka pada masa ini perkembangan motorik menjadi lebih halus dan lebih terkoordinasi dibandingkan dengan awal masa anak-anak. Anak-anak terlihat lebih cepat dalam berlari dan makin pandai meloncat, anak juga makin mampu menjaga keseimbangan badannya. Untuk memperhalus keterampilan-keterampilan motorik, anak-anak terus melakukan berbagai aktifitas fisik yang terkadang bersifat informal dalam bentuk permainan. Disamping itu, anak-anak juga melibatkan diri dalam aktivitas permainan olah raga yang bersifat formal, seperti senam, berenang, dan lain sebagainya.
  1. Perkembangan kognitif
Seiring dengan masuknya anak ke MI, kemapuan kognitifnya mengalami perkembangan yang pesat. Dalam keadaan normal, pikiran anak usia sekolah berkembang secara berangsur-angsur. Kalau pada masa sebelumnya daya fikir anak masih bersifat imajinatif dan egosentris maka pada masa ini daya piker anak berkembang kearah berpikir kongkrit, rasional dan objektif. Daya ingatnya menjadi sangat kuat sehingga anak benar-benar berada dalam suatu stadium belajar.
Menurut teori piaget, pemikiran anak masa sekolah dasar disebut juga pemikiran operasional kongkrit (concrete operational thought), artinya aktivitas mental yang difokuskan pada objek-objek peristiwa nyata atau kongkrit.dalam upaya memahami alam sekitarnya mereka tidak lagi terlalu mengandalkan informasi yang bersumber dari panca indera, karena anak mulai mempunyai kemampuan untuk membedakan apa yang tampak oleh mata dengan kenyataan sesungguhnya.
  1. Perkembangan Sosial
Perkembangan sosial mulai meluas dari lingkungan sosial di sekitar rumah manjadi lingkungan dan teman-teman di sekolah. Kelompok anak usia sekolah biasanya merupakan kelompok bermain yang terdiri atas anggota dari jenis kelamin yang sama, serta ada aturan dan pemimpinnya yang mempunyai keunggulan dibandingkan anggota kelompok lainnya.
Bila anak mulai sekolah, ia menyambut kenalan-kenalan baru dengan rasa gembira. Semua peserta didik di kelas itu adalah temannya. Kemudian mereka membentuk kelompok-kelompok tersendiri, dimana setiap anak menggabungkan dirinya ke dalam salah satu kelompok. Semakin lama anak semakin banyak memegang peranan individual dalam kelompoknya. Anak muali mengetahui bahwa ia termasuk siswa yang pandai berhitung, pandai bermain lompat tali, anak yang periang, dan lain sebagainya. Pada perkembangan selanjutnya muncul “pemimpin dan pengikutnya” dalam kelas itu.6
Anak pada usia MI senang bermain dalam kelompoknya dengan melakukan permainan yang konstruktif dan olahraga. Mereka senang permainan olahraga, menjelajah daerah-daerah baru, mengumpulkan benda-benda tertentu, menikmati hiburan seperti membaca buku atau komik, menonton film dan televisi, juga melamun pada anak yang kesepian dan sedikit mempunyai teman bermain.
  1. Perkembangan Agama
Konsep keagamaan pada diri anak usia dasar hampir sepenuhnya autoritarius, artinya konsep keberagamaan mereka dipengaruhi oleh faktor dari luar diri mereka. Pada usia ini keagamaannya tidak mendalam. Ajaran agama dapat mereka terima dengan tanpa kritik. Kebenaran yang mereka terima tidak mendalam. Anak bersifat egosentris yang menuntut konsep keagamaan dari kesenangan atau kepentingan dirinya. Bersifat verbalis dan ritualis. Mereka menghafal kalimat-kalimat keagamaan dan melaksanakan ibadah berdasar pengalaman menurut tuntunan yang diajarkan kepada mereka. Anak bersifat imitatif atau meniru dari lingkungan sekitarnya terutama keluarganya dan gurunya.7
Jadi dari teori perkembangan tersebut kita bisa mengetahui beberapa karakteristik anak di usia Sekolah Dasar Sebagai guru harus dapat menerapkan metode pembelajaran yang sesuai dengan keadaan siswanya maka sangatlah penting bagi seorang pendidik mengetahui karakteristik siswanya. Adapun karakeristik peserta didik sebagai berikut:
  1. Senang bermain.
Karakteristik ini menuntut guru MI untuk melaksanakan kegiatan pendidikan yang bermuatan permainan terutama untuk kelas rendah. Guru MI seyogyanya merancang model pembelajaran yang memungkinkan adanya unsur permainan di dalamnya. Guru hendaknya mengembangkan model pengajaran yang serius tapi santai. Penyusunan jadwal pelajaran hendaknya diselang saling antara mata pelajaran serius seperti IPA, Matematika, dengan pelajaran yang mengandung unsur permainan seperti pendidikan jasmani, atau Seni Budaya dan Keterampilan (SBK).
  1. Senang bergerak
Orang dewasa dapat duduk berjam-jam, sedangkan anak MI dapat duduk dengan tenang paling lama sekitar 30 menit. Oleh karena itu, guru hendaknya merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak berpindah atau bergerak. Menyuruh anak untuk duduk rapi untuk jangka waktu yang lama, dirasakan anak sebagai siksaan.
  1. Senang bekerja dalam kelompok.
Dari pergaulannya dengan kelompok sebaya, anak belajar aspek-aspek yang penting dalam proses sosialisasi, seperti: belajar memenuhi aturan-aturan kelompok, belajar setia kawan, belajar tidak tergantung pada diterimanya dilingkungan, belajar menerimanya tanggung jawab, belajar bersaing dengan orang lain secara sehat (sportif), mempelajarai olah raga dan membawa implikasi bahwa guru harus merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak untuk bekerja atau belajar dalam kelompok, serta belajar keadilan dan demokrasi. Karakteristik ini membawa implikasi bahwa guru harus merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak untuk bekerja atau belajar dalam kelompok. Guru dapat meminta siswa untuk membentuk kelompok kecil dengan anggota 3-4 orang untuk mempelajari atau menyelesaikan suatu tugas secara kelompok.
  1. Senang merasakan atau melakukan/memperagakan sesuatu secara langsung.
Ditunjau dari teori perkembangan kognitif, anak MI memasuki tahap operasional konkret. Dari apa yang dipelajari di sekolah, ia belajar menghubungkan konsep-konsep baru dengan konsep-konsep lama. Berdasar pengalaman ini, siswa membentuk konsep-konsep tentang angka, ruang, waktu, fungsi-fungsi badan, pera jenis kelamin, moral, dan sebagainya. Bagi anak MI, penjelasan guru tentang materi pelajaran akan lebih dipahami jika anak melaksanakan sendiri, sama halnya dengan memberi contoh bagi orang dewasa. Dengan demikian guru hendaknya merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak terlibat langsung dalam proses pembelajaran. Sebagai contoh anak akan lebih memahami tentang arah mata angin, dengan cara membawa anak langsung ke luar kelas, kemudian menunjuk langsung setiap arah angin, bahkan dengan sedikit menjulurkan lidah akan diketahui secara persis dari arah mana angin saat itu bertiup.
  1. Strategi Pembelajaran Kooperatif
  1. Pengertian Strategi Pembelajaran Kooperatif
Strategi pembelajaran adalah rangkaian kegiatan dalam proses pembelajaran yang terkait dengan pengelolaan siswa, pengelolaan guru, pengelolaan kegiatan pembelajaran, pengelolaan sumber belajar dan penilaian agar pembelajaran lebih efektif dan efisien sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ditetapkan.8 Dalam menentukan strategi pembelajaran perlu memperhatikan jenis kompetensi dan jenis materi yang akan disampaikan.
Salah satu cara terbaik untuk meningkatkan pembelajaran adalah dengan memberikan tugas belajar yang dikerjakan dalam tim-tim kecil. Sering kali peserta didik dapat lebih banyak belajar dengan cara ini dibandingkan dengan hanya ceramah tanpa melibatkan peserta didik. Dorongan dari teman-teman dan keragaman cara pandang, pengetahuan, dan keterampilan juga membantu pembelajaran kooperatif berjalan dengan baik.9
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kooperatif memiliki arti bersifat kerja sama dan bersedia membantu. Slavin mengungkapkan bahwa cooperative learning adalah suatu model pembelajaran dimana sistem belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil yang berjumlah 4-6 orang secara kolaboratif sehingga dapat merangsang siswa lebih bergairah dalam belajar.10
Ada dua pembelajaran yang berbasis sosial yaitu pembelajaran kooperatif dan pembelajaran kolaboratif. Pembelajaran kolaboratif diartikan sebagai falsafah mengenai tanggung jawab pribadi dan sikap menghormati sesama, sedangkan pembelajaran kooperatif adalah konsep yang lebih luas yang meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk bentuk-bentuk yang lebih diarahkan oleh guru. Jadi dalam pembelajaran kooperatif mencakup pembelajaran kolaboratif.11
Menurut Muslim Ibrahim, pembelajaran kooperatif adalah suatu aktivitas pembelajaran yang menggunakan pola belajar siswa berkelompok untuk menjalin kerjasama dan saling ketergantungan dalam struktur tugas, tujuan, dan hadiah. Maksud hadiah disini adalah penghargaan kooperatif. Siswa didorong untuk bekerjasama pada suatu tugas dan mereka harus mengkoordinasikan usahanya untuk menyelesaikan tugas.12
Anita Lie menyebut cooperative learning dengan istilah pembelajaran gotong royong, yaitu sistem pembelajaran yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk bekerjasama dengan siswa lain dalam tugas-tugas yang terstruktur. Lebih jauh dikatakan, cooperative learning hanya berjalan kalau sudah terbentuk suatu kelompok atau suatu tim yang didalamnya siswa bekerja secara terarah untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan dengan jumlah anggota kelompok pada umumnya terdiri dari 4-6 orang saja.13 Djahiri K menyebutkan cooperative learning sebagai pembelajaran kelompok kooperatif yang menuntut diterapkannya pendekatan belajar yang student-centered, humanis, dan demokratis yang disesuaikan dengan kemampuan siswa dan lingkungan belajarnya.14 Dengan demikian, maka pembelajaran kooperatif mampu membelajarkan diri dan kehidupan siswa baik dikelas atau disekolah. Lingkungan belajarnya juga membina dan meningkatkan serta mengembangkan potensi diri siswa sekaligus memberikan pelatihan hidup senyatanya. Jadi, cooperative learning dapat dirumuskan sebagai kegiatan pembelajaran kelompok yang terarah, terpadu, efektif-efisien, ke arah mencari atau mengkaji sesuatu melalui proses kerjasama dan saling membantu (sharing) sehingga tercapai proses dan hasil belajar yang produktif (survive).
Pembelajaran kooperatif juga memberikan akomodasi bagi peserta didik yang memiliki kecerdasan interpersonal yang menonjol. Biasanya memiliki ciri-ciri pandai bernegosiasi, bergaul dengan baik, menyukai pekerjaan yang berhubungan dengan orang, suka bekerjasama, dapat membaca situasi sosial dengan baik. Dengan ciri tersebut, maka siswa dengan kecerdasan interpersonal akan sangat mudah untuk mempelajari materi dengan menggunakan strategi pembelajaran kooperatif.15
Strategi pembelajaran kooperatif juga merupakan cerminan dari unsur kepribadian bangsa Indonesia yaitu gotong royong. Oleh karena itu pembelajaran harus sesuai dengan keadaan masyarakat dan sifat gotong royong hendaknya dijadikan suatu prinsip yang mewarnai praktik pembelajaran untuk peserta didik.16 Pembelajaran kooperatif ini bukan bermaksud untuk menggantikan pendekatan kompetitif (persaingan). Nuansa kompetitif dalam kelas akan sangat baik bila diterapkan secara sehat. Pendekatan kooperatif ini adalah sebagai salah satu alternatif dalam mengisi kelemahan kompetisi, yakni hanya sebagian siswa saja yang akan bertambah pintar, sementara yang lainnya semakin tenggelam dalam ketidaktahuannya. Tidak sedikit siswa yang kurang pengetahuan merasa malu bila kekuranggannya di-expose. Kadang-kadang motivasi persaingan akan menjadi kurang sehat bila para murid saling menginginkan agar siswa lainnya tidak mampu, katakanlah dalam menjawab soal yang diberikan guru. Sikap mental inilah yang dirasa perlu untuk mengalami improvement (perbaikan).
Keuntungan positif mengenai kelompok kooperatif biasanya mengarah pada meningkatnya keterlibatan dengan konten sebagai salah satu faktor penting. Dibandingkan dengan format seisi kelas yang besar, kelompok-kelompok kecil memiliki potensi lebih besar dalam partisipasi, umpan balik, dan penyusunan makna timbal balik diantara para peserta didik. Format kelompok mendorong para peserta didik menjadi lebih aktif. Peserta didik yang memiliki prestasi rendah diuntungkan dari penjelasan rekan sebaya dan peserta didik yang berprestasi tinggi dapat lebih memperkuat pendalaman informasinya. Peserta didik dapat mengembangkan kemampuan interpersonal melalui tugas-tugas kelompok.17
Kelemahan pembelajaran kooperatif bersumber pada dua faktor, yaitu faktor intern diantaranya: guru harus mempersiapkan pembelajaran secara matang (memerlukan lebih banyak tenaga, pemikiran dan waktu), dibutuhkan dukungan fasilitas, alat, dan biaya yang cukup memadai, kecenderungan topik permasalahan yang sedang dibahas meluas, terkadang didominasi oleh seseorang. Sedangkan faktor ekstern terkait dengan kebijakan pemerintah, misalnya adanya UN yang seolah-olah pembelajaran hanya dipersiapkan untuk keberhasilan dalam UN.
Apabila guru telah berperan baik sebagai fasilitator, motivator, mediator, maupun sebagai evaluator, maka kelemahan yang ditemukan dalam pembelajaran kooperatif dapat diatasi. Peran guru sangat penting dalam menciptakan suasana kelas yang kondusif agar pembelajaran dapat dilaksanakan sesuai rencana. Sehingga dalam pembelajaran kooperatif tercipta sebuah interaksi yang lebih luas, yaitu interaksi dan komunikasi yang dilakukan antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, dan siswa dengan guru (multiway traffic comunication).18
Pentingnya strategi pembelajaran kooperatif sebagaimana yang Zamroni sebutkan bahwa implikasi dari hasil brain research dan tuntutan dunia kerja, pendidikan diharapkan:19
  1. mampu mengembangkan pada diri siswa tiga kemampuan dasar, yakni pertama:basic skills seperti membaca-menginterpretasi informasi, menulis-mengembangkan informasi, berhitung-matematika, berkomunikasi. Kedua: thinking skills berupa kreativitas, problem solving, reasoning. Ketiga: personal skills yang meliputi kemampuan mengendalikan diri, tanggungjawab, sociability, self-esteem, integritas-kejujuran.
  2. mampu mengembangkan diri di tempat kerja yang mencakup: kemampuan merencanakan, mengidentifikasi, mengorganisasi, bekerjasama dengan orang lain, menguasai dan memanfaatkan informasi, memahami hubungan sosial, organisasi, dan teknologi yang kompleks,
  3. mampu dalam pengelolaan dan penyampaian bahan pelajaran yang antara lain bercirikan: penyampaian materi lintas bidang, model pembelajaran kooperatif, dan outcome aspek afektif lebih jelas.


  1. Unsur-unsur Dasar dalam Coperative Learning
Menurut Lungdren, unsur-unsur dasar dalam cooperative learning adalah sebagai berikut:20
  1. Para siswa harus memiliki tanggungjawab terhadap siswa atau peserta didik lain dalam kelompoknya, selain tanggungjawab terhadap diri sendiri dalam mempelajari materi yang dihadapi.
  2. Para siswa harus berpandangan bahwa mereka semua memiliki tujuan yang sama.
  3. Para siswa membagi tugas dan berbagi tanggungjawab di antara para anggota kelompok.
  4. Para siswa diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berpengaruh terhadap evaluasi kelompok.
  5. Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh keterampilan bekerja sama selama belajar.
  6. Setiap siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.
  1. Karakteristik Pembelajaran Kooperatif
Tiga konsep sentral yang menjadi karakteristik pembelajaran kooperatif sebagaimana dikemukakan oleh Slavin yaitu:21
  1. Penghargaan kelompok
Pembelajaran kooperatif menggunakan tujuan-tujuan kelompok untuk memperoleh penghargaan kelompok. Penghargaan kelompok diperoleh jika kelompok mencapai skor di atas kriteria yang ditentukan. Keberhasilan kelompok didasarkan pada penampilan individu sebagai anggota kelompok dalam menciptakan hubungan antar personal yang saling mendukung, saling membantu, dan saling mempedulikan.
  1. Pertanggungjawaban individu
Keberhasilan kelompok tergantung dari pembelajaran individu dari semua anggota kelompok. Pertanggungjawaban tersebut menitikberatkan pada aktivitas anggota kelompok yang saling membantu dalam belajar. Adanya pertanggungjawaban secara individu juga menjadikan setiap anggota siap untuk menghadapi tes dan tugas-tugas lainnya secara mandiri tanpa bantuan teman sekelompoknya.
  1. Kesempatan yang sama untuk mencapai keberhasilan
Pembelajaran kooperatif menggunakan metode skoring yang mencakup nilai perkembangan berdasarkan peningkatan prestasi yang diperoleh siswa dari yang terdahulu. Dengan menggunakan metode skoring ini setiap siswa baik yang berprestasi rendah, sedang, atau tinggi sama-sama memperoleh kesempatan untuk berhasil dan melakukan yang terbaik bagi kelompoknya.
Menurut Julia jasmine empat komponen dasar pembelajaran kooperatif yang membedakannya dengan pembelajaran melalui kegiatan kelompok biasa, yaitu:22
  1. dalam pembelajaran kooperatif, semua anggota kelompok perlu bekerjasama untuk menyelesaikan tugas,
  2. kelompok pembelajaran kooperatif seharusnya heterogen,
  3. aktivitas-aktivitas pembelajaran kooperatif perlu dirancang sedemikian rupa shg setiap siswa berkontribusi kpd kelompok dan setiap anggota kelompok dpt dinilai atas dasar kinerjanya,
  4. tim pembelajaran kooperatif perlu mengetahui tujuan akademik maupun sosial suatu pelajaran terkait.
  1. Tujuan Pembelajaran Kooperatif
Tujuan pembelajaran kooperatif berbeda dengan kelompok tradisional yang menerapkan sistem kompetisi, di mana keberhasilan individu diorientasikan pada kegagalan orang lain. Sedangkan tujuan dari pembelajaran kooperatif adalah menciptakan situasi di mana keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya.23
Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting yang dirangkum oleh Ibrahim yaitu: 24
  1. Hasil belajar akademik
Dalam belajar kooperatif meskipun mencakup beragam tujuan sosial, juga memperbaiki prestasi siswa atau tugas-tugas akademis penting lainnya. Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep sulit. Para pengembang model ini telah menunjukkan bahwa model struktur penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan nilai siswa pada belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar. Selain mengubah norma yang berhubungan dengan hasil belajar, pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademik.
  1. Penerimaan terhadap perbedaan individu
Tujuan lain model pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara luas dari orang-orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kemampuan, dan ketidakmampuannya. Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi siswa dari berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada tugas-tugas akademik dan melalui struktur penghargaan kooperatif akan belajar saling menghargai satu sama lain.
  1. Pengembangan keterampilan sosial
Tujuan penting ketiga pembelajaran kooperatif adalah mengajarkan kepada siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan sosial, penting dimiliki oleh siswa sebab saat ini banyak anak muda masih kurang dalam keterampilan sosial.
  1. Keterampilan Kooperatif
Dalam pembelajaran kooperatif tidak hanya mempelajari materi saja, tetapi siswa atau peserta didik juga harus mempelajari keterampilan-keterampilan khusus yang disebut keterampilan kooperatif. Keterampilan kooperatif ini berfungsi untuk melancarkan hubungan kerja dan tugas. Peranan hubungan kerja dapat dibangun dengan membangun tugas anggota kelompok selama kegiatan. Keterampilan-keterampilan selama kooperatif tersebut antara lain sebagai berikut:25
  1. Keterampilan Kooperatif Tingkat Awal
  1. Menggunakan kesepakatan
Yang dimaksud dengan menggunakan kesepakatan adalah menyamakan pendapat yang berguna untuk meningkatkan hubungan kerja dalam kelompok.
  1. Menghargai kontribusi
Menghargai berarti memperhatikan atau mengenal apa yang dapat dikatakan atau dikerjakan anggota lain. Hal ini berarti harus selalu setuju dengan anggota lain, dapat saja kritik yang diberikan itu ditujukan terhadap ide dan tidak individu.
  1. Mengambil giliran dan berbagi tugas
Pengertian ini mengandung arti bahwa setiap anggota kelompok bersedia menggantikan dan bersedia mengemban tugas/ tanggungjawab tertentu dalam kelompok.
  1. Berada dalam kelompok
Maksud di sini adalah setiap anggota tetap dalam kelompok kerja selama kegiatan berlangsung.
  1. Berada dalam tugas
Yang dimaksud berada dalam tugas adalah meneruskan tugas yang menjadi tanggungjawabnya, agar kegiatan dapat diselesaikan sesuai waktu yang dibutuhkan.
  1. Mendorong partisipasi
Mendorong partisipasi berarti mendorong semua anggota kelompok untuk memberikan kontribusi terhadap tugas kelompok.
  1. Mengundang orang lain
Maksudnya adalah meminta orang lain untuk berbicara dan berpartisipasi terhadap tugas.
  1. Menyelesaikan tugas dalam waktunya
  2. Menghormati perbedaan individu
Menghormati perbedaan individu berarti bersikap menghormati terhadap budaya, suku, ras atau pengalaman dari semua siswa atau peserta didik.
  1. Keterampilan Tingkat Menengah
Keterampilan tingkat menengah meliputi menunjukkan penghargaan dan simpati, mengungkapkan ketidaksetujuan dengan cara dapat diterima, mendengarkan dengan arif, bertanya, membuat ringkasan, menafsirkan, mengorganisir, dan mengurangi ketegangan.
  1. Keterampilan Tingkat Mahir
Keterampilan tingkat mahir meliputi mengelaborasi, memeriksa dengan cermat, menanyakan kebenaran, menetapkan tujuan, dan berkompromi.
  1. Model Pembelajaran Kooperatif
Dalam pembelajaran kooperatif ada beberapa variasi model yang dapat diterapkan, yaitu diantaranya: Student Team Achievement Division, Jigsaw, Numbered Head Together Teams-Games-Tournament, Group Investigation, Rotating Trio Exchange, Group Resume, Cooperative Integrated Reading and Composition, dll.26 Sedangkan dalam Mel Silberman mengungkapkan beberapa model belajar dengan cara bekerja sama antara lain: Information Search, The Study Group, Card Sort, Learning Toutnament, The Power Of Two, dan Quiz Team.27 Berikut penjelasan mengenai model Teams-Games-Tournament (TGT) dan Jigsaw:
  1. Model Teams-Games-Tournament (TGT)
TGT adalah salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang menempatkan siswa dalam kelompok-kelompok belajar yang beranggotakan 4 sampai 6 orang siswa yang memiliki kemampuan, jenis kelamin dan suku kata atau ras yang berbeda. Dengan adanya heterogenitas anggota kelompok, diharapkan dapat memotivasi siswa untuk saling membantu antar siswa yang berkemampuan lebih dengan siswa yang berkemampuan kurang dalam menguasai materi pelajaran. TGT terdiri dari 5 langkah tahapan yaitu: Tahap Penyajian Kelas (class precentation), Belajar Dalam Kelompok (teams), Permainan (games), Pertandingan (tournament), Penghargaan Kelompok (team recognition).
Guru menyajikan materi, dan siswa bekerja dalam kelompok mereka masing-masing. Dalam kerja kelompok guru memberikan LKS kepada setiap kelompok. Tugas yang diberikan dikerjakan bersama-sama dengan anggota kelompoknya. Apabila ada dari anggota kelompok yang tidak mengerti dengan tugas yang diberikan, maka anggota kelompok yang lain bertanggungjawab untuk memberikan jawaban atau menjelaskannya, sebelum mengajukan pertanyaan tersebut kepada guru. Hal ini akan menyebabkan tumbuhnya rasa kesadaran pada diri siswa bahwa belajar secara kooperatif itu menyenangkan.
Untuk memastikan bahwa seluruh anggota kelompok telah menguasai pelajaran, maka seluruh siswa akan diberikan permainan akademik. Dalam permainan akademik siswa akan dibagi dalam meja-meja turnamen, dimana setiap meja turnamen terdiri dari 5 sampai 6 orang yang merupakan wakil dari kelompoknya masing-masing. Dalam setiap meja permainan diusahakan agar tidak ada peserta yang berasal dari kelompok yang sama. Siswa dikelompokkan dalam satu meja turnamen secara homogen dari segi kemampuan akademik, artinya dalam satu meja turnamen kemampuan setiap peserta diusahakan agar setara.
Langkah pertama sebelum memberikan penghargaan kelompok adalah menghitung rata-rata skor kelompok Pemberian penghargaan didasarkan atas rata-rata poin yang didapat oleh kelompok tersebut. Lembar penghargaan dicetak dalam kertas HVS, dimana penghargaan ini akan diberikan kepada tim yang memenuhi kategori rata-rata poin sebagai berikut:
Tabel 1. Kriteria Penghargaan Kelompok
Rerata Kelompok
Predikat
30 sampai 39
Tim Kurang baik
40 sampai44
Tim Baik ( Good Team)
45 sampai 49
Tim Baik Sekali ( Great Team)
50 ke atas
Tim Istimewa ( Super Team)

  1. Jigsaw
Jigsaw adalah salah satu tipe pembelajaran kooperatif di mana pembelajaran melalui penggunaan kelompok kecil siswa yang bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran dan mendapatkan pengalaman belajar yang maksimal, baik pengalaman individu maupun pengalaman kelompok. Pada pembelajaran tipe Jigsaw ini setiap siswa menjadi anggota dari 2 kelompok, yaitu anggota kelompok asal dan anggota kelompok ahli. Anggota kelompok asal terdiri dari 3-5 siswa yang setiap anggotanya diberi nomor kepala 1-5. Nomor kepala yang sama pada kelompok asal berkumpul pada suatu kelompok yang disebut kelompok ahli.
Langkah-langkah dalam penerapan jigsaw adalah:
  1. Guru memilih materi belajar yang dapat dipisah-pisah menjadi beberapa bagian.
  2. Guru menghitung jumlah bagian materi belajar dengan jumlah peserta didik kemudian guru membagi tugas yang berbeda kepada kelompok peserta yang berbeda.
  3. Siswa dibagi dalam kelompok kecil yang disebut kelompok inti, beranggotakan 4 orang. Setiap siswa diberi nomor kepala misalnya A, B, C, D.
  4. Membagi wacana / tugas sesuai dengan materi yang diajarkan. Masing-masing siswa dalam kelompok asal mendapat wacana / tugas yang berbeda, nomor kepala yang sama mendapat tugas yang sama pada masing-masing kelompok.
  5. Kumpulkan masing-masing siswa yang memiliki wacana/ tugas yang sama dalam satu kelompok sehingga jumlah kelompok ahli sama dengan jumlah wacana atau tugas yang telah dipersiapkan oleh guru.
  6. Dalam kelompok ahli ini tugaskan agar siswa belajar bersama untuk menjadi ahli sesuai dengan wacana / tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
  7. Tugaskan bagi semua anggota kelompok ahli untuk memahami dan dapat menyampaikan informasi tentang hasil dari wacana / tugas yang telah dipahami kepada kelompok kooperatif (kelompok inti). Poin a dan b dilakukan dalam waktu 30 menit.
  8. Apabila tugas telah selesai dikerjakan dalam kelompok ahli masing-masing siswa kembali ke kelompok kooperatif asal.
  9. Beri kesempatan secara bergiliran masing-masing siswa untuk menyampaikan hasil dari tugas di kelompok asli. Poin c dan d dilakukan dalam waktu 20 menit.
  10. Bila kelompok sudah menyelesaikan tugasnya secara keseluruhan, masing-masing kelompok menyampaikan hasilnya dan guru memberikan klarifilkasi. (10 menit).
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari ilustrasi berikut:




Penjelasan untuk semua kelompok.




Kelompok I Kelompok II Kelompok III
Penjelasan kelompok belajar


1 1 1 1
2 2 2 2

3 3 3 3

Penjelasan kelompok “Jigsaw”

  1. Penelitian Penerapan Strategi Pembelajaran Kooperatif dalam Pembelajaran PAI MI
Penerapan strategi pembelajaran kooperatif tipe NHT dalam pembelajaran SKI di kelas V MI Muhammadiyah Tersono Batang dilaksanakan dalam dua siklus yang setiap siklusnya dua kali pertemuan. Strategi NHT mencakup penomoran, pengajuan masalah, diskusi kelompok, pemanggilan nomor, presentasi dan pemberian penghargaan. Strategi Cooperative Learning tipe NHT efektif digunakan untuk meningkatkan motivasi belajar siswa dalam pembelajaran SKI khususnya siswa kelas V MI Muhammadiyah Tersono Batang. Hal tersebut terbukti dari adanya peningkatan motivasi belajar siswa dari siklus I ke siklus II. Motivasi siswa pada siklus I sebesar 81,72 % dalam kategori baik dan siklus II sebesar 87 % dalam kategori baik sehingga terjadi peningkatan sebesar 5,28 %. Strategi tersebut juga efektif untuk meningkatkan prestasi belajar siswa dalam pembelajaran SKI hal tersebut terbukti dari adanya peningkatan prestasi belajar siswa dari siklus I ke siklus II. Prestasi belajar siswa pada siklus I nilai rata-rata pre- tes sebesar 64.28 dan post-tes sebesar 75 dan siklus II nilai rata-rata pre-tes sebesar 69 dan post- test sebesar 83.86 sehingga terjadi peningkatan pada siklus I ke siklus II nilai pre- test sebesar 4.72 dan nilai post-test sebesar 8.86.28
  1. Contoh RPP Pembelajaran Kooperatif

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
Satuan Pendidikan : MI Insan Cendekia Blora
Mata Pelajaran : Fiqih
Kelas / semester : IV / 1
Pertemuan ke : II
Alokasi waktu : 2 x 35 menit

  1. Standar Kompetensi
Mengetahui ketentuan zakat
  1. Kompetensi Dasar
1.1 Menjelaskan macam-macam zakat

  1. Indikator
  1. Siswa mampu menjelaskan pengertian zakat
  2. Siswa mampu merumuskan macam-macam zakat dengan benar.
  3. Siswa dapat membedakan orang yang berhak menerima zakat dengan orang yang tidak berhak menerima zakat
  4. Siswa mampu menyebutkan faedah zakat dari berbagai segi.
  5. siswa dapat menjelaskan hikmah zakat dengan benar.

  1. Tujuan Pembelajaran
Dengan metode Active knowledge sharing, Learning Tournament, Interactive Lecturing didukung media grafis maka siswa diharapkan dapat menjelaskan macam-macam zakat

  1. Materi Pembelajaran
Pengertian zakat, macam-macam zakat, orang yang berhak menerima zakat, dan Hikmah zakat dari berbagai segi (terlampir)

  1. Metode dan Strategi Pembelajaran
  • Active knowledge sharing
  • Learning Tournament
  • Interactive Lecturing
  1. Langkah-langkah pembelajaran
Tahap Kegiatan Alokasi waktu
Awal
  • Guru membuka dengan salam dan doa
  • Guru melakukan apersepsi
  • Guru menjelaskan tujuan pembelajaran
  • Guru mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan materi yang akan diajarkan
  • Siswa menjawab berbagai pertanyaan sebaik yang mereka bisa

10 menit
Inti
  • Guru memberikan penjelasan singkat tentang materi
  • Siswa dibagi dalam tim yang terdiri atas 6 anggota
  • Guru memberikan materi untuk dibahas bersama
  • Guru memberikan pertanyaan untuk menguji pemahaman dan mengingat materi pelajaran dalam bentuk uraian
  • Setiap siswa menjawab pertanyaan secara pribadi
  • Siswa diminta untuk menghitung pertanyaan yang bisa dijawab dengan benar, kemudian meminta mereka menyatakan skor kepada anggota tim untuk mendapatkan skor tim.
  • Guru mengumumkan skor masing masing tim
  • Guru memberikan kesempatan siswa bertanya tentang materi

50 menit
Penutup
  • Guru memberi kesimpulan atas materi yang telah dipelajari dengan membuat peta konsep.
  • Guru memberi kesempatan siswa untuk bertanya jawab.
  • Guru melakukan post test
  • Guru memberikan tugas kepada siswa
  • Guru menjelaskan topic study yang akan datang melalui ceramah singkat.
  • Guru menutup pelajaran dengan doa dan salam
10 menit

  1. Sumber pembelajaran
  1. Media/ Alat:
White board, Spidol, Laptop, LCD
  1. Referensi
Buku paket Fiqh MTs kelas III terbitan Departemen Agama RI
Panduan Pintar Zakat. H.A. Hidayat, Lc. & H. Hikmat Kurnia. Qultum Media. Jakarta. 2008.
Kutipan dari Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia bebas
  1. Penilaian
      • Partisipasi siswa dalam pembelajaran (terlampir)
      • Tes lisan secara spontan
  1. sebutkan makna zakat secara bahasa dan istilah !
  2. jelaskan macam macam zakat !
  3. jelaskan hikmah zakat bagimu dan bagi orang lain !

Penugasan: mencari dalil yang berkenaan dengan zakat
Kepala Madrasah


Rofi’ah Nurul Hidayati, S.Pd
Guru Mata pelajaran


Nurul Hidayati Rofi’ah, S.Pd.I


Lampiran Materi
Zakat adalah rukun ketiga dari rukun Islam. Secara harfiah zakat berarti "tumbuh", "berkembang", "menyucikan", atau "membersihkan". Sedangkan secara terminologi syari'ah, zakat merujuk pada aktivitas memberikan sebagian kekayaan dalam jumlah dan perhitungan tertentu untuk orang-orang tertentu sebagaimana ditentukan.
Zakat merupakan salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah, seperti: shalat,haji,dan puasa yang telah diatur secara rinci dan paten berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah,sekaligus merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan ummat manusia.


Macam-Macam Zakat
Zakat terbagi atas dua tipe yakni:
  1. Zakat Fitrah
  • Zakat yang wajib dikeluarkan muslim menjelang Idul Fitri pada bulan Ramadhan. Besar Zakat ini setara dengan 2,5 kilogram makanan pokok yang ada di daerah bersangkutan.
  1. Zakat Maal (Harta)
  • Mencakup hasil perniagaan, pertanian, pertambangan, hasil laut, hasil ternak, harta temuan, emas dan perak serta hasil kerja (profesi). Masing-masing tipe memiliki perhitungannya sendiri-sendiri.
  • Yang berhak menerima:
  1. Fakir - Mereka yang hampir tidak memiliki apa-apa sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok hidup.
  2. Miskin - Mereka yang memiliki harta namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup.
  3. Amil - Mereka yang mengumpulkan dan membagikan zakat.
  4. Muallaf - Mereka yang baru masuk Islam dan membutuhkan bantuan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan barunya
  5. Hamba Sahaya yang ingin memerdekakan dirinya
  6. Gharimin - Mereka yang berhutang untuk kebutuhan yang halal dan tidak sanggup untuk memenuhinya
  7. Fisabilillah - Mereka yang berjuang di jalan Allah (misal: dakwah, perang dsb)
  8. Ibnus Sabil - Mereka yang kehabisan biaya diperjalanan.
Yang tidak berhak menerima zakat
  1. Orang kaya. Rasulullah bersabda, "Tidak halal mengambil sedekah (zakat) bagi orang yang kaya dan orang yang mempunyai kekuatan tenaga." (HR Bukhari).
  2. Hamba sahaya, karena masih mendapat nafkah atau tanggungan dari tuannya.
  3. Keturunan Rasulullah. Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya tidak halal bagi kami (ahlul bait) mengambil sedekah (zakat)." (HR Muslim).
  4. Orang yang dalam tanggungan yang berzakat, misalnya anak dan istri.
  5. Orang kafir.
Beberapa Faedah Zakat
Faedah Diniyah (segi agama)
  1. Dengan berzakat berarti telah menjalankan salah satu dari Rukun Islam yang mengantarkan seorang hamba kepada kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akhirat.
  2. Merupakan sarana bagi hamba untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Rabb-nya, akan menambah keimanan karena keberadaannya yang memuat beberapa macam ketaatan.
  3. Pembayar zakat akan mendapatkan pahala besar yang berlipat ganda, sebagaimana firman Allah, yang artinya: "Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah" (QS: Al Baqarah: 276). Dalam sebuah hadits yang muttafaq "alaih Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam" juga menjelaskan bahwa sedekah dari harta yang baik akan ditumbuhkan kembangkan oleh Allah berlipat ganda.
  4. Zakat merupakan sarana penghapus dosa, seperti yang pernah disabdakan Rasulullah Muhammad SAW.
Faedah Khuluqiyah (Segi Akhlak)
  1. Menanamkan sifat kemuliaan, rasa toleran dan kelapangan dada kepada pribadi pembayar zakat.
  2. Pembayar zakat biasanya identik dengan sifat rahmah (belas kasih) dan lembut kepada saudaranya yang tidak punya.
  3. Merupakan realita bahwa menyumbangkan sesuatu yang bermanfaat baik berupa harta maupun raga bagi kaum Muslimin akan melapangkan dada dan meluaskan jiwa. Sebab sudah pasti ia akan menjadi orang yang dicintai dan dihormati sesuai tingkat pengorbanannya.
  4. Di dalam zakat terdapat penyucian terhadap akhlak.
Faedah Ijtimaiyyah (Segi Sosial Kemasyarakatan)
  1. Zakat merupakan sarana untuk membantu dalam memenuhi hajat hidup para fakir miskin yang merupakan kelompok mayoritas sebagian besar negara di dunia.
  2. Memberikan dukungan kekuatan bagi kaum Muslimin dan mengangkat eksistensi mereka. Ini bisa dilihat dalam kelompok penerima zakat, salah satunya adalah mujahidin fi sabilillah.
  3. Zakat bisa mengurangi kecemburuan sosial, dendam dan rasa dongkol yang ada dalam dada fakir miskin. Karena masyarakat bawah biasanya jika melihat mereka yang berkelas ekonomi tinggi menghambur-hamburkan harta untuk sesuatu yang tidak bermanfaaat bisa tersulut rasa benci dan permusuhan mereka. Jikalau harta yang demikian melimpah itu dimanfaatkan untuk mengentaskan kemiskinan tentu akan terjalin keharmonisan dan cinta kasih antara si kaya dan si miskin.
  4. Zakat akan memacu pertumbuhan ekonomi pelakunya dan yang jelas berkahnya akan melimpah.
  5. Membayar zakat berarti memperluas peredaran harta benda atau uang, karena ketika harta dibelanjakan maka perputarannya akan meluas dan lebih banyak pihak yang mengambil manfaat.
Hikmah Zakat
Hikmah dari zakat antara lain:
  1. Mengurangi kesenjangan sosial antara mereka yang berada dengan mereka yang miskin.
  2. Pilar amal jama'i antara mereka yang berada dengan para mujahid dan da'i yang berjuang dan berda'wah dalam rangka meninggikan kalimat Allah SWT.
  3. Membersihkan dan mengikis akhlak yang buruk
  4. Alat pembersih harta dan penjagaan dari ketamakan orang jahat.
  5. Ungkapan rasa syukur atas nikmat yang Allah SWT berikan
  6. Dukungan moral kepada orang yang baru masuk Islam
  7. Menambah pendapatan negara untuk proyek-proyek yang berguna bagi ummat.





BAB III
KESIMPULAN
      1. Kesimpulan
Strategi pembelajaran kooperatif merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan dalam pembelajaran PAI agar pembelajaran dapat berjalan secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Strategi pembelajaran kooperatif secara psikologis sesuai dengan perkembangan sosial peserta didik usia MI dan sesuai dengan karakteristik mereka yang senang bekerja dalam kelompok. Strategi kooperatif juga merupakan cerminan dari unsur kepribadian bangsa Indonesia yaitu gotong royong. Oleh karena itu pembelajaran harus sesuai dengan keadaan masyarakat dan sifat gotong royong hendaknya dijadikan suatu prinsip yang mewarnai praktik pembelajaran untuk peserta didik.
Dengan strategi pembelajaran kooperatif, guru dapat menggunakan berbagai metode yang menarik yang dapat meningkatkan minat, motivasi, prestasi peserta didik. Peserta didik tidak hanya mendengarkan melalui ceramah, tetapi mereka dituntut untuk aktif kooperatif dengan teman sekelasnya. Dengan strategi ini, interaksi pembelajaran akan lebih “multi-arah” dan terjadi diversifikasi sumber belajar. Strategi pembelajaran kooperatif ini diarahkan pada pengembangan kemampuan kognitif siswa bersamaan dengan kemampuan hubungan interpersonal (ketrampilan sosial) peserta didik.
Dalam pelaksanaan strategi pembelajaran kooperatif dibutuhkan kemauan dan kemampuan serta kreatifitas guru dalam mengelola lingkungan kelas, sehingga guru menjadi lebih aktif terutama saat menyusun rencana pembelajaran secara matang, pengaturan kelas saat pelaksanaan, dan membuat tugas untuk dikerjakan siswa bersama dengan kelompoknya.


      1. Rekomendasi
        1. Dalam penerapan model pembelajaran kooperatif diperlukan perencanaan dan persiapan yang matang dan waktu yang tidak sebentar, maka guru diharapkan lebih kreatif dalam mempersiapkan dan mengelola waktu dengan tepat.
        2. Hendaknya tidak membebani peserta didik dengan terlalu banyak aktivitas. Sedikit aktivitas kadang lebih berarti. Menggunakan aktivitas tersebut untuk menggairahkan suasana kelas.
        3. Dalam menerapkan strategi pembelajaran kooperatif diharapkan guru mampu membuat petunjuk dengan jelas. Guru dapat memperagakan atau mengilustrasikan apa yang harus dilakukan peserta didik sehingga tidak muncul kebingungan di kalangan peserta didik. Hal ini justru dapat mengalihkan perhatian mereka.
      1. Penutup
Alhamdulillah, puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Penulis yakin masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini dan jauh dari kesempurnaan. Harapan penulis, semoga makalah ini bermanfaat.












DAFTAR PUSTAKA

Desmita. Psikologi Perkembangan. Bandung: Rosdakarya. 2006.

Evertson, M. Carolyn dan Edmund T. Emmer. Manajemen Kelas untuk Guru Sekolah Dasar. Jakarta: Kencana. 2011.

Huda, Miftahul. Cooperatif Learning Metode, Teknik, Struktur, dan Model Penerapan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011.

Ibrahim, Pembelajaran Kooperatif, Surabaya: Unesa Press. 2000.

Isjoni. Pembelajaran Kooperatif Meningkatkan Kecerdasan komunikasi antar Peserta Didik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009.

Isjoni. Cooperative Learning, Efektifitas Pembelajaran Kelompok. Bandung: Alfabeta. 2009.

Ismail. Strategi Pembelajaran Agama Islam Berbasis PAIKEM. Semarang: RaSAIL, 2008.

Jasmine, Julia. 2007. Panduan Praktis Mengajar Berbasis Multiple Intelegences. Bandung: Nuansa.

Joice, Bruce. Models of Teaching. London: Allyn and Bacon. 1996.

L, Zulkifli. Psikologi Perkembangan. Bandung:Rosdakarya. 2005.

Lie, Anita. Cooperative Learning Mempraktekkan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas. Jakarta: Grasindo. 2008.

Nasution. Didaktik Asas-Asas Mengajar. Jakarta:Bumi Aksara. 1995.

Prabowo, Sugeng Listyo. Perencanaan Pembelajaran. Malang: UIN Maliki Press. 2010.

Rusman. Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2011.

Silberman, Mel. 101 Cara Pelatihan dan Pembelajaran Aktif. Jakarta: Indeks. 2010.

Slavin, Robert E. Cooperative Learning. Bandung: Nusa Media 2008.

Suyono dan Hariyanto. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Rosdakarya. 2011.

Suprijono, Agus. Cooperatif Learning: teori dan Aplikasi PAKEM. Yogyakarta: Pustaka Belajar. 2009.

Solihatin, Etin dan Raharjo. Cooperatif Learning Analisis Model Pembelajaran IPS. Jakarta:Bumi Aksara. 2008.



1 Empat pilar pendidikan dalam UNESCO lihat juga Suyono, Belajar dan Pembelajaran, Bandung:Rosdakarya, 2011, hal. 29.

2 Ismail, Strategi Pembelajaran Agama Islam Berbasis PAIKEM, (Semarang:RaSAIL, 2008), hal. 3.

3 Ibid. hal. 4.

4 Anita Lie, Cooperatif Learning: Mempraktikkan Cooperatif Learning di Ruang-Ruang Kelas, (Jakarta: Grasindo, 2002), hal.8

5 Desmita, Psikologi Perkembangan, Bandung: Rosdakarya, 2006, Hlm. 153

6 Zulkifli L, Psikologi Perkembangan, Bandung:Rosdakarya, 2005, Hlm.66

7 Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2008, Hlm. 70


8 Suyono dan Hariyanto, Belajar dan Pembelajaran, Bandung: Rosdakarya, 2011, hal. 20.

9 Mel Silberman, 101 Cara Pelatihan dan Pembelajaran Aktif, Jakarta: Indeks, 2010, hal. 161

10 Robert E Slavin, Cooperative Learning, Bandung: Nusa Media, 2008, hal. 8.

11 Agus Suprijono, Cooperatif Learning: teori dan Aplikasi PAKEM, Yogyakarta: Pustaka Belajar,2009, hal. 54

12 Muslim Ibrahim dalam Rusman, Model-Model Pembelajaran, Jakarta: Rajagrafindo persada, 2011, hal. 208

13 Anita Lie, Cooperatif Learning: Mempraktikkan Cooperatif Learning di Ruang-Ruang Kelas, (Jakarta: Grasindo, 2002), hal.8

14 Djahiri dalam Isjoni, Pembelajaran Kooperatif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hal. 26

15 Sugeng Listyo Prabowo, Perencanaan Pembelajaran, Malang: UIN Maliki Press, 2010, hal.116.

16 Nasution, Didaktik Asas-Asas Mengajar, Jakarta:Bumi Aksara, 1995, hal. 146.

17 Carolyn M. Evertson dan Edmund T. Emmer, Manajemen Kelas untuk Guru Sekolah Dasar, Jakarta: Kencana, 2011, hal. 153

18 Rusman, Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011, hal. 203

19 Zamroni dalam Mahmud Arif” Strategi Pembelajaran Kooperatif untuk PAI “materi kuliah PAI MI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012

20 Yusuf, “ Kualitas Proses dan Hasil Belajar Biologi Melalui Pengajaran Dengan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Pada Madrasah Aliyah Ponpes Nurul Haramain Lombok Barat NTB” Tesis Program Pascasarjana Program Studi Pendidikan Sains Universitas Negeri Surabaya, hal. 23

21 Slavin, Cooperative ...,, hal. 34.

22 Julia Jasmine, Panduan Praktis Mengajar Berbasis Multiple Intelegences, Bandung: Nuansa, 2007, hal. 141-143


23 Robert Slavin, Educational Psychology Teori dan Praktik, (Bandung: Nusa Media, 2009), hal. 41.

24 Ibrahim M, Pembelajaran Kooperatif, (Surabaya: Unesa Press, 2000), hal. 19.

25 Lungdren dalam Isjoni, Pembelajaran Kooperatif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hal. 65-67

26 Slavin, Cooperative..., hal 11-26

27 Mel Silberman, Active Learning, Yogyakarta:Insan Madani, 2009, hal. 151-164

28 Arini HasanahPenerapan Model Pembelajaran Kooperatif tipe NHT (Numbered Head Together) Untuk Meningkatkan Motivasi dan Prestasi Belajar Siswa Kelas V Dalam Pembelajaran SKI di MI Muhammadiyah Tersono Batang.”, skripsi, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011.