Minggu, 30 September 2012
Minggu, 09 September 2012
Manajemen Berbasis Madrasah
BAB I
PENDAHULUAN
Istilah manajemen berbasis sekolah/madrasah (School Based Management) pertama kali muncul di Amerika serikat ketika masyarakat mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat setempat. Manajemen Berbasis Sekolah/ Madrasah mulai dipopulerkan di Indonesia sejak tahun 1994-an dan dicobakan sejak tahun 1998. Ada banyak harapan tersimpan dalam pendekatan baru tersebut.
Manajemen Berbasis Sekolah/Madrasah merupakan paradigma baru manajemen pendidikan, yang memberi otonomi luas pada sekolah dan pelibatan masyarakat dalam kerangka kebijakan nasional. Otonomi diberikan agar sekolah leluasa dalam mengelola sumber daya, sumber dana, sumber belajar, dan mengalokasikannya sesuai prioritas kebutuhan serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat. Otonomi tersebut tidak serta merta menjadikan sekolah melepaskan diri dari kontrol pemerintah. Aturan kelembagaan yang bersifat fungsional operasional sebagai bagian dari lembaga negara di bidang pendidikan, tentu tetap berlaku.
Kebijakan Manajemen Berbasis Madrasah memberi peluang madrasah untuk menjadi semakin unggul. Sekolah ber-MBM artinya dalam menyelenggarakan manajemen pengelolaannya berorientasi pada kepentingan sekolah. Secara mandiri madrasah menentukan visi, misi, tujuan dan segala aktivitas pelaksanaannya. Kurikulum sekolah MBM disusun sesuai tujuan madrasah, sebagai hasil kesepakatan kehendak madrasah, orang tua, dan masyarakat terutama pengguna lulusan madrasah.
Segala aktivitas pendidikan di madrasah diorientasikan untuk peningkatan mutu pendidikan sekolah yang bersangkutan. Kontribusi orang tua dan masyarakat terhadap sekolah tidak hanya tanggung jawab finansial terhadap penyediaan sarana prasarana pendidikan di sekolah, tetapi juga tanggung jawab terhadap pengendalian mutu sekolah. Fungsi pengawasan pun dilakukan oleh orang tua dan masyarakat terhadap sekolah secara utuh dan menyeluruh.
Bertambahnya sekolah dan madrasah ber-MBS/M di seluruh Indonesia baik secara kuantitas maupun kualitas akan semakin memunculkan sekolah dan madrasah unggulan. Sebuah obsesi jika semua madrasah ber-MBM maka kompetisi unggul dari yang unggul menjadi wacana. Daya saing secara global dalam hal ini akan memberi aroma positif terhadap pendidikan di Indonesia.
Untuk membatasi permasalahan dalam pembahasan, maka dalam makalah ini akan membahas tentang pola manajemen berbasis sekolah/madrasah, pengertian MBM, bagaimana implementasi di madrasah, apasaja hambatan-hambatan dalam pelaksanaanya, dan bagaimana manajemen pengelolaan MI yang ideal menurut penulis.
Manajemen Berbasis Sekolah/Madrasah merupakan paradigma baru manajemen pendidikan, yang memberi otonomi luas pada sekolah dan pelibatan masyarakat dalam kerangka kebijakan nasional. Otonomi diberikan agar sekolah leluasa dalam mengelola sumber daya, sumber dana, sumber belajar, dan mengalokasikannya sesuai prioritas kebutuhan serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat. Otonomi tersebut tidak serta merta menjadikan sekolah melepaskan diri dari kontrol pemerintah. Aturan kelembagaan yang bersifat fungsional operasional sebagai bagian dari lembaga negara di bidang pendidikan, tentu tetap berlaku.
Kebijakan Manajemen Berbasis Madrasah memberi peluang madrasah untuk menjadi semakin unggul. Sekolah ber-MBM artinya dalam menyelenggarakan manajemen pengelolaannya berorientasi pada kepentingan sekolah. Secara mandiri madrasah menentukan visi, misi, tujuan dan segala aktivitas pelaksanaannya. Kurikulum sekolah MBM disusun sesuai tujuan madrasah, sebagai hasil kesepakatan kehendak madrasah, orang tua, dan masyarakat terutama pengguna lulusan madrasah.
Segala aktivitas pendidikan di madrasah diorientasikan untuk peningkatan mutu pendidikan sekolah yang bersangkutan. Kontribusi orang tua dan masyarakat terhadap sekolah tidak hanya tanggung jawab finansial terhadap penyediaan sarana prasarana pendidikan di sekolah, tetapi juga tanggung jawab terhadap pengendalian mutu sekolah. Fungsi pengawasan pun dilakukan oleh orang tua dan masyarakat terhadap sekolah secara utuh dan menyeluruh.
Bertambahnya sekolah dan madrasah ber-MBS/M di seluruh Indonesia baik secara kuantitas maupun kualitas akan semakin memunculkan sekolah dan madrasah unggulan. Sebuah obsesi jika semua madrasah ber-MBM maka kompetisi unggul dari yang unggul menjadi wacana. Daya saing secara global dalam hal ini akan memberi aroma positif terhadap pendidikan di Indonesia.
Untuk membatasi permasalahan dalam pembahasan, maka dalam makalah ini akan membahas tentang pola manajemen berbasis sekolah/madrasah, pengertian MBM, bagaimana implementasi di madrasah, apasaja hambatan-hambatan dalam pelaksanaanya, dan bagaimana manajemen pengelolaan MI yang ideal menurut penulis.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Konsep Manajemen berbasis madrasah (MBM)
1. Pola Manajemen berbasis madrasah
Seiring dengan berlakunya Undang-Undang RI No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Otonomi Daerah) dan bukti-bukti empiris tentang kurang efektif dan efisiensinya manajemen berbasis pusat, maka Depdiknas melalui perubahan dan penyesuaian, salah satu diantaranya adalah melalui pergeseran pendekatan manajemen, yaitu manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah/ madrasah (MBM).
Adapun untuk menelaah lebih lanjut tentang paradigma baru perubahan pola lama ke pola baru secara rinci dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.
Pola Lama Menuju Pola Baru
- Subordinasi à - Otonomi
- Pengambilan keputusan terpusat à - Pengambilan Keputusan
Partisipatif
- Ruang gerak kaku à - Ruang gerak luwes
- Pendekatan birokratik à - Pendekatan profesional
- Sentralistik à - Desentralistik
- Diatur à - Motivasi diri
- Overregulasi à - Deregulasi
- Mengental à - Mempengaruhi
- Mengarahkan à - Memfasilitasi
- Menghindari risiko à - Mengelola risiko
- Gunakan uang seenaknya à - Gunakan uang seefisien
Mungkin
- Individu tercerdas à - Team work cerdas
- Informasi terpribadi à - Informasi terbagi
- Pendelegasian à - Pemberdayaan
- Organisasi hierarkis à - Organisasi datar
(Diadaptasi dari Depdiknas, 2000)
Berdasarkan Tabel 1 di atas, dapat dikemukakan bahwa otonomi dapat diartikan sebagai kemandirian yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri. Kemandirian dalam perencanaan program maupun rencana anggaran merupakan tolok ukur utama kemandirian madrasah. Pada gilirannya kemandirian yang berlangsung secara terus menerus akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan madrasah. Jadi otonomi sekolah adalah kewenangan madrasah untuk mengurus dan mengatur kepentingan semua warga madrasah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga madrasah sesuai paraturan dan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku.
Dalam hal ini kemandirian harus didukung dengan sejumlah kemampuan: kemampuan mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi yaitu menghargai perbedaan pendapat, kemampuan bermobilisasi sumber daya, kemampuan berkomunikasi dengan baik, dan kemampuan memecahkan masalah sekolah.
Fleksibilitas dapat diartikan sebagai keluwesan-keluwesan yang diberikan kepada sekolah untuk mengelola, memanfaatkan, dan memberdayakan sumber daya sekolah seoptimal mungkin untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan keluwesan-keluwesan yang lebih besar diberikan kepada sekolah, maka akan lebih lincah dan tidak harus menunggu arahan dari atasannya untuk mengelola, memanfaatkan dan memberdayakan sumber daya. Dengan cara ini, sekolah akan lebih responsif dan cepat tanggap atas segala tantangan yang dihadapi. Namun demikian keluwesan yang dimaksud harus tetap dalam koridor kebijakan dan peraturan perundangan yang ada.
Pendekatan profesionalisme pada pendekatan birokratis, apa yang dilakukan oleh sekolah didasarkan atas kemauan atasan mana yang dianggap baik dan benar oleh pemimpin, itulah yang harus dilaksanakan. Pada pendekatan profesionalisme yang dilakukan sekolah berorientasi pada keahlian pada warga sekolah, sehingga profesionalisme yang dimiliki dapat membimbing tingkah laku dan arahan kepada semua warga sekolah bukan semata-mata pada keluwesan.
Pola manajemen desentralistik, keputusan kekuasaan tidak akan terjadi lagi karena banyak kewenangan pusat wilayah dan Diknas kota yang diserahkan sekolah. Dengan demikian sekolah lebih berdaya dan semua keputusan yang dibuatnya akan lebih efektif dan efisien.
Deregulasi pendidikan akan mampu menumbuhkan daya kreativitas. Prakarsa sekolah, tidak tergantung pada jumlah dan jenis, perintah, membuat sekolah seperti robot, membunuh kreativitas sekolah terutama gurunya. Dengan deregulasi akan membuat sekolah sebagai pusat perubahan, mampu memberikan kelenturan dalam mengelola sekolahnya. Mempengaruhi cenderung ditekankan pada input dan proses sehingga terhindar dari kemungkinan kesalahan, oleh karena itu manajemen berbasis madrasah lebih menekankan pada “mempengaruhi” atau “mengontrol”. Memfasilitasi dengan maksud lebih menekankan pada pemberian “fasilitas”, misalnya bagaimana menurut pendapat Anda program dan perencanaan ini dimana kelebihan dan kelemahannya, bagaimana pemecahannya, sehingga terjadi inovasi, kreativitas bertumbuh subur.
“Mengelola risiko” pada pola manajemen baru lebih menganjurkan “mengambil risiko” dalam hal ini didasari oleh kenyataan yang terjadi bahwa orang-orang yang berani untuk mengambil risiko ternyata cenderung lebih produktif, kreatif dan lebih maju dalam menghadapi permasalahan ke depan dibanding dengan orang yang suka “menghindari risiko”.
Penggunaan uang yang seefisien. Kenyataan pada pola manajemen lama menekankan pada “uang harus dihabiskan semua”, akan tetapi pada pola manajemen baru bergeser menjadi “gunakan uang secukupnya”, sehingga memungkinkan meningkatkan efisiensi sekolah. Kelebihan uang dapat digunakan pelaksanaan program berikutnya walaupun dalam hal ini tetap dituntut terstrukturisasi anggaran pola lama.
“Team work” (kebersamaan) merupakan karateristik yang dituntut oleh MPMBM, karena output pendidikan merupakan hasil kolektif warga sekolah, bukan hasil individual. Team work harus kompak, cerdas dan dinamis. Inti budaya kerjasama antar fungsi dalam sekolah, antar individu dalam sekolah, harus merupakan kebiasaan hidup sehari-hari semua warga sekolah, dengan demikian akan mampu meningkatkan kinerja sekolah.
“Informasi Terbagi” pada pola manajemen lama informasi hanya dimiliki oleh sejumlah warga sekolah khususnya kepala madrasah, wakil dan stafnya serta sebagian guru. Bahkan hal tersebut umumnya tidak disebarluaskan kepada warga sekolah (terpribadi). Dalam pola sekolah dengan manajemen baru informasi harus tersebar, terbagi secara merata ke seluruh warga. Tentu saja yang dimaksudkan adalah tidak setiap hanya diberikan kepada mereka yang memang berhak menerimanya.
Pemberdayaan manajemen pendidikan sampai saat ini masih diwarnai dengan praktik-praktik penyalahgunaan pendelegasian tugas dan fungsi serta tanggung jawab semata tanpa diikuti penyerahan kewenangan. Dengan demikian, sekolah tidak berdaya sama sekali, akan tetapi dengan pemberdayaan melalui penyerahan tugas dan fungsi, tanggung jawab, hak dan kewajiban yang disertai kewenangan untuk mengambil keputusan, maka hanya sekolahlah yang merupakan “pusat perubahan” yang sebenarnya terutama sumber daya manusianya. Sebaik apapun kebijakan dari pusat namun, jika sekolah tidak berubah, maka tidak akan pernah ada perubahan.
Organisasi datar, dari perjalanan panjang pendidikan di Indonesia, bahkan perubahan kurikulum 1968 sampai dengan kurikulum 1994 belum menunjukkan perubahan yang signifikan, apalagi organisasi pendidikan khususnya organisasi sekolah masih diatur dengan berlapis-lapis manajemen yang rumit, sehingga sekolah lamban untuk beradaptasi terhadap perubahan-perubahan, dan kurang tanggap atas isu-isu kritis strategis yang menyangkut kemajuan sekolah. Maka dengan organisasi baru sekolah lebih responsif, antisipatif terhadap isu strategis kritis, termasuk perubahan-perubahan sosial secara umum.
Simpulan dari uraian tabel tersebut di atas yaitu:
a. Pada pola lama, tugas dan fungsi sekolah lebih pada melaksanakan program daripada mengambil inisiatif merumuskan dan melaksanakan program peningkatan mutu yang dibuat sendiri oleh sekolah.
b. Pada pola baru, sekolah memiliki wewenang lebih besar dalam pengelolaan lembaganya, pengambilan keputusan dilakukan secara partisipatif, dan partisipasi masyarakat akan semakin besar. Sekolah lebih luwes dalam mengelola lembaganya, pendekatan profesionalisme lebih diutamakan daripada pendekatan birokratis, pengelolaan sekolah lebih desentralistik. Perubahan sekolah lebih didorong oleh motivasi diri daripada diatur dari luar, regulasi pendidikan lebih sederhana, peranan pusat bergeser dari mengontrol menjadi mempengaruhi dan dari mengarahkan menjadi memfasilitasi dari menghindari risiko menjadi mengelola risiko, penggunaan uang lebih efisien karena sisa anggaran pada tahun yang lalu digunakan tahun berikutnya (efficiency based budgetting).
2. Pengertian Manajemen Berbasis Madrasah
Menurut Malen, Ogawa dan Kranz manajemen berbasis sekolah/ madrasah secara konseptual dapat digambarkan sebagai suatu perubahan formal struktur penyelenggaraan sebagai suatu bentuk desentralisasi yang mengidentifikasi sekolah itu sendiri sebagai unit utama peningkatan serta bertumpu pada kewenangan pembuatan keputusan sebagai sarana penting dalam peningkatan.
Menurut Mulyasa MBS/M merupakan salah satu dari wujud reformasi pendidikan yang menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai. Otonomi dalam manajemen merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja para staf, menawarkan partisipasi langsung kelompok-kelompok tertentu, dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan.
Menurut Depdiknas (2001) Manajemen berbasis sekolah (MBS) atau “School Based Management” (SBM) merupakan bentuk alternatif yang dapat diartikan sebagai pengkoordinasian dan penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah (Stake Holders). MBS/M bertujuan memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan, keluwesan dari sumber daya untuk meningkatkan mutu sekolah dengan meningkatkan produktivitas sekolah, memberikan fleksibilitas, meningkatkan akutabilitas, mampu melakukan perubahan ke arah perbaikan.
Manajemen berbasis madrasah merupakan salah satu bentuk kebijakan pemerintah dalam bidang desentralisasi pendidikan dan merupakan salah satu implementasi dari pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan PP RI No. 25 tentang Otonomi Daerah.
Esensi manajemen berbasis madrasah adalah merupakan bentuk pengelolaan madrasah yang menjamin madrasah memiliki otonomi luas dalam mengelola sumber daya, melibatkan masyarakat dalam pengelolaan, serta tidak mengabaikan kebijakan nasional. Beberapa faktor yang merefleksikan kepentingan otonomi sekolah, yaitu terjaganya akutabilitas atau “accountability”, tercapainya staff, orang tua, dan siswa dalam pengambilan keputusan, dan tercapainya program-program pengembangan profesi dalam meningkatkan manajemen.
3. Tujuan Penerapan Model MBM
Desain pengelolaan madrasah menggunakan MBM bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. MBM memberikan kekuasaan dan meningkatkan partisipasi madrasah dalam memperbaiki kinerja madrasah mencakup kepemimpinan madrasah, profesionalisme guru, layanan belajar peserta didik yang bermutu, manajemen madrasah yang bermutu, partisipasi orangtua peserta didik dan masyarakat.
Penerapan Manajemen Berbasis Madrasah bertujuan:
a. Meningkatkan mutu pendidikan dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdaya sumber daya dan potensi yang tersedia.
b. Meningkatkan kepedulian warga madrasah dalam menyelenggarakan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama.
c. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, sekolah, dan pemerintah tentang mutu sekolah.
d. Meningkatkan kompetensi yang sehat antarmadrasah untuk pencapaian mutu pendidikan yang diharapkan.
4. Prinsip Manajemen Berbasis Madrasah
Prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan MBM antara lain:
a. Komitmen, kepala madrasah dan warga madrasah harus mempunyai komitmen yang kuat dalam upaya menggerakkan semua warga sekolah untuk ber-MBM
b. Kesiapan, semua warga madrasah harus siap fisik dan mental
c. Keterlibatan, pendidikan yang efektif melibatkan semua pihak
d. Kelembagaan, madrasah sebagai lembaga adalah unit terpenting bagi pendidikan yang efektif.
e. Keputusan, segala keputusan madrasah dibuat oleh pihak yang benar-benar mengerti pendidikan
f. Kesadaran, guru-guru harus memiliki kesadaran untuk membantu dalam pembuatan keputusan program pendidikan
g. Kemandirian, madrasah harus diberi otonomi sehingga memiliki kemandirian dalam membuat keputusan
h. Ketahanan, perubahan akan bertahan lebih lama apabila melibatkan stakeholders madrasah
5. Karakteristik MBS
Manajemen berbasis sekolah/ madrasah memiliki karakteristik sama dengan sekolah yang efektif, yaitu:
a. Memiliki output, yaitu prestasi pembelajaran dan manajemen sekolah yang efektif.
b. Efektifitas proses belajar mengajar yang tinggi
c. Peran kepala madrasah yang kuat dalam mengkoordinasikan, menggerakkan, dan menyerasikan semua sumber daya pendidikan yang tersedia.
d. Lingkungan dan iklim belajar yang aman, tertib, dan nyaman sehingga manajemen sekolah lebih efektif.
e. Melakukan analisa kebutuhan, perencanaan, pengembangan, evaluasi kerja,, hubungan kerja, dan imbalan jasa tenaga kependidikan dan guru yang dapat memenuhi kebutuhan nafkah hidupnya sehingga mampu menjalankan tugasnya dengan baik.
f. Pertanggungjawaban madrasah terhdap keberhasilan program yang telah dilaksanakan.
g. Pengelolaan dan penggunaan anggaran yang sepantasnya dilakukan oleh madrasah sesuai kebutuhan riil untuk meningkatkan mutu layanan belajar.
6. Kepala madrasah Dalam Era MBM
Peran kepala madrasah dalam era MBM dapat dirinci sebagai berikut:
a. Memiliki masukan manajemen yang lengkap dan jelas yang ditampilkan oleh kelengkapan administrasi serta kejelasan dalam tugas (apa yang harus dikerjakan), rencana (deskripsi produk yang akan dihasilkan) ketentuan-ketentuan/limitasi (peraturan perundang-undangan, kualifikasi spesifikasi, metode kerja, prosedur kerja, dan sebagainya) pengendalian (tindakan turun tangan), dan dapat memberikan kesan yang baik bagi lainnya.
b. Memahami, menghayati, dan melaksanakan perannya sebagai manajer (mengkoordinasi dan menyerasikan sumber daya untuk mencapai tujuan), pemimpin madrasah memobilisasi dan memberdayakan sumber daya manusia), pendidik (mengajak murid untuk berubah, wirausahawan (membuat sesuatu bisa terjadi) penyelia( mengarahkan, membimbing dan memberi contoh), pencipta iklim kerja (membuat situasi kerja menjadi nikmati), pengurus/administrator (mengadministrasi), pembaru (memberi nilai tambah), dan pembangkit motivasi (menyemangatkan).
c. Mampu menciptakan tantangan kinerjanya (di madrasah akan terjadi kesenjangan antara kinerja kenyataan dan kinerja harapan) berangkat dari sinilah, kemudian dirumuskan sasaran apa yang akan dicapai oleh sekolah, dilanjutkan dengan melakukan analisis (SWOT) dan berupaya mencari langkah-langkah pencegahannya.
d. Menciptakan team work kompak/kohesif dan cerdas, serta menciptakan koneksi dan kesalingtergantungan antar fungsi dan antar warganya, sehingga membentuk suatu sistem yang utuh dan benar yang dapat menjamin kepastian dan kebermanfaatan hasilnya. Esensinya kepala madrasah mampu mengajak warganya untuk selalu berfikir sistem.
e. Mampu menciptakan situasi dan menumbuhkan kreativitas dan memberikan peluang kepada warganya untuk melakukan eksperimentasi dalam rangka mencari penemuan-penemuan baru walaupun kurang akurat atau salah, sehingga dalam hal ini kepala madrasah mendorong warganya untuk mengambil risiko dan dilinsungi apabila hasilnya salah.
f. Mampu dan sanggup menciptakan sekolah sebagai tempat belajar. Suatu lembaga pendidikan atau sekolah perlu penataan misalnya letaknya jauh dari kebisingan, suasana kelas yang sejuk. Mempunyai lapangan bermain saat beristirahat, sarana ibadah yang memadai, mempunyai lapangan olahraga, perpustakaan yang lengkap, laboratorium sebagai tempat siswa untuk praktik, dan yang lainnya sehingga sekolah benar-benar menjadi tempat belajar.
g. Mampu dan mempunyai kesanggupan untuk melaksanakan manajemen berbasis madrasah sebagai konsekuensi logis dari pergeseran kebijakan manajemen dari manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis madrasah.
h. Mampu memutuskan perhatian terhadap pengelolaan proses belajar-mengajar sebagai kegiatan utamanya, karena kegiatan-kegiatan lainnya dipandang sebagai kegiatan pendukung/penunjang proses belajar-mengajar, karena itu pengelolaan proses belajar mengajar dianggap memiliki tingkat kepentingan yang urgensi sehingga kegiatan ini dianggap komponen proses.
i. Sanggup dan mampu memberdayakan madrasahnya, terutama sumberdaya manusia melalui pemberian kewenangan, keluwesan dan kemandirian sehingga nantinya komitmen yang tinggi dari warganya terhadap visi dan misi sekolah, tingkat kemandirian tinggi dan tingkat ketergantungan rendah, bersifat adaptif dan proaktif, sekaligus berjiwa kewirausahaan yang tinggi, bertanggung jawab terhadap hasil, memilki kontrol yang kuat terhadap input manajemen, komitmen yang tinggi terhadap dirinya dan dapat dimiliki oleh pencapian prestasinya. Adapun contoh yang dapat memberdayakan kepada warga madrasah: pemberian otonomik kepada warganya, penugasan kerja yang bermakna, pemecahan persoalan secara “team work”, variasi tugas, hasil kerja yang terukur, warga sekolah selalu didengar, ada penghargaan atas prestasi kerjanya atau ide-ide baru dan mengetahui bahwa warga madrasah adalah bagian terpenting dari madrasah.
Kinerja mempunyai hubungan erat dengan produktivitas karena merupakan indikator dalam menentukan usaha untuk mencapai tingkat produktivitas organisasi yang tinggi. Sehubungan dengan hal tersebut maka upaya untuk mengadakan penilaian terhadap kinerja organisasi merupakan hal yang penting untuk mengetahui pekerjaan seseorang (kepala madrasah) sehingga perlu ditetapkan standar kinerja atau standard performance.
B. Analisis Masalah di Lapangan
1. Fenomena I
Kemenag: Pemda Harus Adil pada Madrasah
Sabtu, 10 April 2010, 01:15 WIB
Republika online JAKARTA--Kementerian Agama mendesak pemerintah daerah di seluruh Indonesia dari tingkat provinsi hingga kabupaten dan kota untuk memberikan perlakuan adil dan tidak diskriminatif pada madrasah. Hal itu karena siswa madrasah adalah warga negara dan memiliki hak untuk diperlakukan sama oleh pemda seperti siswa sekolah negeri.
'’Madrasah seharusnya mendapatkan perlakuan adil dan sama seperti daerah memperlakukan sekolah,’’ kata Direktur Pendidikan Madrasah Kemenag, Firdaus, kepada Republika, Jumat, (9/4). Menurut Firdaus, hingga akhir tahun lalu, jumlah seluruh madrasah tingkat MI, MTs, dan MA di Indonesia mencapai sekitar 40.218 buah. Dari jumlah itu, hanya 8,6 persen berstatus sebagai madrasah negeri. Sisanya 91,4 persen merupakan madrasah swasta yang dibiayai secara swadaya oleh masyarakat.
Firdaus menyebutkan, perbandingan porsi terbalik terjadi pada data jumlah sekolah umum tingkat SD, SMP, SMA, dan SMK. Sekitar 80 persen sekolah umum di Indonesia berstatus negeri dan sisanya 20 persen swasta. Hal ini berarti jumlah sekolah negeri yang didukung anggaran pemerintah yang bersumber dari pajak masyarakat jauh lebih besar dibandingkan madrasah negeri. Lebih sedikitnya jumlah madrasah negeri dibandingkan sekolah negeri disebabkan keterbatasan alokasi anggaran. Madrasah negeri hanya mendapatkan alokasi anggaran pengembangan pendidikan dari pemerintah pusat melalui Kementerian Agama. Sedangkan, sekolah negeri tidak hanya mendapatkan alokasi anggaran pendidikan dari pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan Nasional, tapi juga pemerintah daerah. Hal itu sehingga pengembangan kuantitas dan kualitas madrasah negeri tidak secepat sekolah negeri.
Menurut Firdaus, sebagian besar pemda tidak bertanggung jawab pada pengembangan pendidikan di madrasah negeri. Mereka menganggap madrasah negeri adalah milik Kemenag, jadi tidak perlu dibiayai anggaran daerah. Sedangkan, sekolah negeri merupakan tanggung jawab bersama pemerintah pusat dan daerah. ‘’Mereka menilai madrasah itu tanggung jawab vertikal pemerintah pusat dan mereka juga menggunakan alasan UU Otonomi Daerah,’’ katanya.
Analisis:
Di dalam UU Nomor 22 tahun 1999, pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa “Agama merupakan bidang pemerintahan yang tidak di otonomikan”. Dalam Kemenag terdapat sekolah-sekolah keagamaan yang dalam hal ini Madrasah Ibtidaiyah (MI) Madasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA), sehingga pemerintah daerah menilai madrasah itu menjadi tanggung jawab vertikal pemerintah pusat dan terjadi perbedaan perlakuan terhadap sekolah umum dan madrasah.
Dalam upaya merespon desentralisasi pendidikan, Departemen Agama telah melayangkan Surat Menteri Agama nomor : MA/407/2000 tanggal 21 November 2000 yang diarahkan kepada Menteri Dalam Negeri dan otonomi daerah.surat itu berisi : Kewenangan penyelenggaraan pendidikan agama (PAI) pada sekolah umum dan penyelengaraan Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah diserahkan kepada Daerah Kabupaten dan kewenanagan lain di bidang pendidikan sebagaimana dimaksud dalam PP No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom. Bab II pasal 2 ayat (3) angka II sepanjang yang menyangkut agama masih di bawah wewenang Departemen Agama.
Di Indonesia terdapat kelembagaan madrasah yang jumlahnya cukup signifikan. Jumlah MA sebanyak 4.687 (86 % diantaranya swasta), MTs sebanyak 12.054 (90% diantaranya swasta), dan MI sebanyak 23.517 (93% diantaranya swasta). Kabupaten Blora terdapat 163 MI diantaranya hanya ada satu MI negeri dan 162 MI swasta. Masyarakat Madrasah banyak yang menyampaikan keluhannya terutama dalam akses otonomi daerah. Berbeda dengan eksistensi sekolah, di beberapa daerah madrasah memang belum diterima secara bulat sebagai asset daerah.
2. Fenomena II
Kemenag Belum Serius Urus Madrasah dan Pesantren
|Selasa, 14 Februari 2012 | 09:33 WIB
JAKARTA, KOPAS.com Pemerintah, khususnya Kementerian Agama, diminta serius meningkatkan kualitas madrasah dan pesantren. Apalagi, lembaga pendidikan Islam ini bisa menjadi cermin bagi kemajuan pendidikan umat Islam dan anak negeri ini. ”Saat ini masih banyak masalah yang dihadapi Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Agama dalam meningkatkan kualitas madrasah dan pesantren,” kata anggota Komisi VIII DPR, Jazuli Juwaini, di Jakarta, Selasa (14/2/2012).
Sehari sebelumnya pada rapat kerja dengan kepala kanwil Kemenag se-Indonesia di Jakarta, menurut Jazli, ia sudah menyampaikan sejumlah solusi yang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas lembaga pendidikan Islam.
”Pendidikan Islam membutuhkan solusi yang tepat dan strategis sehingga tidak dipersepsikan lagi sebagai pendidikan kelas dua. Saya sangat mendukung peningkatan anggaran dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan, namun dari Kemenag juga harus berbenah dalam pengelolaan madrasah dan pesantren,” ujarnya.
Kementerian Agama merupakan salah satu yang tidak diotonomikan sehingga pertanggungjawabannya secara vertikal termasuk pendidikan Islam. ”Walaupun ada beberapa usulan yang meminta madrasah dan pesantren dilebur saja dengan kementerian yang mengurusi pendidikan, saya akan terus mempertahankan karena madrasah dan pesantren memiliki keunikan sendiri yang tidak dapat dimengerti oleh yang lain,” jelas Jazuli.
Analisis:
Pemerintah khususnya Kementerian Agama haruslah melakukan upaya-upaya yang mampu meningkatkan mutu madrasah karena Madrasah Ibtidaiyah memiliki berbagai karakter dan keunikan. Madrasah Ibtidaiyah didirikan dan dikelola oleh tokoh Agama yg memiliki prototype kepribadian Muslim tertentu. Seringkali karakter sang tokoh sebagai pendiri sekaligus menjadi karakter Madrasah Ibtidaiyah. Bahkan Madrasah Ibtidaiyah itu identik dengan karakter pendiri dan pengelolanya, terutama Madrasah Ibtidaiyah swasta. Madrasah itu sebetulnya pondok pesantren plus dan sekolah plus. Keunggulan Sekolah Dasar itu terletak pada sistem pendidikan modern terutama mata pelajaran umum dan Bahasa Inggris. Keunggulan Pondok Pesantren itu terletak pada sistem pendidikan tradisional yg memiliki keunggulan dari segi kepribadian, rumpun mata pelajaran Agama Islam dan Bahasa Arab. MI adalah SD (unggul pada sistem pendidikan modern terutama mata pelajaran umum) plus kepribadian Muslim, Pendidikan Agama Islam, dan Bahasa Arab.
Madrasah merupakan lembaga pendidikan Islam yang dalam sejarah telah melahirkan intelektual-intelektual bermoral karena nilai-nilai keagamaan sangat kental dalam sistem pendidikannya. Selain itu, madrasah juga menjadi media perjuangan untuk mempertahankan kelestarian ajaran-ajaran Islam. Untuk itulah, seharusnya, proses pembelajaran dan pendidikan di madrasah harus terus dilestarikan dan dikembangkan dengan memberikan porsi perhatian yang seimbang mengingat peran krusial yang diemban oleh madrasah. Posisi madrasah tidak dapat digantikan oleh lembaga-lembaga lain, sebab kelahiran madrasah merupakan upaya menjawab kebutuhan masyarakat akan pendidikan agama. Lembaga pendidikan ini menawarkan konsep pendidikan yang berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Ciri khas madrasah lebih dari hanya sekadar penyajian mata pelajaran agama saja. Artinya, ciri khas tersebut bukan hanya sekadar menyajikan mata pelajaran agama Islam di dalam lembaga madrasah tetapi yang lebih penting ialah perwujudan dari nilai-nilai keislaman di dalam totalitas kehidupan madrasah. Suasana madrasah yang demikian dapat melahirkan budaya madrasah yang merupakan identitas lembaga pendidikan madrasah. Otonomi lembaga pendidikan madrasah hanya dapat dipertahankan apabila madrasah tetap mempertahankan dirinya sebagai pendidikan yang berbasis masyarakat (community-based education).
3. Fenomena III
Lima Sekolah di Biak Dapat Bantuan Dana MBS
Selasa, 14 Pebruari 2012, 06:29 WIB
REPUBLIKA.co.id, BIAK - Lima sekolah di Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua mendapat dukungan dana bantuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk pengembangan manajemen berbasis sekolah (MBS) masing-masing sebesar Rp 15 juta/sekolah.
Sekretaris Dewan Pendidikan Biak Tjipto Prawira SE,MM di Biak, Selasa (14/2) mengakui, lima sekolah yang menerima dana program MBS terdiri atas tiga sekolah di antaranya SD YPK Wafnor, SD Santo Yosef 2 serta SD Madrasah Ibtidaiyah DDI Mandouw. "Untuk tingkat SMP dua sekolah yang menerima dukungan bantuan dana MBS yakni SMP negeri 3 dan SMP negeri 5, anggaran langsung ditranfer ke rekening sekolah," kata Tjipto. Ia mengakui, dua dari lima sekolah penerima dana MBS tahun 2011 hingga ssat ini belum ditranfer rekening sekolah SD Santo Yosef 2 dan Madrasah Ibtidaiyah DDI Mandouw.
Masalah keterlambatan pemberian dana pengembangan MBS, lanjut Tjipto, karena menyangkut rekening sekolah bersangkutan merupakan milik pribadi. "Sesuai aturan bantuan dana program pengembangan MBS dari pemerintah pusat untuk lima sekolah harus ditranfer langung ke rekening sekolah bukan milik pribadi," ujarnya. Tjipto mengakui, tiga sekolah penerima dana MBS telah memanfaatkan penggunaannya untuk melakukan sosialisasi kepada komite sekolah, dewan guru serta pihak berkepentingan di wilayah ini. "Harapan saya pengelolaan bantuan dana pengembangan MBS meski sedikit harus digunakan tepat sasaran untuk kemajuan pendidikan di sekolah bersangkutan," kata mantan Kepsek SMP Negeri 3 Biak ini. Berdasarkan data sejak tahun 2004 hingga saat ini pengembangan program MBS di berbagai sekolah kabupaten Biak Numfor mendapat pembinaan dan intervensi program dari badan dunia Unicef.
Analisis:
Dengan adanya bantuan dana tersebut semoga dapat dimanfaatkan dengan tepat sasaran dan tepat waktu. Jangan sampai dana tersebut hanya dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu dan tidak digunakan sebagaimana mestinya. Dana ini sangat mendukung bagi perkembangan Manajemen Berbasis Madrasah. Perlu adanya monitoring dan evaluasi dalam pelaksanaan kebijakan MBM supaya tidak terjadi penyelewengan dalam pengelolaan dana khususnya.
4. Fenomena IV
Mutu Madrasah Harus Ditingkatkan
Kamis, 22 Maret 2012 | 06:15 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) dituntut untuk lebih memperhatikan sekolah-sekolah berbasis agama atau madrasah. Sampai saat ini, banyak madrasah yang belum mampu menyelenggarakan pendidikan bermutu bagi peserta didiknya.
Wakil Ketua Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama Pusat, Masduki Baidhowi mengatakan, ketimpangan mutu pendidikan di madrasah yang terjadi antara kota dan daerah disebabkan oleh banyak hal. Beberapa diantaranya adalah dikotomi kebijakan pemerintah antara sekolah negeri dan swasta, keterbatasan sekolah-sekolah di daerah terpencil dalam memperoleh guru yang kompeten, sarana prasarana yang lengkap, serta kelengkapan sumber materi ajar.
"Lembaga-lembaga ini (madrasah) terdiskriminasi secara masif. Kemdikbud harus memperhatikan ini," kata Masduki di sela-sela diskusi pendidikan bertajuk "Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Inovasi Teknologi Pendidikan", di gedung PBNU, Jakarta, Rabu (21/3/2012). Ia mengungkapkan, diskriminasi pada madrasah umumnya terjadi di level daerah.
Hal itu terjadi lantaran madrasah masih menjadi tanggungjawab pemerintah pusat. Berbeda dengan sekolah lainnya (jenjang pendidikan dasar), yang sudah menginduk dan menjadi kewenangan pemerintah daerah. Semestinya, kata dia, Kemdikbud dapat benar-benar membuka akses pendidikan madrasah agar haknya dapat sama rata dengan sekolah lain yang menjadi tanggungjawab pemerintah. "Yang bertanggungjawab itu Kemdikbud, bukan Kementerian Agama. Termasuk jika terjadi kegagalan pada peningkatan mutu, Kemdikbud harus bertanggungjawab," pungkasnya.
Analisis:
Salah satu cara untuk meningkatkan mutu MI adalah melalui pengelolaan MI secara professional disertai dengan memperkuat plusnya. Pengelola MI adalah pemerintah dan masyarakat. Pengelola berusaha memenuhi 8 standar pendidikan, terutama standar-standar yg memang pada umumnya masih kurang, seperti standar proses, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan.
Peningkatan mutu MI merupakan tanggung jawab bersama, baik itu pemerintah dan masyarakat. Kurang bijaksana kiranya jika saling menyalahkan siapa yang bertanggung jawab atas rendahnya mutu pendidikan di madrasah ibtidaiyah. Pemerintah haruslah adil dan tisak membeda-bedakan antara sekolah negeri dan sekolah swasta, sekolah yang dibawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atau dibawah Kementerian yang lainnya.
Jika pendidikan diserahkan dalam satu naungan di bawah Kemdikbud dan tidak mengurangi ciri khas dari pendidikan yang ada di naungan kementrian Agama, penulis merasa tidak masalah. Hal yang lebih penting adalah mengusahakan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia sehingga tujuan pendidikan tercapai secara efektif dan efisien.
5. Fenomena V
14.000 Kepala Madrasah Studi Manajemen Pendidikan
| Benny N Joewono | Minggu, 4 Desember 2011 | 22:52 WIB
SEMARANG, KOMPAS.com - Kementerian Agama mengirim sekitar 14.000 kepala madrasah dan pengawas di seluruh wilayah Indonesia untuk belajar manajemen pendidikan dengan menggandeng perguruan tinggi setempat.
"Itu memang program kami, tahun ini total 14.000 kepala madrasah dan pengawas dapat pelatihan," kata Kepala Seksi Pengawas Madrasah Direktorat Pendidikan Madrasah Kementerian Agama R. Nurul Islam di Semarang, Minggu (4/12/2011).
Hal tersebut diungkapkannya usai membuka Pendidikan dan Pelatihan Kepala Madrasah Jawa Tengah di Kampus II Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) PGRI Semarang.
Menurut dia, pelatihan kepala madrasah itu dilakukan dengan menggandeng perguruan tinggi setempat, untuk Jateng menggandeng Universitas Sains Alqur’an (Unsiq) Wonosobo dan IKIP PGRI Semarang.
Ia mengakui, kompetensi kepala madrasah di bidang agama memang tidak perlu diragukan, namun kompetensi di bidang manajerial pendidikan masih kurang, diiringi sarana dan prasarana madrasah yang mereka kelola.
Sekitar 92 persen madrasah di Indonesia, kata dia, berstatus swasta yang tentunya kelangsungan hidup dan pemenuhan sarana prasarana mereka bergantung kepada pendanaan masyarakat.
"Kebanyakan kepala madrasah ini bahkan belum pernah tersentuh pelatihan manajemen pendidikan semacam ini sama sekali. Karena itu, kami beri mereka pelatihan dengan menggandeng perguruan tinggi," katanya.
Rektor IKIP PGRI Semarang Muhdi menyatakan mendukung langkah Kemenag menggandeng perguruan tinggi untuk membantu peningkatan kompetensi para kepala madrasah dan pengawas di lingkup kementerian itu.
Ia mengakui, kondisi madrasah berbeda dengan sekolah umum, sebab banyak madrasah yang didirikan dengan prinsip "ikhlas beramal" dalam artian mereka harus berjuang keras untuk menyelenggarakan pendidikan.
"Sebagian besar madrasah memang swasta. Apalagi dengan prinsip ’ikhlas beramal’ itu. Mereka tentunya kesulitan meningkatkan kompetensi tenaga pendidiknya, termasuk kepala sekolah," katanya.
Selain pelatihan manajemen pendidikan, Muhdi menekankan pelatihan itu juga mencakup penanaman nasionalisme dan cinta tanah air kepada peserta didik yang menjadi tugas pendidik, di samping transfer ilmu.
Pelatihan yang berlangsung selama tujuh hari itu memberikan berbagai materi di antaranya pendidikan dan analisis dalam penelitian tindakan kelas (PTK) dan diikuti oleh sekitar 800 kepala madrasah di Jateng.
Analisis:
Dalam mengembangkan Madrasah haruslah dimulai dengan mengembangkan faktor kuncinya, yaitu sumberdaya manusianya yang meliputi kepala Madrasah, guru-guru, staf administrasi, pengurus yayasan/BP3, dan pejabat Kandepag atau Kanwil Depag yang mengurusi Madrasah. The man behind the gun lebih menentukan daripada the gun-nya.
Usaha pengembangan Madrasah yang berhasil menuntut agar seluruh, atau sebagian besar, personil Madrasah tersebut melakukan perubahan-perubahan pada pekerjaan mereka sehari-hari yang telah mereka lakukan bertahun-tahun: cara mengajar, cara melayani siswa, cara kerja, dsb. Mungkin, sebagian besar dari mereka merasa kikuk dan tidak siap untuk melakukan hal itu. Dalam hal ini, Kandepag/Kanwil dapat memainkan peran untuk mengatasi hal itu. Kandepag atau Kanwil dapat membantu Madrasah yang mempunyai potensi untuk berkembang (dan ingin berkembang) dalam hal peningkatan wawasan, pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan para kepala madrasahnya sebagai pemimpin pendidikan.
Kandepag/Kanwil dapat melakukan penataran kepala madrasah di bidang ini dengan memanfaatkan para ahli yang ada di Fakultas Tarbiyah, Diklat, maupun IKIP di wilayah mereka. Peningkatan wawasan, pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan ini kemudian dapat dilanjutkan sampai ke guru-guru, staf non-guru, dan pengurus yayasan/BP3.
Dalam menentukan mitra yang ahli dalam bidang manajemen, kemenag haruslah lebih bijaksana. Misalnya apakah perguruan tinggi yang digandeng tersebut benar-benar ahli dalam bidang menejemen, sehingga usaha yang dilakukan dengan anggaran biaya yang tidak sedikit tersebut dapat efektif dan mencapai tujuan yang diharapkan.
C. Hambatan dalam Penerapan MBM
Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan Manajemen Berbasis Madrasah adalah:
1. Tidak Berminat Untuk Terlibat. Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.
2. Tidak Efisien. Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan sering kali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.
3. Pikiran Kelompok. Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit pikiran kelompok. Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
4. Memerlukan Pelatihan. Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, dan komunikasi.
5. Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru. Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.
6. Kesulitan Koordinasi. Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah. Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah dilibatkan sejak awal, mereka dapat memastikan bahwa setiap hambatan telah ditangani sebelum penerapan MBM. Dua unsur penting adalah pelatihan yang cukup tentang MBM dan klarifikasi peran dan tanggung jawab serta hasil yang diharapkan kepada semua pihak yang berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat harus memahami apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yang dapat dibagi, oleh siapa, dan pada level mana dalam organisasi.
1. Pola Manajemen berbasis madrasah
Seiring dengan berlakunya Undang-Undang RI No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Otonomi Daerah) dan bukti-bukti empiris tentang kurang efektif dan efisiensinya manajemen berbasis pusat, maka Depdiknas melalui perubahan dan penyesuaian, salah satu diantaranya adalah melalui pergeseran pendekatan manajemen, yaitu manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah/ madrasah (MBM).
Adapun untuk menelaah lebih lanjut tentang paradigma baru perubahan pola lama ke pola baru secara rinci dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.
Pola Lama Menuju Pola Baru
- Subordinasi à - Otonomi
- Pengambilan keputusan terpusat à - Pengambilan Keputusan
Partisipatif
- Ruang gerak kaku à - Ruang gerak luwes
- Pendekatan birokratik à - Pendekatan profesional
- Sentralistik à - Desentralistik
- Diatur à - Motivasi diri
- Overregulasi à - Deregulasi
- Mengental à - Mempengaruhi
- Mengarahkan à - Memfasilitasi
- Menghindari risiko à - Mengelola risiko
- Gunakan uang seenaknya à - Gunakan uang seefisien
Mungkin
- Individu tercerdas à - Team work cerdas
- Informasi terpribadi à - Informasi terbagi
- Pendelegasian à - Pemberdayaan
- Organisasi hierarkis à - Organisasi datar
(Diadaptasi dari Depdiknas, 2000)
Berdasarkan Tabel 1 di atas, dapat dikemukakan bahwa otonomi dapat diartikan sebagai kemandirian yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri. Kemandirian dalam perencanaan program maupun rencana anggaran merupakan tolok ukur utama kemandirian madrasah. Pada gilirannya kemandirian yang berlangsung secara terus menerus akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan madrasah. Jadi otonomi sekolah adalah kewenangan madrasah untuk mengurus dan mengatur kepentingan semua warga madrasah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga madrasah sesuai paraturan dan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku.
Dalam hal ini kemandirian harus didukung dengan sejumlah kemampuan: kemampuan mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi yaitu menghargai perbedaan pendapat, kemampuan bermobilisasi sumber daya, kemampuan berkomunikasi dengan baik, dan kemampuan memecahkan masalah sekolah.
Fleksibilitas dapat diartikan sebagai keluwesan-keluwesan yang diberikan kepada sekolah untuk mengelola, memanfaatkan, dan memberdayakan sumber daya sekolah seoptimal mungkin untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan keluwesan-keluwesan yang lebih besar diberikan kepada sekolah, maka akan lebih lincah dan tidak harus menunggu arahan dari atasannya untuk mengelola, memanfaatkan dan memberdayakan sumber daya. Dengan cara ini, sekolah akan lebih responsif dan cepat tanggap atas segala tantangan yang dihadapi. Namun demikian keluwesan yang dimaksud harus tetap dalam koridor kebijakan dan peraturan perundangan yang ada.
Pendekatan profesionalisme pada pendekatan birokratis, apa yang dilakukan oleh sekolah didasarkan atas kemauan atasan mana yang dianggap baik dan benar oleh pemimpin, itulah yang harus dilaksanakan. Pada pendekatan profesionalisme yang dilakukan sekolah berorientasi pada keahlian pada warga sekolah, sehingga profesionalisme yang dimiliki dapat membimbing tingkah laku dan arahan kepada semua warga sekolah bukan semata-mata pada keluwesan.
Pola manajemen desentralistik, keputusan kekuasaan tidak akan terjadi lagi karena banyak kewenangan pusat wilayah dan Diknas kota yang diserahkan sekolah. Dengan demikian sekolah lebih berdaya dan semua keputusan yang dibuatnya akan lebih efektif dan efisien.
Deregulasi pendidikan akan mampu menumbuhkan daya kreativitas. Prakarsa sekolah, tidak tergantung pada jumlah dan jenis, perintah, membuat sekolah seperti robot, membunuh kreativitas sekolah terutama gurunya. Dengan deregulasi akan membuat sekolah sebagai pusat perubahan, mampu memberikan kelenturan dalam mengelola sekolahnya. Mempengaruhi cenderung ditekankan pada input dan proses sehingga terhindar dari kemungkinan kesalahan, oleh karena itu manajemen berbasis madrasah lebih menekankan pada “mempengaruhi” atau “mengontrol”. Memfasilitasi dengan maksud lebih menekankan pada pemberian “fasilitas”, misalnya bagaimana menurut pendapat Anda program dan perencanaan ini dimana kelebihan dan kelemahannya, bagaimana pemecahannya, sehingga terjadi inovasi, kreativitas bertumbuh subur.
“Mengelola risiko” pada pola manajemen baru lebih menganjurkan “mengambil risiko” dalam hal ini didasari oleh kenyataan yang terjadi bahwa orang-orang yang berani untuk mengambil risiko ternyata cenderung lebih produktif, kreatif dan lebih maju dalam menghadapi permasalahan ke depan dibanding dengan orang yang suka “menghindari risiko”.
Penggunaan uang yang seefisien. Kenyataan pada pola manajemen lama menekankan pada “uang harus dihabiskan semua”, akan tetapi pada pola manajemen baru bergeser menjadi “gunakan uang secukupnya”, sehingga memungkinkan meningkatkan efisiensi sekolah. Kelebihan uang dapat digunakan pelaksanaan program berikutnya walaupun dalam hal ini tetap dituntut terstrukturisasi anggaran pola lama.
“Team work” (kebersamaan) merupakan karateristik yang dituntut oleh MPMBM, karena output pendidikan merupakan hasil kolektif warga sekolah, bukan hasil individual. Team work harus kompak, cerdas dan dinamis. Inti budaya kerjasama antar fungsi dalam sekolah, antar individu dalam sekolah, harus merupakan kebiasaan hidup sehari-hari semua warga sekolah, dengan demikian akan mampu meningkatkan kinerja sekolah.
“Informasi Terbagi” pada pola manajemen lama informasi hanya dimiliki oleh sejumlah warga sekolah khususnya kepala madrasah, wakil dan stafnya serta sebagian guru. Bahkan hal tersebut umumnya tidak disebarluaskan kepada warga sekolah (terpribadi). Dalam pola sekolah dengan manajemen baru informasi harus tersebar, terbagi secara merata ke seluruh warga. Tentu saja yang dimaksudkan adalah tidak setiap hanya diberikan kepada mereka yang memang berhak menerimanya.
Pemberdayaan manajemen pendidikan sampai saat ini masih diwarnai dengan praktik-praktik penyalahgunaan pendelegasian tugas dan fungsi serta tanggung jawab semata tanpa diikuti penyerahan kewenangan. Dengan demikian, sekolah tidak berdaya sama sekali, akan tetapi dengan pemberdayaan melalui penyerahan tugas dan fungsi, tanggung jawab, hak dan kewajiban yang disertai kewenangan untuk mengambil keputusan, maka hanya sekolahlah yang merupakan “pusat perubahan” yang sebenarnya terutama sumber daya manusianya. Sebaik apapun kebijakan dari pusat namun, jika sekolah tidak berubah, maka tidak akan pernah ada perubahan.
Organisasi datar, dari perjalanan panjang pendidikan di Indonesia, bahkan perubahan kurikulum 1968 sampai dengan kurikulum 1994 belum menunjukkan perubahan yang signifikan, apalagi organisasi pendidikan khususnya organisasi sekolah masih diatur dengan berlapis-lapis manajemen yang rumit, sehingga sekolah lamban untuk beradaptasi terhadap perubahan-perubahan, dan kurang tanggap atas isu-isu kritis strategis yang menyangkut kemajuan sekolah. Maka dengan organisasi baru sekolah lebih responsif, antisipatif terhadap isu strategis kritis, termasuk perubahan-perubahan sosial secara umum.
Simpulan dari uraian tabel tersebut di atas yaitu:
a. Pada pola lama, tugas dan fungsi sekolah lebih pada melaksanakan program daripada mengambil inisiatif merumuskan dan melaksanakan program peningkatan mutu yang dibuat sendiri oleh sekolah.
b. Pada pola baru, sekolah memiliki wewenang lebih besar dalam pengelolaan lembaganya, pengambilan keputusan dilakukan secara partisipatif, dan partisipasi masyarakat akan semakin besar. Sekolah lebih luwes dalam mengelola lembaganya, pendekatan profesionalisme lebih diutamakan daripada pendekatan birokratis, pengelolaan sekolah lebih desentralistik. Perubahan sekolah lebih didorong oleh motivasi diri daripada diatur dari luar, regulasi pendidikan lebih sederhana, peranan pusat bergeser dari mengontrol menjadi mempengaruhi dan dari mengarahkan menjadi memfasilitasi dari menghindari risiko menjadi mengelola risiko, penggunaan uang lebih efisien karena sisa anggaran pada tahun yang lalu digunakan tahun berikutnya (efficiency based budgetting).
2. Pengertian Manajemen Berbasis Madrasah
Menurut Malen, Ogawa dan Kranz manajemen berbasis sekolah/ madrasah secara konseptual dapat digambarkan sebagai suatu perubahan formal struktur penyelenggaraan sebagai suatu bentuk desentralisasi yang mengidentifikasi sekolah itu sendiri sebagai unit utama peningkatan serta bertumpu pada kewenangan pembuatan keputusan sebagai sarana penting dalam peningkatan.
Menurut Mulyasa MBS/M merupakan salah satu dari wujud reformasi pendidikan yang menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai. Otonomi dalam manajemen merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja para staf, menawarkan partisipasi langsung kelompok-kelompok tertentu, dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan.
Menurut Depdiknas (2001) Manajemen berbasis sekolah (MBS) atau “School Based Management” (SBM) merupakan bentuk alternatif yang dapat diartikan sebagai pengkoordinasian dan penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah (Stake Holders). MBS/M bertujuan memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan, keluwesan dari sumber daya untuk meningkatkan mutu sekolah dengan meningkatkan produktivitas sekolah, memberikan fleksibilitas, meningkatkan akutabilitas, mampu melakukan perubahan ke arah perbaikan.
Manajemen berbasis madrasah merupakan salah satu bentuk kebijakan pemerintah dalam bidang desentralisasi pendidikan dan merupakan salah satu implementasi dari pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan PP RI No. 25 tentang Otonomi Daerah.
Esensi manajemen berbasis madrasah adalah merupakan bentuk pengelolaan madrasah yang menjamin madrasah memiliki otonomi luas dalam mengelola sumber daya, melibatkan masyarakat dalam pengelolaan, serta tidak mengabaikan kebijakan nasional. Beberapa faktor yang merefleksikan kepentingan otonomi sekolah, yaitu terjaganya akutabilitas atau “accountability”, tercapainya staff, orang tua, dan siswa dalam pengambilan keputusan, dan tercapainya program-program pengembangan profesi dalam meningkatkan manajemen.
3. Tujuan Penerapan Model MBM
Desain pengelolaan madrasah menggunakan MBM bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. MBM memberikan kekuasaan dan meningkatkan partisipasi madrasah dalam memperbaiki kinerja madrasah mencakup kepemimpinan madrasah, profesionalisme guru, layanan belajar peserta didik yang bermutu, manajemen madrasah yang bermutu, partisipasi orangtua peserta didik dan masyarakat.
Penerapan Manajemen Berbasis Madrasah bertujuan:
a. Meningkatkan mutu pendidikan dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdaya sumber daya dan potensi yang tersedia.
b. Meningkatkan kepedulian warga madrasah dalam menyelenggarakan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama.
c. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, sekolah, dan pemerintah tentang mutu sekolah.
d. Meningkatkan kompetensi yang sehat antarmadrasah untuk pencapaian mutu pendidikan yang diharapkan.
4. Prinsip Manajemen Berbasis Madrasah
Prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan MBM antara lain:
a. Komitmen, kepala madrasah dan warga madrasah harus mempunyai komitmen yang kuat dalam upaya menggerakkan semua warga sekolah untuk ber-MBM
b. Kesiapan, semua warga madrasah harus siap fisik dan mental
c. Keterlibatan, pendidikan yang efektif melibatkan semua pihak
d. Kelembagaan, madrasah sebagai lembaga adalah unit terpenting bagi pendidikan yang efektif.
e. Keputusan, segala keputusan madrasah dibuat oleh pihak yang benar-benar mengerti pendidikan
f. Kesadaran, guru-guru harus memiliki kesadaran untuk membantu dalam pembuatan keputusan program pendidikan
g. Kemandirian, madrasah harus diberi otonomi sehingga memiliki kemandirian dalam membuat keputusan
h. Ketahanan, perubahan akan bertahan lebih lama apabila melibatkan stakeholders madrasah
5. Karakteristik MBS
Manajemen berbasis sekolah/ madrasah memiliki karakteristik sama dengan sekolah yang efektif, yaitu:
a. Memiliki output, yaitu prestasi pembelajaran dan manajemen sekolah yang efektif.
b. Efektifitas proses belajar mengajar yang tinggi
c. Peran kepala madrasah yang kuat dalam mengkoordinasikan, menggerakkan, dan menyerasikan semua sumber daya pendidikan yang tersedia.
d. Lingkungan dan iklim belajar yang aman, tertib, dan nyaman sehingga manajemen sekolah lebih efektif.
e. Melakukan analisa kebutuhan, perencanaan, pengembangan, evaluasi kerja,, hubungan kerja, dan imbalan jasa tenaga kependidikan dan guru yang dapat memenuhi kebutuhan nafkah hidupnya sehingga mampu menjalankan tugasnya dengan baik.
f. Pertanggungjawaban madrasah terhdap keberhasilan program yang telah dilaksanakan.
g. Pengelolaan dan penggunaan anggaran yang sepantasnya dilakukan oleh madrasah sesuai kebutuhan riil untuk meningkatkan mutu layanan belajar.
6. Kepala madrasah Dalam Era MBM
Peran kepala madrasah dalam era MBM dapat dirinci sebagai berikut:
a. Memiliki masukan manajemen yang lengkap dan jelas yang ditampilkan oleh kelengkapan administrasi serta kejelasan dalam tugas (apa yang harus dikerjakan), rencana (deskripsi produk yang akan dihasilkan) ketentuan-ketentuan/limitasi (peraturan perundang-undangan, kualifikasi spesifikasi, metode kerja, prosedur kerja, dan sebagainya) pengendalian (tindakan turun tangan), dan dapat memberikan kesan yang baik bagi lainnya.
b. Memahami, menghayati, dan melaksanakan perannya sebagai manajer (mengkoordinasi dan menyerasikan sumber daya untuk mencapai tujuan), pemimpin madrasah memobilisasi dan memberdayakan sumber daya manusia), pendidik (mengajak murid untuk berubah, wirausahawan (membuat sesuatu bisa terjadi) penyelia( mengarahkan, membimbing dan memberi contoh), pencipta iklim kerja (membuat situasi kerja menjadi nikmati), pengurus/administrator (mengadministrasi), pembaru (memberi nilai tambah), dan pembangkit motivasi (menyemangatkan).
c. Mampu menciptakan tantangan kinerjanya (di madrasah akan terjadi kesenjangan antara kinerja kenyataan dan kinerja harapan) berangkat dari sinilah, kemudian dirumuskan sasaran apa yang akan dicapai oleh sekolah, dilanjutkan dengan melakukan analisis (SWOT) dan berupaya mencari langkah-langkah pencegahannya.
d. Menciptakan team work kompak/kohesif dan cerdas, serta menciptakan koneksi dan kesalingtergantungan antar fungsi dan antar warganya, sehingga membentuk suatu sistem yang utuh dan benar yang dapat menjamin kepastian dan kebermanfaatan hasilnya. Esensinya kepala madrasah mampu mengajak warganya untuk selalu berfikir sistem.
e. Mampu menciptakan situasi dan menumbuhkan kreativitas dan memberikan peluang kepada warganya untuk melakukan eksperimentasi dalam rangka mencari penemuan-penemuan baru walaupun kurang akurat atau salah, sehingga dalam hal ini kepala madrasah mendorong warganya untuk mengambil risiko dan dilinsungi apabila hasilnya salah.
f. Mampu dan sanggup menciptakan sekolah sebagai tempat belajar. Suatu lembaga pendidikan atau sekolah perlu penataan misalnya letaknya jauh dari kebisingan, suasana kelas yang sejuk. Mempunyai lapangan bermain saat beristirahat, sarana ibadah yang memadai, mempunyai lapangan olahraga, perpustakaan yang lengkap, laboratorium sebagai tempat siswa untuk praktik, dan yang lainnya sehingga sekolah benar-benar menjadi tempat belajar.
g. Mampu dan mempunyai kesanggupan untuk melaksanakan manajemen berbasis madrasah sebagai konsekuensi logis dari pergeseran kebijakan manajemen dari manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis madrasah.
h. Mampu memutuskan perhatian terhadap pengelolaan proses belajar-mengajar sebagai kegiatan utamanya, karena kegiatan-kegiatan lainnya dipandang sebagai kegiatan pendukung/penunjang proses belajar-mengajar, karena itu pengelolaan proses belajar mengajar dianggap memiliki tingkat kepentingan yang urgensi sehingga kegiatan ini dianggap komponen proses.
i. Sanggup dan mampu memberdayakan madrasahnya, terutama sumberdaya manusia melalui pemberian kewenangan, keluwesan dan kemandirian sehingga nantinya komitmen yang tinggi dari warganya terhadap visi dan misi sekolah, tingkat kemandirian tinggi dan tingkat ketergantungan rendah, bersifat adaptif dan proaktif, sekaligus berjiwa kewirausahaan yang tinggi, bertanggung jawab terhadap hasil, memilki kontrol yang kuat terhadap input manajemen, komitmen yang tinggi terhadap dirinya dan dapat dimiliki oleh pencapian prestasinya. Adapun contoh yang dapat memberdayakan kepada warga madrasah: pemberian otonomik kepada warganya, penugasan kerja yang bermakna, pemecahan persoalan secara “team work”, variasi tugas, hasil kerja yang terukur, warga sekolah selalu didengar, ada penghargaan atas prestasi kerjanya atau ide-ide baru dan mengetahui bahwa warga madrasah adalah bagian terpenting dari madrasah.
Kinerja mempunyai hubungan erat dengan produktivitas karena merupakan indikator dalam menentukan usaha untuk mencapai tingkat produktivitas organisasi yang tinggi. Sehubungan dengan hal tersebut maka upaya untuk mengadakan penilaian terhadap kinerja organisasi merupakan hal yang penting untuk mengetahui pekerjaan seseorang (kepala madrasah) sehingga perlu ditetapkan standar kinerja atau standard performance.
B. Analisis Masalah di Lapangan
1. Fenomena I
Kemenag: Pemda Harus Adil pada Madrasah
Sabtu, 10 April 2010, 01:15 WIB
Republika online JAKARTA--Kementerian Agama mendesak pemerintah daerah di seluruh Indonesia dari tingkat provinsi hingga kabupaten dan kota untuk memberikan perlakuan adil dan tidak diskriminatif pada madrasah. Hal itu karena siswa madrasah adalah warga negara dan memiliki hak untuk diperlakukan sama oleh pemda seperti siswa sekolah negeri.
'’Madrasah seharusnya mendapatkan perlakuan adil dan sama seperti daerah memperlakukan sekolah,’’ kata Direktur Pendidikan Madrasah Kemenag, Firdaus, kepada Republika, Jumat, (9/4). Menurut Firdaus, hingga akhir tahun lalu, jumlah seluruh madrasah tingkat MI, MTs, dan MA di Indonesia mencapai sekitar 40.218 buah. Dari jumlah itu, hanya 8,6 persen berstatus sebagai madrasah negeri. Sisanya 91,4 persen merupakan madrasah swasta yang dibiayai secara swadaya oleh masyarakat.
Firdaus menyebutkan, perbandingan porsi terbalik terjadi pada data jumlah sekolah umum tingkat SD, SMP, SMA, dan SMK. Sekitar 80 persen sekolah umum di Indonesia berstatus negeri dan sisanya 20 persen swasta. Hal ini berarti jumlah sekolah negeri yang didukung anggaran pemerintah yang bersumber dari pajak masyarakat jauh lebih besar dibandingkan madrasah negeri. Lebih sedikitnya jumlah madrasah negeri dibandingkan sekolah negeri disebabkan keterbatasan alokasi anggaran. Madrasah negeri hanya mendapatkan alokasi anggaran pengembangan pendidikan dari pemerintah pusat melalui Kementerian Agama. Sedangkan, sekolah negeri tidak hanya mendapatkan alokasi anggaran pendidikan dari pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan Nasional, tapi juga pemerintah daerah. Hal itu sehingga pengembangan kuantitas dan kualitas madrasah negeri tidak secepat sekolah negeri.
Menurut Firdaus, sebagian besar pemda tidak bertanggung jawab pada pengembangan pendidikan di madrasah negeri. Mereka menganggap madrasah negeri adalah milik Kemenag, jadi tidak perlu dibiayai anggaran daerah. Sedangkan, sekolah negeri merupakan tanggung jawab bersama pemerintah pusat dan daerah. ‘’Mereka menilai madrasah itu tanggung jawab vertikal pemerintah pusat dan mereka juga menggunakan alasan UU Otonomi Daerah,’’ katanya.
Analisis:
Di dalam UU Nomor 22 tahun 1999, pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa “Agama merupakan bidang pemerintahan yang tidak di otonomikan”. Dalam Kemenag terdapat sekolah-sekolah keagamaan yang dalam hal ini Madrasah Ibtidaiyah (MI) Madasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA), sehingga pemerintah daerah menilai madrasah itu menjadi tanggung jawab vertikal pemerintah pusat dan terjadi perbedaan perlakuan terhadap sekolah umum dan madrasah.
Dalam upaya merespon desentralisasi pendidikan, Departemen Agama telah melayangkan Surat Menteri Agama nomor : MA/407/2000 tanggal 21 November 2000 yang diarahkan kepada Menteri Dalam Negeri dan otonomi daerah.surat itu berisi : Kewenangan penyelenggaraan pendidikan agama (PAI) pada sekolah umum dan penyelengaraan Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah diserahkan kepada Daerah Kabupaten dan kewenanagan lain di bidang pendidikan sebagaimana dimaksud dalam PP No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom. Bab II pasal 2 ayat (3) angka II sepanjang yang menyangkut agama masih di bawah wewenang Departemen Agama.
Di Indonesia terdapat kelembagaan madrasah yang jumlahnya cukup signifikan. Jumlah MA sebanyak 4.687 (86 % diantaranya swasta), MTs sebanyak 12.054 (90% diantaranya swasta), dan MI sebanyak 23.517 (93% diantaranya swasta). Kabupaten Blora terdapat 163 MI diantaranya hanya ada satu MI negeri dan 162 MI swasta. Masyarakat Madrasah banyak yang menyampaikan keluhannya terutama dalam akses otonomi daerah. Berbeda dengan eksistensi sekolah, di beberapa daerah madrasah memang belum diterima secara bulat sebagai asset daerah.
2. Fenomena II
Kemenag Belum Serius Urus Madrasah dan Pesantren
|Selasa, 14 Februari 2012 | 09:33 WIB
JAKARTA, KOPAS.com Pemerintah, khususnya Kementerian Agama, diminta serius meningkatkan kualitas madrasah dan pesantren. Apalagi, lembaga pendidikan Islam ini bisa menjadi cermin bagi kemajuan pendidikan umat Islam dan anak negeri ini. ”Saat ini masih banyak masalah yang dihadapi Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Agama dalam meningkatkan kualitas madrasah dan pesantren,” kata anggota Komisi VIII DPR, Jazuli Juwaini, di Jakarta, Selasa (14/2/2012).
Sehari sebelumnya pada rapat kerja dengan kepala kanwil Kemenag se-Indonesia di Jakarta, menurut Jazli, ia sudah menyampaikan sejumlah solusi yang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas lembaga pendidikan Islam.
”Pendidikan Islam membutuhkan solusi yang tepat dan strategis sehingga tidak dipersepsikan lagi sebagai pendidikan kelas dua. Saya sangat mendukung peningkatan anggaran dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan, namun dari Kemenag juga harus berbenah dalam pengelolaan madrasah dan pesantren,” ujarnya.
Kementerian Agama merupakan salah satu yang tidak diotonomikan sehingga pertanggungjawabannya secara vertikal termasuk pendidikan Islam. ”Walaupun ada beberapa usulan yang meminta madrasah dan pesantren dilebur saja dengan kementerian yang mengurusi pendidikan, saya akan terus mempertahankan karena madrasah dan pesantren memiliki keunikan sendiri yang tidak dapat dimengerti oleh yang lain,” jelas Jazuli.
Analisis:
Pemerintah khususnya Kementerian Agama haruslah melakukan upaya-upaya yang mampu meningkatkan mutu madrasah karena Madrasah Ibtidaiyah memiliki berbagai karakter dan keunikan. Madrasah Ibtidaiyah didirikan dan dikelola oleh tokoh Agama yg memiliki prototype kepribadian Muslim tertentu. Seringkali karakter sang tokoh sebagai pendiri sekaligus menjadi karakter Madrasah Ibtidaiyah. Bahkan Madrasah Ibtidaiyah itu identik dengan karakter pendiri dan pengelolanya, terutama Madrasah Ibtidaiyah swasta. Madrasah itu sebetulnya pondok pesantren plus dan sekolah plus. Keunggulan Sekolah Dasar itu terletak pada sistem pendidikan modern terutama mata pelajaran umum dan Bahasa Inggris. Keunggulan Pondok Pesantren itu terletak pada sistem pendidikan tradisional yg memiliki keunggulan dari segi kepribadian, rumpun mata pelajaran Agama Islam dan Bahasa Arab. MI adalah SD (unggul pada sistem pendidikan modern terutama mata pelajaran umum) plus kepribadian Muslim, Pendidikan Agama Islam, dan Bahasa Arab.
Madrasah merupakan lembaga pendidikan Islam yang dalam sejarah telah melahirkan intelektual-intelektual bermoral karena nilai-nilai keagamaan sangat kental dalam sistem pendidikannya. Selain itu, madrasah juga menjadi media perjuangan untuk mempertahankan kelestarian ajaran-ajaran Islam. Untuk itulah, seharusnya, proses pembelajaran dan pendidikan di madrasah harus terus dilestarikan dan dikembangkan dengan memberikan porsi perhatian yang seimbang mengingat peran krusial yang diemban oleh madrasah. Posisi madrasah tidak dapat digantikan oleh lembaga-lembaga lain, sebab kelahiran madrasah merupakan upaya menjawab kebutuhan masyarakat akan pendidikan agama. Lembaga pendidikan ini menawarkan konsep pendidikan yang berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Ciri khas madrasah lebih dari hanya sekadar penyajian mata pelajaran agama saja. Artinya, ciri khas tersebut bukan hanya sekadar menyajikan mata pelajaran agama Islam di dalam lembaga madrasah tetapi yang lebih penting ialah perwujudan dari nilai-nilai keislaman di dalam totalitas kehidupan madrasah. Suasana madrasah yang demikian dapat melahirkan budaya madrasah yang merupakan identitas lembaga pendidikan madrasah. Otonomi lembaga pendidikan madrasah hanya dapat dipertahankan apabila madrasah tetap mempertahankan dirinya sebagai pendidikan yang berbasis masyarakat (community-based education).
3. Fenomena III
Lima Sekolah di Biak Dapat Bantuan Dana MBS
Selasa, 14 Pebruari 2012, 06:29 WIB
REPUBLIKA.co.id, BIAK - Lima sekolah di Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua mendapat dukungan dana bantuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk pengembangan manajemen berbasis sekolah (MBS) masing-masing sebesar Rp 15 juta/sekolah.
Sekretaris Dewan Pendidikan Biak Tjipto Prawira SE,MM di Biak, Selasa (14/2) mengakui, lima sekolah yang menerima dana program MBS terdiri atas tiga sekolah di antaranya SD YPK Wafnor, SD Santo Yosef 2 serta SD Madrasah Ibtidaiyah DDI Mandouw. "Untuk tingkat SMP dua sekolah yang menerima dukungan bantuan dana MBS yakni SMP negeri 3 dan SMP negeri 5, anggaran langsung ditranfer ke rekening sekolah," kata Tjipto. Ia mengakui, dua dari lima sekolah penerima dana MBS tahun 2011 hingga ssat ini belum ditranfer rekening sekolah SD Santo Yosef 2 dan Madrasah Ibtidaiyah DDI Mandouw.
Masalah keterlambatan pemberian dana pengembangan MBS, lanjut Tjipto, karena menyangkut rekening sekolah bersangkutan merupakan milik pribadi. "Sesuai aturan bantuan dana program pengembangan MBS dari pemerintah pusat untuk lima sekolah harus ditranfer langung ke rekening sekolah bukan milik pribadi," ujarnya. Tjipto mengakui, tiga sekolah penerima dana MBS telah memanfaatkan penggunaannya untuk melakukan sosialisasi kepada komite sekolah, dewan guru serta pihak berkepentingan di wilayah ini. "Harapan saya pengelolaan bantuan dana pengembangan MBS meski sedikit harus digunakan tepat sasaran untuk kemajuan pendidikan di sekolah bersangkutan," kata mantan Kepsek SMP Negeri 3 Biak ini. Berdasarkan data sejak tahun 2004 hingga saat ini pengembangan program MBS di berbagai sekolah kabupaten Biak Numfor mendapat pembinaan dan intervensi program dari badan dunia Unicef.
Analisis:
Dengan adanya bantuan dana tersebut semoga dapat dimanfaatkan dengan tepat sasaran dan tepat waktu. Jangan sampai dana tersebut hanya dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu dan tidak digunakan sebagaimana mestinya. Dana ini sangat mendukung bagi perkembangan Manajemen Berbasis Madrasah. Perlu adanya monitoring dan evaluasi dalam pelaksanaan kebijakan MBM supaya tidak terjadi penyelewengan dalam pengelolaan dana khususnya.
4. Fenomena IV
Mutu Madrasah Harus Ditingkatkan
Kamis, 22 Maret 2012 | 06:15 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) dituntut untuk lebih memperhatikan sekolah-sekolah berbasis agama atau madrasah. Sampai saat ini, banyak madrasah yang belum mampu menyelenggarakan pendidikan bermutu bagi peserta didiknya.
Wakil Ketua Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama Pusat, Masduki Baidhowi mengatakan, ketimpangan mutu pendidikan di madrasah yang terjadi antara kota dan daerah disebabkan oleh banyak hal. Beberapa diantaranya adalah dikotomi kebijakan pemerintah antara sekolah negeri dan swasta, keterbatasan sekolah-sekolah di daerah terpencil dalam memperoleh guru yang kompeten, sarana prasarana yang lengkap, serta kelengkapan sumber materi ajar.
"Lembaga-lembaga ini (madrasah) terdiskriminasi secara masif. Kemdikbud harus memperhatikan ini," kata Masduki di sela-sela diskusi pendidikan bertajuk "Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Inovasi Teknologi Pendidikan", di gedung PBNU, Jakarta, Rabu (21/3/2012). Ia mengungkapkan, diskriminasi pada madrasah umumnya terjadi di level daerah.
Hal itu terjadi lantaran madrasah masih menjadi tanggungjawab pemerintah pusat. Berbeda dengan sekolah lainnya (jenjang pendidikan dasar), yang sudah menginduk dan menjadi kewenangan pemerintah daerah. Semestinya, kata dia, Kemdikbud dapat benar-benar membuka akses pendidikan madrasah agar haknya dapat sama rata dengan sekolah lain yang menjadi tanggungjawab pemerintah. "Yang bertanggungjawab itu Kemdikbud, bukan Kementerian Agama. Termasuk jika terjadi kegagalan pada peningkatan mutu, Kemdikbud harus bertanggungjawab," pungkasnya.
Analisis:
Salah satu cara untuk meningkatkan mutu MI adalah melalui pengelolaan MI secara professional disertai dengan memperkuat plusnya. Pengelola MI adalah pemerintah dan masyarakat. Pengelola berusaha memenuhi 8 standar pendidikan, terutama standar-standar yg memang pada umumnya masih kurang, seperti standar proses, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan.
Peningkatan mutu MI merupakan tanggung jawab bersama, baik itu pemerintah dan masyarakat. Kurang bijaksana kiranya jika saling menyalahkan siapa yang bertanggung jawab atas rendahnya mutu pendidikan di madrasah ibtidaiyah. Pemerintah haruslah adil dan tisak membeda-bedakan antara sekolah negeri dan sekolah swasta, sekolah yang dibawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atau dibawah Kementerian yang lainnya.
Jika pendidikan diserahkan dalam satu naungan di bawah Kemdikbud dan tidak mengurangi ciri khas dari pendidikan yang ada di naungan kementrian Agama, penulis merasa tidak masalah. Hal yang lebih penting adalah mengusahakan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia sehingga tujuan pendidikan tercapai secara efektif dan efisien.
5. Fenomena V
14.000 Kepala Madrasah Studi Manajemen Pendidikan
| Benny N Joewono | Minggu, 4 Desember 2011 | 22:52 WIB
SEMARANG, KOMPAS.com - Kementerian Agama mengirim sekitar 14.000 kepala madrasah dan pengawas di seluruh wilayah Indonesia untuk belajar manajemen pendidikan dengan menggandeng perguruan tinggi setempat.
"Itu memang program kami, tahun ini total 14.000 kepala madrasah dan pengawas dapat pelatihan," kata Kepala Seksi Pengawas Madrasah Direktorat Pendidikan Madrasah Kementerian Agama R. Nurul Islam di Semarang, Minggu (4/12/2011).
Hal tersebut diungkapkannya usai membuka Pendidikan dan Pelatihan Kepala Madrasah Jawa Tengah di Kampus II Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) PGRI Semarang.
Menurut dia, pelatihan kepala madrasah itu dilakukan dengan menggandeng perguruan tinggi setempat, untuk Jateng menggandeng Universitas Sains Alqur’an (Unsiq) Wonosobo dan IKIP PGRI Semarang.
Ia mengakui, kompetensi kepala madrasah di bidang agama memang tidak perlu diragukan, namun kompetensi di bidang manajerial pendidikan masih kurang, diiringi sarana dan prasarana madrasah yang mereka kelola.
Sekitar 92 persen madrasah di Indonesia, kata dia, berstatus swasta yang tentunya kelangsungan hidup dan pemenuhan sarana prasarana mereka bergantung kepada pendanaan masyarakat.
"Kebanyakan kepala madrasah ini bahkan belum pernah tersentuh pelatihan manajemen pendidikan semacam ini sama sekali. Karena itu, kami beri mereka pelatihan dengan menggandeng perguruan tinggi," katanya.
Rektor IKIP PGRI Semarang Muhdi menyatakan mendukung langkah Kemenag menggandeng perguruan tinggi untuk membantu peningkatan kompetensi para kepala madrasah dan pengawas di lingkup kementerian itu.
Ia mengakui, kondisi madrasah berbeda dengan sekolah umum, sebab banyak madrasah yang didirikan dengan prinsip "ikhlas beramal" dalam artian mereka harus berjuang keras untuk menyelenggarakan pendidikan.
"Sebagian besar madrasah memang swasta. Apalagi dengan prinsip ’ikhlas beramal’ itu. Mereka tentunya kesulitan meningkatkan kompetensi tenaga pendidiknya, termasuk kepala sekolah," katanya.
Selain pelatihan manajemen pendidikan, Muhdi menekankan pelatihan itu juga mencakup penanaman nasionalisme dan cinta tanah air kepada peserta didik yang menjadi tugas pendidik, di samping transfer ilmu.
Pelatihan yang berlangsung selama tujuh hari itu memberikan berbagai materi di antaranya pendidikan dan analisis dalam penelitian tindakan kelas (PTK) dan diikuti oleh sekitar 800 kepala madrasah di Jateng.
Analisis:
Dalam mengembangkan Madrasah haruslah dimulai dengan mengembangkan faktor kuncinya, yaitu sumberdaya manusianya yang meliputi kepala Madrasah, guru-guru, staf administrasi, pengurus yayasan/BP3, dan pejabat Kandepag atau Kanwil Depag yang mengurusi Madrasah. The man behind the gun lebih menentukan daripada the gun-nya.
Usaha pengembangan Madrasah yang berhasil menuntut agar seluruh, atau sebagian besar, personil Madrasah tersebut melakukan perubahan-perubahan pada pekerjaan mereka sehari-hari yang telah mereka lakukan bertahun-tahun: cara mengajar, cara melayani siswa, cara kerja, dsb. Mungkin, sebagian besar dari mereka merasa kikuk dan tidak siap untuk melakukan hal itu. Dalam hal ini, Kandepag/Kanwil dapat memainkan peran untuk mengatasi hal itu. Kandepag atau Kanwil dapat membantu Madrasah yang mempunyai potensi untuk berkembang (dan ingin berkembang) dalam hal peningkatan wawasan, pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan para kepala madrasahnya sebagai pemimpin pendidikan.
Kandepag/Kanwil dapat melakukan penataran kepala madrasah di bidang ini dengan memanfaatkan para ahli yang ada di Fakultas Tarbiyah, Diklat, maupun IKIP di wilayah mereka. Peningkatan wawasan, pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan ini kemudian dapat dilanjutkan sampai ke guru-guru, staf non-guru, dan pengurus yayasan/BP3.
Dalam menentukan mitra yang ahli dalam bidang manajemen, kemenag haruslah lebih bijaksana. Misalnya apakah perguruan tinggi yang digandeng tersebut benar-benar ahli dalam bidang menejemen, sehingga usaha yang dilakukan dengan anggaran biaya yang tidak sedikit tersebut dapat efektif dan mencapai tujuan yang diharapkan.
C. Hambatan dalam Penerapan MBM
Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan Manajemen Berbasis Madrasah adalah:
1. Tidak Berminat Untuk Terlibat. Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.
2. Tidak Efisien. Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan sering kali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.
3. Pikiran Kelompok. Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit pikiran kelompok. Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
4. Memerlukan Pelatihan. Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, dan komunikasi.
5. Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru. Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.
6. Kesulitan Koordinasi. Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah. Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah dilibatkan sejak awal, mereka dapat memastikan bahwa setiap hambatan telah ditangani sebelum penerapan MBM. Dua unsur penting adalah pelatihan yang cukup tentang MBM dan klarifikasi peran dan tanggung jawab serta hasil yang diharapkan kepada semua pihak yang berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat harus memahami apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yang dapat dibagi, oleh siapa, dan pada level mana dalam organisasi.
D. Manajemen Pengelolaan MI Masa Depan Menurut Penulis
Madrasah Ibtidaiyah memiliki berbagai karakter dan keunikan. Madrasah Ibtidaiyah didirikan dan dikelola oleh tokoh Agama yg memiliki prototype kepribadian Muslim tertentu. Seringkali karakter sang tokoh sebagai pendiri sekaligus menjadi karakter Madrasah Ibtidaiyah. Bahkan Madrasah Ibtidaiyah itu identik dengan karakter pendiri dan pengelolanya, terutama Madrasah Ibtidaiyah swasta.
Posisi madrasah tidak dapat digantikan oleh lembaga-lembaga lain, sebab kelahiran madrasah merupakan upaya menjawab kebutuhan masyarakat akan pendidikan agama. Lembaga pendidikan ini menawarkan konsep pendidikan yang berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Ciri khas madrasah lebih dari hanya sekadar penyajian mata pelajaran agama saja. Artinya, ciri khas tersebut bukan hanya sekadar menyajikan mata pelajaran agama Islam di dalam lembaga madrasah tetapi yang lebih penting ialah perwujudan dari nilai-nilai keislaman di dalam totalitas kehidupan madrasah. Otonomi lembaga pendidikan madrasah dapat dipertahankan apabila madrasah tetap mempertahankan dirinya sebagai pendidikan yang berbasis masyarakat (community-based education).
Pengelolaan Madrasah Ibtidaiyah agar efektif dan efisien dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut:
1. Analisis SWOT keseluruhan fungsi madrasah yang diperlukan untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Untuk mengetahui tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya dicapai melalui membandingkan faktor dalam kondisi nyata dengan faktor dalam kriteria kesiapan. Dari analisis SWOT nantinya akan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam perancangan Visi dan Misi Madrasah sehingga dapat mengetahui keunggulan-keunggulan dan kelemahan dan bagaimana mengubah hambatan MI menjadi sebuah kesempatan.
2. Sumber Daya Manusia yang Kompeten, Kreatif, Mau dan Mampu untuk Berubah menjadi lebih Baik.
Dalam pengelolaan MI dibutuhkan SDM yang berkualitas, kompeten, kreatif. Dengan memiliki SDM yang demikian maka kekurangan- kekurangan lain seperti fasilitas, sarana dan prasarana dapat ditutupi.
3. Memperkuat plus/ keunikan MI
Keunggulan Sekolah Dasar itu terletak pada sistem pendidikan modern terutama mata pelajaran umum dan Bahasa Inggris. Keunggulan Pondok Pesantren itu terletak pada sistem pendidikan tradisional yg memiliki keunggulan dari segi kepribadian, rumpun mata pelajaran Agama Islam dan Bahasa Arab. MI adalah SD (unggul pada sistem pendidikan modern terutama mata pelajaran umum) plus kepribadian Muslim, Pendidikan Agama Islam, dan Bahasa Arab.
4. Menarik Animo Masyarakat
Dapat dilakukan dengan melakukan suatu kegiatan yang dapat menarik perhatian masyarakat, seperti menampilkan keunggulan-keunggulan yang ada di MI, kegiatan drumband, lomba pidato bahasa asing, dll. Dengan melihat beragam kegiatan yang ditampilkan, secara bertahap masyarakat akan mempercayakan putra-putrinya untuk sekolah di MI
5. Mengadakan program-program unggulan
Program-program unggulan yang dapat dilakukan seperti: mengadakan ekstrakurikuler sesuai bakat dan minat peserta didik, pidato bahasa Asing, Musik, Modelling, Menyanyi, Sains, dll.
6. Menjalin kerjasama dengan orang tua dan masyarakat
Hal ini dapat dilakukan dengan adanya kegiatan parent day. dimana wali murid yang memiliki profesi atau life skill tertentu diberikan kesempatan untuk mengajar. Program ini membantu terjalinnya hubungan baik antara pihak sekolah dan para wali murid sehingga tercipta iklim belajar yang lebih kondusif.
Selain mampu meningkatkan kompetensi siswa, hari orang tua (parent day) juga merupakan upaya meningkatkan kesadaran orang tua akan tanggung jawab dalam melaksanakan perannya sebagai pendukung kemampuan bersosialisasi anak dan pengembangan mereka.
7. Memiliki Badan Usaha
Madrasah memiliki suatu badan usaha yang sesuai dengan keadaan ekonomi dan keterampilan masyarakat sekitar. Misalnya memiliki usaha Koperasi tani, percetakan, bengkel, kolam ikan, apotek hidup dll. Hal ini dapat dimanfaatkan sebagai media pembelajaran bagi peserta didik. Dengan begitu peserta didik seudah dilatih sejak dini untuk berwira usaha. Hasil keuntungan dapat dimanfaatkan untuk mensejahterakan guru dan karyawan. Meskipun madrasah swasta, tetapi mampu memberikan kesejahteraan guru dan karyawan sehingga guru termotivasi dan semangat dalam mengajar. Sesuai dengan teori Maslow bahwa untuk meningkatkan motivasi seseorang maka haruslah dipenuhi kebutuhan dasarnya.
8. Meningkatkan fasilitas
Diharapkan tersedianya alat-alat atau fasilitas belajar yang memadai secara kuantitatif, kualitatif dan relefan dengan kebutuhan dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan proses pendidikan dan pengajaran, baik oleh guru sebagai pengajar maupun murid-murid sebagai pelajar.
9. Model Boarding School
Dengan model boarding school atau asrama maka peserta didik akan lebih mendapatkan banyak pendidikan. Ia akan dapat bersosialisasi dengan teman-temannya, melatih kemandirian dan hidup bermasyarakat, dapat dikontrol dengan baik kegiatan-kegiatan yang dilakukannya, meminimalisasi pengaruh-pengaruh buruk dari lingkungan. Selain itu dengan model boarding school maka dapat meningkatkan ibadah peserta didik, dengan shalat jamaah bersama, kegiatan mengaji, dll.
Madrasah Ibtidaiyah memiliki berbagai karakter dan keunikan. Madrasah Ibtidaiyah didirikan dan dikelola oleh tokoh Agama yg memiliki prototype kepribadian Muslim tertentu. Seringkali karakter sang tokoh sebagai pendiri sekaligus menjadi karakter Madrasah Ibtidaiyah. Bahkan Madrasah Ibtidaiyah itu identik dengan karakter pendiri dan pengelolanya, terutama Madrasah Ibtidaiyah swasta.
Posisi madrasah tidak dapat digantikan oleh lembaga-lembaga lain, sebab kelahiran madrasah merupakan upaya menjawab kebutuhan masyarakat akan pendidikan agama. Lembaga pendidikan ini menawarkan konsep pendidikan yang berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Ciri khas madrasah lebih dari hanya sekadar penyajian mata pelajaran agama saja. Artinya, ciri khas tersebut bukan hanya sekadar menyajikan mata pelajaran agama Islam di dalam lembaga madrasah tetapi yang lebih penting ialah perwujudan dari nilai-nilai keislaman di dalam totalitas kehidupan madrasah. Otonomi lembaga pendidikan madrasah dapat dipertahankan apabila madrasah tetap mempertahankan dirinya sebagai pendidikan yang berbasis masyarakat (community-based education).
Pengelolaan Madrasah Ibtidaiyah agar efektif dan efisien dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut:
1. Analisis SWOT keseluruhan fungsi madrasah yang diperlukan untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Untuk mengetahui tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya dicapai melalui membandingkan faktor dalam kondisi nyata dengan faktor dalam kriteria kesiapan. Dari analisis SWOT nantinya akan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam perancangan Visi dan Misi Madrasah sehingga dapat mengetahui keunggulan-keunggulan dan kelemahan dan bagaimana mengubah hambatan MI menjadi sebuah kesempatan.
2. Sumber Daya Manusia yang Kompeten, Kreatif, Mau dan Mampu untuk Berubah menjadi lebih Baik.
Dalam pengelolaan MI dibutuhkan SDM yang berkualitas, kompeten, kreatif. Dengan memiliki SDM yang demikian maka kekurangan- kekurangan lain seperti fasilitas, sarana dan prasarana dapat ditutupi.
3. Memperkuat plus/ keunikan MI
Keunggulan Sekolah Dasar itu terletak pada sistem pendidikan modern terutama mata pelajaran umum dan Bahasa Inggris. Keunggulan Pondok Pesantren itu terletak pada sistem pendidikan tradisional yg memiliki keunggulan dari segi kepribadian, rumpun mata pelajaran Agama Islam dan Bahasa Arab. MI adalah SD (unggul pada sistem pendidikan modern terutama mata pelajaran umum) plus kepribadian Muslim, Pendidikan Agama Islam, dan Bahasa Arab.
4. Menarik Animo Masyarakat
Dapat dilakukan dengan melakukan suatu kegiatan yang dapat menarik perhatian masyarakat, seperti menampilkan keunggulan-keunggulan yang ada di MI, kegiatan drumband, lomba pidato bahasa asing, dll. Dengan melihat beragam kegiatan yang ditampilkan, secara bertahap masyarakat akan mempercayakan putra-putrinya untuk sekolah di MI
5. Mengadakan program-program unggulan
Program-program unggulan yang dapat dilakukan seperti: mengadakan ekstrakurikuler sesuai bakat dan minat peserta didik, pidato bahasa Asing, Musik, Modelling, Menyanyi, Sains, dll.
6. Menjalin kerjasama dengan orang tua dan masyarakat
Hal ini dapat dilakukan dengan adanya kegiatan parent day. dimana wali murid yang memiliki profesi atau life skill tertentu diberikan kesempatan untuk mengajar. Program ini membantu terjalinnya hubungan baik antara pihak sekolah dan para wali murid sehingga tercipta iklim belajar yang lebih kondusif.
Selain mampu meningkatkan kompetensi siswa, hari orang tua (parent day) juga merupakan upaya meningkatkan kesadaran orang tua akan tanggung jawab dalam melaksanakan perannya sebagai pendukung kemampuan bersosialisasi anak dan pengembangan mereka.
7. Memiliki Badan Usaha
Madrasah memiliki suatu badan usaha yang sesuai dengan keadaan ekonomi dan keterampilan masyarakat sekitar. Misalnya memiliki usaha Koperasi tani, percetakan, bengkel, kolam ikan, apotek hidup dll. Hal ini dapat dimanfaatkan sebagai media pembelajaran bagi peserta didik. Dengan begitu peserta didik seudah dilatih sejak dini untuk berwira usaha. Hasil keuntungan dapat dimanfaatkan untuk mensejahterakan guru dan karyawan. Meskipun madrasah swasta, tetapi mampu memberikan kesejahteraan guru dan karyawan sehingga guru termotivasi dan semangat dalam mengajar. Sesuai dengan teori Maslow bahwa untuk meningkatkan motivasi seseorang maka haruslah dipenuhi kebutuhan dasarnya.
8. Meningkatkan fasilitas
Diharapkan tersedianya alat-alat atau fasilitas belajar yang memadai secara kuantitatif, kualitatif dan relefan dengan kebutuhan dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan proses pendidikan dan pengajaran, baik oleh guru sebagai pengajar maupun murid-murid sebagai pelajar.
9. Model Boarding School
Dengan model boarding school atau asrama maka peserta didik akan lebih mendapatkan banyak pendidikan. Ia akan dapat bersosialisasi dengan teman-temannya, melatih kemandirian dan hidup bermasyarakat, dapat dikontrol dengan baik kegiatan-kegiatan yang dilakukannya, meminimalisasi pengaruh-pengaruh buruk dari lingkungan. Selain itu dengan model boarding school maka dapat meningkatkan ibadah peserta didik, dengan shalat jamaah bersama, kegiatan mengaji, dll.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A. Kesimpulan
MBM merupakan salah satu strategi dalam peningkatan mutu madrasah. Esensi MBM adalah otonomi madrasah. Salah satu metode pendekatan pengelolaan manajemen madrasah bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan semua warga sekolah melalui pemberian kewenangan dan keluwesan untuk peningkatan mutu. Dalam konsepnya baik manajemen berbasis sekolah atau madrasah merupakan suatu bentuk kebijakan desentralisasi yang memberikan otonomi yang luas kepada sekolah dan madrasah agar dapat meningkatkan mutu pendidikan, tetapi dalam prakteknya masih ada perlakuan-perlakuan yang berbeda oleh pemerintah dalam memperhatikan antara sekolah dan madrasah. Madrasah di bawah naungan kementerian agama dimana agama merupakan hal yang tidak diotonomikan, sehingga dirasa bukan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.
Kepala madrasah sebagai motor penggerak dituntut untuk memiliki kemampuan manajerial yang dapat menggerakkan seluruh kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah (stake holders) untuk mencapai tujuan sekolah tersebut. Adanya perubahan dari pola manajemen lama (sentralisasi) ke pola baru (desentralisasi) yang lebih bernuansa otonomi dan demokrasi yang menuntut pola perubahan dalam pengelolaan pendidikan, yaitu ke arah manajemen berbasis madrasah (MBM).
B. Rekomendasi
Dari kesimpulan diatas bahwa mamanajemen berbasis madrasah ini sesuai dengan hakikat madrasah itu sendiri yakni berbasis masyarakat. Dalam penerapan manajemen berbasis madrasah diperlukan SDM yang berkualitas, kompeten, dan kreatif. Kepala madrasah sebagai leader harus mampu membawa MI menuju MI yang unggul bermutu dan berkualitas. Para stake holder yang harus mau dan mampu untuk berubah menuju yang lebih baik. Madrasah harus open manajement terutama masalah keuangan sehingga dapat dipertanggungjawabkan.
MBM merupakan salah satu strategi dalam peningkatan mutu madrasah. Esensi MBM adalah otonomi madrasah. Salah satu metode pendekatan pengelolaan manajemen madrasah bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan semua warga sekolah melalui pemberian kewenangan dan keluwesan untuk peningkatan mutu. Dalam konsepnya baik manajemen berbasis sekolah atau madrasah merupakan suatu bentuk kebijakan desentralisasi yang memberikan otonomi yang luas kepada sekolah dan madrasah agar dapat meningkatkan mutu pendidikan, tetapi dalam prakteknya masih ada perlakuan-perlakuan yang berbeda oleh pemerintah dalam memperhatikan antara sekolah dan madrasah. Madrasah di bawah naungan kementerian agama dimana agama merupakan hal yang tidak diotonomikan, sehingga dirasa bukan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.
Kepala madrasah sebagai motor penggerak dituntut untuk memiliki kemampuan manajerial yang dapat menggerakkan seluruh kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah (stake holders) untuk mencapai tujuan sekolah tersebut. Adanya perubahan dari pola manajemen lama (sentralisasi) ke pola baru (desentralisasi) yang lebih bernuansa otonomi dan demokrasi yang menuntut pola perubahan dalam pengelolaan pendidikan, yaitu ke arah manajemen berbasis madrasah (MBM).
B. Rekomendasi
Dari kesimpulan diatas bahwa mamanajemen berbasis madrasah ini sesuai dengan hakikat madrasah itu sendiri yakni berbasis masyarakat. Dalam penerapan manajemen berbasis madrasah diperlukan SDM yang berkualitas, kompeten, dan kreatif. Kepala madrasah sebagai leader harus mampu membawa MI menuju MI yang unggul bermutu dan berkualitas. Para stake holder yang harus mau dan mampu untuk berubah menuju yang lebih baik. Madrasah harus open manajement terutama masalah keuangan sehingga dapat dipertanggungjawabkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abu-Duhou, Ibtisam. 2002. School-Based Management. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Arikunto, Suharsimi. 2008. Manajemen Pendidikan. Yogyakarta: Aditya Media.
Danim, Sudarwan. 2006. Visi Baru Manajemen Sekolah. Jakarta: Bumi Aksara.
Hidayat, Ara dan Imam Machali. 2010. Pengelolaan Pendidikan. Bandung: Pustaka Educa.
Mulyasa, E. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: Rosdakarya.
_______, E. 2005. Menjadi Kepala Sekolah Profesional. Bandung: Rosdakarya.
Rifai, Veithzal dan Sylviana Murni. 2009. Education Management. Jakarta: RajaGrafindo Persada
Sagala, Syaiful. 2010. Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Usman, Husaini. 2008. Manajemen Teori Praktik dan Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Wahjosumidjo. 2002. Kepemimpinan Kepala Sekolah. Jakarta: Rajawali Press
Kompas. “Kemenag Belum Serius Urus Madrasah dan Pesantren”. Kompas.co.id. diakses pada tanggal 14 Februari 2012
Kompas. “Mutu Madrasah Harus Ditingkatkan”. Kompas.co.id. diakses pada tanggal 22 Maret 2012
Kompas. “14.000 Kepala Madrasah Studi Manajemen Pendidikan” Kompas.co.id. diakses pada tanggal 4 Desember 2012
Republika. “Lima Sekolah di Biak Dapat Bantuan Dana MBS”. Republika.co.id. diakses tanggal 14 Pebruari 2012
Republika. “Kemenag: Pemda Harus Adil pada Madrasah”. Republika.co.id. diakses tanggal 10 April 2010
Strategi pembelajaran kooperatif
STRATEGI
PEMBELAJARAN KOOPERATIF DALAM PEMBELAJARAN PAI MI
SINOPSIS
(INTISARI)
Pembelajaran
merupakan suatu sistem yang terdiri atas berbagai komponen yang
saling berhubungan satu dengan yang lain. Komponen tersebut meliputi:
tujuan, materi, metode, dan evaluasi. Keempat komponen pembelajaran
tersebut harus diperhatikan oleh guru dalam memilih dan menentukan
model dan strategi pembelajaran yang akan digunakan dalam kegiatan
pembelajaran.
Belajar dalam konsep Pendidikan Agama Islam
merupakan tuntutan hidup sepanjang hayat manusia (life long
learning). Dalam mempertahankan kehidupannya, manusia harus
mempunyai bekal kecakapan hidup (skill of life), yang dapat
diperoleh melalui berbagai proses belajar, seperti belajar untuk
mengetahui (learning to know), belajar untuk melakukan (
learning to do), belajar untuk menjadi seseorang (learning
to be) dan belajar untuk hidup bersama (learning to life
together). Dari empat pilar pendidikan
tersebut, disebutkan bahwa salah satu dari esensi pembelajaran adalah
untuk dapat hidup bersama (learning to
live together). Pembelajaran kooperatif
berguna untuk meningkatkan kompetensi sosial peserta didik. Oleh
karena itu, pembelajaran kooperatif merupakan salah satu alternatif
yang dapat digunakan dalam pembelajaran untuk mewujudkan peserta
didik yang mampu hidup bersama.
Pembelajaran kooperatif adalah suatu aktivitas
pembelajaran yang menggunakan pola belajar siswa berkelompok untuk
menjalin kerjasama dan saling ketergantungan dalam struktur tugas,
tujuan, dan hadiah. Maksud hadiah disini adalah penghargaan
kooperatif. Siswa didorong untuk bekerjasama pada suatu tugas dan
mereka harus mengkoordinasikan usahanya untuk menyelesaikan tugas.
Tujuan pembelajaran kooperatif adalah menciptakan situasi di
mana keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi oleh
keberhasilan kelompoknya.
Keuntungan positif mengenai kelompok kooperatif
biasanya mengarah pada meningkatnya keterlibatan dengan konten
sebagai salah satu faktor penting. Dibandingkan dengan format seisi
kelas yang besar, kelompok-kelompok kecil memiliki potensi lebih
besar dalam partisipasi, umpan balik, dan penyusunan makna timbal
balik diantara para peserta didik. Format kelompok mendorong para
peserta didik menjadi lebih aktif. Peserta didik yang memiliki
prestasi rendah diuntungkan dari penjelasan rekan sebaya dan peserta
didik yang berprestasi tinggi dapat lebih memperkuat pendalaman
informasinya. Peserta didik dapat mengembangkan kemampuan
interpersonal melalui tugas-tugas kelompok.
Kelemahan pembelajaran kooperatif bersumber pada
dua faktor, yaitu faktor intern diantaranya: guru harus mempersiapkan
pembelajaran secara matang (memerlukan lebih banyak tenaga, pemikiran
dan waktu), dibutuhkan dukungan fasilitas, alat, dan biaya yang cukup
memadai, kecenderungan topik permasalahan yang sedang dibahas meluas,
terkadang didominasi oleh seseorang. Sedangkan faktor ekstern terkait
dengan kebijakan pemerintah, misalnya adanya UN yang seolah-olah
pembelajaran hanya dipersiapkan untuk keberhasilan dalam UN.
Strategi pembelajaran
kooperatif merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan dalam
pembelajaran PAI agar pembelajaran dapat berjalan secara efektif dan
efisien untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
Strategi pembelajaran kooperatif secara psikologis sesuai dengan
perkembangan sosial peserta didik usia MI dan sesuai dengan
karakteristik mereka yang senang bekerja dalam kelompok. Strategi
kooperatif juga merupakan cerminan dari unsur kepribadian bangsa
Indonesia yaitu gotong royong. Oleh karena itu pembelajaran harus
sesuai dengan keadaan masyarakat dan sifat gotong royong hendaknya
dijadikan suatu prinsip yang mewarnai praktik pembelajaran untuk
peserta didik.
Dengan strategi pembelajaran
kooperatif, guru dapat menggunakan berbagai metode yang menarik yang
dapat meningkatkan minat, motivasi, prestasi peserta didik. Peserta
didik tidak hanya mendengarkan melalui ceramah, tetapi mereka
dituntut untuk aktif kooperatif dengan teman sekelasnya. Dengan
strategi ini, interaksi pembelajaran akan lebih “multi-arah” dan
terjadi diversifikasi sumber belajar. Strategi pembelajaran
kooperatif ini diarahkan pada pengembangan kemampuan kognitif siswa
bersamaan dengan kemampuan hubungan interpersonal (ketrampilan
sosial) peserta didik.
Dalam
pelaksanaan strategi pembelajaran kooperatif dibutuhkan kemauan dan
kemampuan serta kreatifitas guru dalam mengelola lingkungan kelas,
sehingga guru menjadi lebih aktif terutama saat menyusun rencana
pembelajaran secara matang, pengaturan kelas saat pelaksanaan, dan
membuat tugas untuk dikerjakan siswa bersama dengan kelompoknya.
BAB
I
PENDAHULUAN
Belajar dalam konsep Pendidikan Agama Islam
merupakan tuntutan hidup sepanjang hayat manusia (life long
learning). Dalam mempertahankan kehidupannya, manusia harus
mempunyai bekal kecakapan hidup (skill of life), yang dapat
diperoleh melalui berbagai proses belajar, seperti belajar untuk
mengetahui (learning to know), belajar untuk melakukan (
learning to do), belajar untuk menjadi seseorang (learning
to be) dan belajar untuk hidup bersama (learning to life
together).1
Dari empat pilar pendidikan tersebut, disebutkan
bahwa salah satu dari esensi pembelajaran adalah untuk dapat hidup
bersama (learning to live together).
Pembelajaran kooperatif berguna untuk meningkatkan kompetensi sosial
peserta didik. Oleh karena itu, pembelajaran kooperatif merupakan
salah satu alternatif yang dapat digunakan dalam pembelajaran untuk
mewujudkan peserta didik yang mampu hidup bersama.
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam selama ini masih menerapkan dan
masih mempertahankan cara-cara lama (tradisional), seperti ceramah,
menghapal, demonstrasi praktik-praktik ibadah yang tampak kering.2
Dilihat dari situasi pembelajaran yang semacam ini hampir
tidak ada kesempatan bagi siswa untuk menuangkan kreatifitasnya dan
menyampaikan gagasannya. Hal tersebut dapat menyebabkan proses
pembelajaran menjenuhkan, membosankan, tidak menggairahkan, dan
membuat siswa kurang semangat dalam mengikuti proses pembelajaran
pendidikan Agama Islam.
Secara psikologis apabila siswa kurang tertarik dengan metode yang
digunakan guru, maka dengan sendirinya siswa akan memberikan umpan
balik yang kurang mendukung dalam proses pembelajaran. Akibatnya
timbul rasa ketidakpedulian siswa terhadap guru agama dan tidak
tertarik dengan proses pembelajaran Pendidikan Agama Islam.
Implikasinya ranah afektif dan ranah psikomotorik tidak tercapai
dengan maksimal. Kalau kondisinya sudah seperti itu maka akan sulit
mengharapkan siswa sadar dan mau mengamalkan ajaran-ajaran agama.3
Paradigma lama tentang proses pembelajaran yang
bersumber pada teori tabula rasa John
Lock dimana pikiran seorang anak seperti kertas kosong dan siap
menunggu coretan coretan dari
gurunya sepertinya kurang tepat lagi digunakan oleh para pendidik
saat ini. Tuntutan
pendidikan sudah banyak berubah. Pendidik perlu menyusun dan
melaksanakan kegiatan
belajar mengajar dimana anak dapat aktif membangun pengetahuannya
sendiri. Hal ini
sesuai dengan pandangan kontruktivisme yaitu keberhasilan belajar
tidak hanya bergantung
pada lingkungan atau kondisi belajar, tetapi juga pada pengetahuan
awal siswa. Belajar
melibatkan pembentukan “makna” oleh siswa dari apa yang mereka
lakukan, lihat, dan
dengar. Pembelajaran
kooperatif merupakan salah satu pembelajaran yang dikembangkan
dari teori kontruktivisme karena
mengembangkan struktur kognitif untuk membangun
pengetahuan sendiri melalui berpikir
rasional.
Terkait dengan upaya peningkatan kualitas
pendidikan atau pembelajaran, banyak konsep yang ditawarkan
diantaranya yaitu konsep Active
Learning, Contextual
Teaching Learning, Cooperative
Learning, dan lain sebagainya. Salah
satu model yang dianggap efektif untuk diterapkan dalam pembelajaran,
yaitu model pembelajaran kooperatif.4
Melalui pembelajaran kooperatif, siswa didorong untuk bekerjasama
secara maksimal, menerima keragaman, mengembangkan ketrampilan
sosial, setiap anggota kelompok harus saling membantu, yg cepat
membantu yang lambat karena kegagalan individu adalah kegagalan
kelompok dan keberhasilan individu adalah keberhasilan kelompok shg
setiap anggota kelompok dituntut memiliki tanggungjawab penuh
terhadap kelompoknya. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas
mengenai PAI MI, karakteristik peserta didik usia MI dan strategi
pembelajaran kooperatif dalam pembelajaran PAI MI.
BAB
II
PEMBAHASAN
- PAI MI
Pendidikan Agama Islam di
Madrasah Ibtidaiyah terdiri atas empat mata pelajaran, yaitu:
Al-Qur'an-Hadis, Akidah-Akhlak, Fikih, dan Sejarah Kebudayaan Islam.
Masing-masing mata pelajaran
tersebut pada dasarnya saling terkait, isi mengisi dan melengkapi.
Al-Qur'an-hadis merupakan sumber utama ajaran Islam, dalam arti ia
merupakan sumber akidah-akhlak, syari’ah/fikih (ibadah, muamalah),
sehingga kajiannya berada di setiap unsur tersebut.
Akidah (ushuluddin) atau keimanan merupakan akar
atau pokok agama. Syariah/fikih (ibadah, muamalah) dan akhlak
berti tik tolak dari akidah, yakni
sebagai manifestasi dan konsekuensi dari akidah (keimanan dan
keyakinan hidup). Syari’ah/fikih merupakan sistem norma (aturan)
yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, sesama manusia dan
dengan makhluk lainnya.
Akhlak merupakan aspek sikap
hidup atau kepribadian hidup manusia, dalam arti bagaimana sistem
norma yang mengatur hubungan manusia dengan Allah (ibadah dalam arti
khas) dan hubungan manusia dengan manusia dan lainnya (muamalah) itu
menjadi sikap hidup dan kepribadian hidup manusia dalam menjalankan
sistem kehidupannya (politik, ekonomi, sosial, pendidikan,
kekeluargaan, kebudayaan/seni, iptek, olahraga/kesehatan, dan
lain-lain) yang dilandasi oleh akidah yang kokoh. Sejarah Kebudayaan
Islam merupakan perkembangan perjalanan hidup manusia muslim dari
masa ke masa dalam usaha bersyariah (beribadah dan bermuamalah) dan
berakhlak serta dalam mengembangkan sistem kehidu pannya yang
dilandasi oleh akidah.
Pendidikan Agama Islam (PAI) di Madrasah
Ibtidaiyah yang terdiri atas empat mata pelajaran tersebut memiliki
karakteristik sendiri-sendiri. Al-Qur’an-hadis, menekankan pada
kemampuan baca tulis yang baik dan benar, memahami makna secara
tekstual dan kontekstual, serta mengamalkan kandungannya dalam
kehidupan sehari-hari. Aspek akidah menekankan pada kemampuan
memahami dan mempertahankan keyakinan/keimanan yang benar serta
menghayati dan mengamalkan nilai-nilai al-asma’
al-husna.
Aspek akhlak menekankan pada
pembiasaan untuk melaksanakan akhlak terpuji dan menjauhi akhlak
tercela dalam kehidupan sehari-hari. Aspek
fikih menekankan pada kemampuan cara melaksanakan ibadah dan muamalah
yang benar dan baik. Aspek Sejarah Kebudayaan Islam menekankan pada
kemampuan mengambil ibrah
dari peristiwa-peristiwa bersejarah (Islam), meneladani tokoh-tokoh
berprestasi, dan mengaitkannya dengan fenomena sosial, budaya,
politik, ekonomi, IPTEKS,
dan lain-lain untuk mengembangkan kebudayaan dan peradaban Islam.
Hal ini sejalan dengan misi
pendidikan dasar adalah untuk pengembangan potensi dan kapasitas
belajar peserta didik, yang menyangkut: rasa ingin tahu, percaya
diri, keterampilan berkomunikasi dan kesadaran diri, pengembangan
kemampuan baca-tulis-hitung dan bernalar, keterampilan hidup,
dasar-dasar keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
fondasi bagi pendidikan berikutnya.
Di samping itu, juga mempertimbangkan perkembangan
psikologis anak, bahwa tahap perkembangan intelektual anak usia 6-11
tahun adalah operasional konkret (Piaget). Peserta didik pada jenjang
pendidikan dasar juga merupakan masa social
imitation (usia 6-9
tahun) atau masa mencontoh, sehingga diperlukan figur yang dapat
memberi contoh dan teladan yang baik dari orang-orang sekitarnya
(keluarga, guru, dan teman-teman sepermainan), usia 9-12
tahun sebagai masa second star of
individualisation atau masa
individualisasi, dan usia 12-15 tahun merupakan masa
social adjustment atau penyesuaian diri
secara sosial.
- Karakteristik Peserta Didik Usia MI
Ada beberapa karakteristik anak di usia MI yang
perlu diketahui para guru, agar lebih mengetahui keadaan peserta
didik ditingkat MI. Sebagai guru harus dapat menerapkan strategi/
metode pembelajaran yang sesuai dengan keadaan peserta didiknya maka
sangatlah penting bagi seorang pendidik mengetahui karakteristik
siswanya. Karakteristik peserta didik dapat dilihat dari perkembangan
fisik, motorik, kognitif, emosi, sosial, dan religiusitasnya. Berikut
penjelasannya:
- Perkembangan Fisik
Pada masa ini merupakan periode pertumbuhan fisik
yang lambat dan relatif seragam sampai mulai terjadi
perubahan-perubahan pubertas, kira-kira dua tahun menjelang anak
menjadi matang secara seksual, pada masa ini pertumbuhan berkembang
pesat.5
Oleh karena itu, masa ini sering disebut juga sebagai “periode
tenang” sebelum pertumbuhan yang cepat menjelang masa remaja,
meskipun merupakan masa tenang, tetapi hal ini tidak berarti bahwa
pada masa ini tidak terjadi proses pertumbuhan fisik yang berarti.
- Perkembangan Motorik
Dengan terus bertambahnya berat dan kekuatan
badan,maka pada masa ini perkembangan motorik menjadi lebih halus dan
lebih terkoordinasi dibandingkan dengan awal masa anak-anak.
Anak-anak terlihat lebih cepat dalam berlari dan makin pandai
meloncat, anak juga makin mampu menjaga keseimbangan badannya. Untuk
memperhalus keterampilan-keterampilan motorik, anak-anak terus
melakukan berbagai aktifitas fisik yang terkadang bersifat informal
dalam bentuk permainan. Disamping itu, anak-anak juga melibatkan diri
dalam aktivitas permainan olah raga yang bersifat formal, seperti
senam, berenang, dan lain sebagainya.
- Perkembangan kognitif
Seiring dengan masuknya anak ke MI, kemapuan
kognitifnya mengalami perkembangan yang pesat. Dalam keadaan normal,
pikiran anak usia sekolah berkembang secara berangsur-angsur. Kalau
pada masa sebelumnya daya fikir anak masih bersifat imajinatif dan
egosentris maka pada masa ini daya piker anak berkembang kearah
berpikir kongkrit, rasional dan objektif. Daya ingatnya menjadi
sangat kuat sehingga anak benar-benar berada dalam suatu stadium
belajar.
Menurut teori piaget, pemikiran anak masa sekolah
dasar disebut juga pemikiran operasional kongkrit (concrete
operational thought), artinya aktivitas mental yang difokuskan pada
objek-objek peristiwa nyata atau kongkrit.dalam upaya memahami alam
sekitarnya mereka tidak lagi terlalu mengandalkan informasi yang
bersumber dari panca indera, karena anak mulai mempunyai kemampuan
untuk membedakan apa yang tampak oleh mata dengan kenyataan
sesungguhnya.
- Perkembangan Sosial
Perkembangan sosial mulai meluas dari lingkungan
sosial di sekitar rumah manjadi lingkungan dan teman-teman di
sekolah. Kelompok anak usia sekolah biasanya merupakan kelompok
bermain yang terdiri atas anggota dari jenis kelamin yang sama, serta
ada aturan dan pemimpinnya yang mempunyai keunggulan dibandingkan
anggota kelompok lainnya.
Bila anak mulai sekolah, ia menyambut
kenalan-kenalan baru dengan rasa gembira. Semua peserta didik di
kelas itu adalah temannya. Kemudian mereka membentuk
kelompok-kelompok tersendiri, dimana setiap anak menggabungkan
dirinya ke dalam salah satu kelompok. Semakin lama anak semakin
banyak memegang peranan individual dalam kelompoknya. Anak muali
mengetahui bahwa ia termasuk siswa yang pandai berhitung, pandai
bermain lompat tali, anak yang periang, dan lain sebagainya. Pada
perkembangan selanjutnya muncul “pemimpin dan pengikutnya” dalam
kelas itu.6
Anak pada usia MI senang bermain dalam kelompoknya
dengan melakukan permainan yang konstruktif dan olahraga. Mereka
senang permainan olahraga, menjelajah daerah-daerah baru,
mengumpulkan benda-benda tertentu, menikmati hiburan seperti membaca
buku atau komik, menonton film dan televisi, juga melamun pada anak
yang kesepian dan sedikit mempunyai teman bermain.
- Perkembangan Agama
Konsep keagamaan pada diri anak usia dasar hampir
sepenuhnya autoritarius, artinya konsep keberagamaan mereka
dipengaruhi oleh faktor dari luar diri mereka. Pada usia ini
keagamaannya tidak mendalam. Ajaran agama dapat mereka terima dengan
tanpa kritik. Kebenaran yang mereka terima tidak mendalam. Anak
bersifat egosentris yang menuntut konsep keagamaan dari kesenangan
atau kepentingan dirinya. Bersifat verbalis dan ritualis. Mereka
menghafal kalimat-kalimat keagamaan dan melaksanakan ibadah berdasar
pengalaman menurut tuntunan yang diajarkan kepada mereka. Anak
bersifat imitatif atau meniru dari lingkungan sekitarnya terutama
keluarganya dan gurunya.7
Jadi dari teori perkembangan tersebut kita bisa
mengetahui beberapa karakteristik anak di usia Sekolah Dasar Sebagai
guru harus dapat menerapkan metode pembelajaran yang sesuai dengan
keadaan siswanya maka sangatlah penting bagi seorang pendidik
mengetahui karakteristik siswanya. Adapun karakeristik peserta didik
sebagai berikut:
- Senang bermain.
Karakteristik ini menuntut guru MI untuk
melaksanakan kegiatan pendidikan yang bermuatan permainan terutama
untuk kelas rendah. Guru MI seyogyanya merancang model pembelajaran
yang memungkinkan adanya unsur permainan di dalamnya. Guru hendaknya
mengembangkan model pengajaran yang serius tapi santai. Penyusunan
jadwal pelajaran hendaknya diselang saling antara mata pelajaran
serius seperti IPA, Matematika, dengan pelajaran yang mengandung
unsur permainan seperti pendidikan jasmani, atau Seni Budaya dan
Keterampilan (SBK).
- Senang bergerak
Orang dewasa dapat duduk berjam-jam, sedangkan
anak MI dapat duduk dengan tenang paling lama sekitar 30 menit. Oleh
karena itu, guru hendaknya merancang model pembelajaran yang
memungkinkan anak berpindah atau bergerak. Menyuruh anak untuk duduk
rapi untuk jangka waktu yang lama, dirasakan anak sebagai siksaan.
- Senang bekerja dalam kelompok.
Dari pergaulannya dengan kelompok sebaya, anak
belajar aspek-aspek yang penting dalam proses sosialisasi, seperti:
belajar memenuhi aturan-aturan kelompok, belajar setia kawan, belajar
tidak tergantung pada diterimanya dilingkungan, belajar menerimanya
tanggung jawab, belajar bersaing dengan orang lain secara sehat
(sportif), mempelajarai olah raga dan membawa implikasi bahwa guru
harus merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak untuk
bekerja atau belajar dalam kelompok, serta belajar keadilan dan
demokrasi. Karakteristik ini membawa implikasi bahwa guru harus
merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak untuk bekerja
atau belajar dalam kelompok. Guru dapat meminta siswa untuk
membentuk kelompok kecil dengan anggota 3-4 orang untuk mempelajari
atau menyelesaikan suatu tugas secara kelompok.
- Senang merasakan atau melakukan/memperagakan sesuatu secara langsung.
Ditunjau dari teori perkembangan kognitif, anak
MI memasuki tahap operasional konkret. Dari apa yang dipelajari di
sekolah, ia belajar menghubungkan konsep-konsep baru dengan
konsep-konsep lama. Berdasar pengalaman ini, siswa membentuk
konsep-konsep tentang angka, ruang, waktu, fungsi-fungsi badan, pera
jenis kelamin, moral, dan sebagainya. Bagi anak MI, penjelasan guru
tentang materi pelajaran akan lebih dipahami jika anak melaksanakan
sendiri, sama halnya dengan memberi contoh bagi orang dewasa. Dengan
demikian guru hendaknya merancang model pembelajaran yang
memungkinkan anak terlibat langsung dalam proses pembelajaran.
Sebagai contoh anak akan lebih memahami tentang arah mata angin,
dengan cara membawa anak langsung ke luar kelas, kemudian menunjuk
langsung setiap arah angin, bahkan dengan sedikit menjulurkan lidah
akan diketahui secara persis dari arah mana angin saat itu bertiup.
- Strategi Pembelajaran Kooperatif
- Pengertian Strategi Pembelajaran Kooperatif
Strategi pembelajaran adalah rangkaian kegiatan
dalam proses pembelajaran yang terkait dengan pengelolaan siswa,
pengelolaan guru, pengelolaan kegiatan pembelajaran, pengelolaan
sumber belajar dan penilaian agar pembelajaran lebih efektif dan
efisien sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ditetapkan.8
Dalam menentukan strategi pembelajaran perlu memperhatikan jenis
kompetensi dan jenis materi yang akan disampaikan.
Salah satu cara terbaik untuk meningkatkan
pembelajaran adalah dengan memberikan tugas belajar yang dikerjakan
dalam tim-tim kecil. Sering kali peserta didik dapat lebih banyak
belajar dengan cara ini dibandingkan dengan hanya ceramah tanpa
melibatkan peserta didik. Dorongan dari teman-teman dan keragaman
cara pandang, pengetahuan, dan keterampilan juga membantu
pembelajaran kooperatif berjalan dengan baik.9
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kooperatif
memiliki arti bersifat kerja sama dan bersedia membantu. Slavin
mengungkapkan bahwa cooperative learning
adalah suatu model pembelajaran dimana sistem belajar dan bekerja
dalam kelompok-kelompok kecil yang berjumlah 4-6 orang secara
kolaboratif sehingga dapat merangsang siswa lebih bergairah dalam
belajar.10
Ada dua pembelajaran yang berbasis sosial yaitu
pembelajaran kooperatif dan pembelajaran kolaboratif. Pembelajaran
kolaboratif diartikan sebagai falsafah mengenai tanggung jawab
pribadi dan sikap menghormati sesama, sedangkan pembelajaran
kooperatif adalah konsep yang lebih luas yang meliputi semua jenis
kerja kelompok termasuk bentuk-bentuk yang lebih diarahkan oleh guru.
Jadi dalam pembelajaran kooperatif mencakup pembelajaran
kolaboratif.11
Menurut Muslim Ibrahim, pembelajaran kooperatif
adalah suatu aktivitas pembelajaran yang menggunakan pola belajar
siswa berkelompok untuk menjalin kerjasama dan saling ketergantungan
dalam struktur tugas, tujuan, dan hadiah. Maksud hadiah disini adalah
penghargaan kooperatif. Siswa didorong untuk bekerjasama pada suatu
tugas dan mereka harus mengkoordinasikan usahanya untuk menyelesaikan
tugas.12
Anita Lie menyebut cooperative
learning dengan istilah pembelajaran
gotong royong, yaitu sistem pembelajaran yang memberi kesempatan
kepada peserta didik untuk bekerjasama dengan siswa lain dalam
tugas-tugas yang terstruktur. Lebih jauh dikatakan, cooperative
learning hanya berjalan kalau sudah terbentuk suatu kelompok atau
suatu tim yang didalamnya siswa bekerja secara terarah untuk mencapai
tujuan yang sudah ditentukan dengan jumlah anggota kelompok pada
umumnya terdiri dari 4-6 orang saja.13
Djahiri K menyebutkan cooperative
learning sebagai pembelajaran kelompok
kooperatif yang menuntut diterapkannya pendekatan belajar yang
student-centered,
humanis, dan demokratis yang disesuaikan dengan kemampuan siswa dan
lingkungan belajarnya.14
Dengan demikian, maka pembelajaran kooperatif mampu membelajarkan
diri dan kehidupan siswa baik dikelas atau disekolah. Lingkungan
belajarnya juga membina dan meningkatkan serta mengembangkan potensi
diri siswa sekaligus memberikan pelatihan hidup senyatanya. Jadi,
cooperative learning
dapat dirumuskan sebagai kegiatan pembelajaran kelompok yang terarah,
terpadu, efektif-efisien, ke arah mencari atau mengkaji sesuatu
melalui proses kerjasama dan saling membantu (sharing)
sehingga tercapai proses dan hasil belajar yang produktif (survive).
Pembelajaran kooperatif juga memberikan akomodasi
bagi peserta didik yang memiliki kecerdasan interpersonal yang
menonjol. Biasanya memiliki ciri-ciri pandai bernegosiasi, bergaul
dengan baik, menyukai pekerjaan yang berhubungan dengan orang, suka
bekerjasama, dapat membaca situasi sosial dengan baik. Dengan ciri
tersebut, maka siswa dengan kecerdasan interpersonal akan sangat
mudah untuk mempelajari materi dengan menggunakan strategi
pembelajaran kooperatif.15
Strategi pembelajaran kooperatif juga merupakan
cerminan dari unsur kepribadian bangsa Indonesia yaitu gotong royong.
Oleh karena itu pembelajaran harus sesuai dengan keadaan masyarakat
dan sifat gotong royong hendaknya dijadikan suatu prinsip yang
mewarnai praktik pembelajaran untuk peserta didik.16
Pembelajaran kooperatif ini bukan bermaksud untuk menggantikan
pendekatan kompetitif (persaingan). Nuansa kompetitif dalam kelas
akan sangat baik bila diterapkan secara sehat. Pendekatan kooperatif
ini adalah sebagai salah satu alternatif dalam mengisi kelemahan
kompetisi, yakni hanya sebagian siswa saja yang akan bertambah
pintar, sementara yang lainnya semakin tenggelam dalam
ketidaktahuannya. Tidak sedikit siswa yang kurang pengetahuan merasa
malu bila kekuranggannya di-expose.
Kadang-kadang motivasi persaingan akan menjadi kurang sehat bila para
murid saling menginginkan agar siswa lainnya tidak mampu, katakanlah
dalam menjawab soal yang diberikan guru. Sikap mental inilah yang
dirasa perlu untuk mengalami improvement (perbaikan).
Keuntungan positif mengenai kelompok kooperatif
biasanya mengarah pada meningkatnya keterlibatan dengan konten
sebagai salah satu faktor penting. Dibandingkan dengan format seisi
kelas yang besar, kelompok-kelompok kecil memiliki potensi lebih
besar dalam partisipasi, umpan balik, dan penyusunan makna timbal
balik diantara para peserta didik. Format kelompok mendorong para
peserta didik menjadi lebih aktif. Peserta didik yang memiliki
prestasi rendah diuntungkan dari penjelasan rekan sebaya dan peserta
didik yang berprestasi tinggi dapat lebih memperkuat pendalaman
informasinya. Peserta didik dapat mengembangkan kemampuan
interpersonal melalui tugas-tugas kelompok.17
Kelemahan pembelajaran kooperatif bersumber pada
dua faktor, yaitu faktor intern diantaranya: guru harus mempersiapkan
pembelajaran secara matang (memerlukan lebih banyak tenaga, pemikiran
dan waktu), dibutuhkan dukungan fasilitas, alat, dan biaya yang cukup
memadai, kecenderungan topik permasalahan yang sedang dibahas meluas,
terkadang didominasi oleh seseorang. Sedangkan faktor ekstern terkait
dengan kebijakan pemerintah, misalnya adanya UN yang seolah-olah
pembelajaran hanya dipersiapkan untuk keberhasilan dalam UN.
Apabila guru telah berperan baik sebagai
fasilitator, motivator, mediator, maupun sebagai evaluator, maka
kelemahan yang ditemukan dalam pembelajaran kooperatif dapat diatasi.
Peran guru sangat penting dalam menciptakan suasana kelas yang
kondusif agar pembelajaran dapat dilaksanakan sesuai rencana.
Sehingga dalam pembelajaran kooperatif tercipta sebuah interaksi yang
lebih luas, yaitu interaksi dan komunikasi yang dilakukan antara guru
dengan siswa, siswa dengan siswa, dan siswa dengan guru (multiway
traffic comunication).18
Pentingnya strategi pembelajaran kooperatif
sebagaimana yang Zamroni sebutkan bahwa implikasi dari hasil brain
research dan tuntutan dunia kerja,
pendidikan diharapkan:19
- mampu mengembangkan pada diri siswa tiga kemampuan dasar, yakni pertama:basic skills seperti membaca-menginterpretasi informasi, menulis-mengembangkan informasi, berhitung-matematika, berkomunikasi. Kedua: thinking skills berupa kreativitas, problem solving, reasoning. Ketiga: personal skills yang meliputi kemampuan mengendalikan diri, tanggungjawab, sociability, self-esteem, integritas-kejujuran.
- mampu mengembangkan diri di tempat kerja yang mencakup: kemampuan merencanakan, mengidentifikasi, mengorganisasi, bekerjasama dengan orang lain, menguasai dan memanfaatkan informasi, memahami hubungan sosial, organisasi, dan teknologi yang kompleks,
- mampu dalam pengelolaan dan penyampaian bahan pelajaran yang antara lain bercirikan: penyampaian materi lintas bidang, model pembelajaran kooperatif, dan outcome aspek afektif lebih jelas.
- Unsur-unsur Dasar dalam Coperative Learning
- Para siswa harus memiliki tanggungjawab terhadap siswa atau peserta didik lain dalam kelompoknya, selain tanggungjawab terhadap diri sendiri dalam mempelajari materi yang dihadapi.
- Para siswa harus berpandangan bahwa mereka semua memiliki tujuan yang sama.
- Para siswa membagi tugas dan berbagi tanggungjawab di antara para anggota kelompok.
- Para siswa diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berpengaruh terhadap evaluasi kelompok.
- Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh keterampilan bekerja sama selama belajar.
- Setiap siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.
- Karakteristik Pembelajaran Kooperatif
Tiga konsep sentral yang menjadi karakteristik
pembelajaran kooperatif sebagaimana dikemukakan oleh Slavin yaitu:21
- Penghargaan kelompok
Pembelajaran
kooperatif menggunakan tujuan-tujuan kelompok untuk memperoleh
penghargaan kelompok. Penghargaan kelompok diperoleh jika kelompok
mencapai skor di atas kriteria yang ditentukan. Keberhasilan kelompok
didasarkan pada penampilan individu sebagai anggota kelompok dalam
menciptakan hubungan antar personal yang saling mendukung, saling
membantu, dan saling mempedulikan.
- Pertanggungjawaban individu
Keberhasilan
kelompok tergantung dari pembelajaran individu dari
semua
anggota kelompok.
Pertanggungjawaban tersebut
menitikberatkan pada aktivitas anggota kelompok yang saling membantu
dalam belajar. Adanya pertanggungjawaban secara individu juga
menjadikan setiap anggota siap untuk menghadapi tes dan tugas-tugas
lainnya secara mandiri tanpa bantuan teman sekelompoknya.
- Kesempatan yang sama untuk mencapai keberhasilan
Pembelajaran
kooperatif menggunakan metode skoring yang mencakup nilai
perkembangan berdasarkan peningkatan prestasi yang diperoleh siswa
dari yang terdahulu. Dengan menggunakan metode skoring ini setiap
siswa baik yang berprestasi rendah, sedang, atau tinggi sama-sama
memperoleh kesempatan untuk berhasil dan melakukan yang terbaik bagi
kelompoknya.
Menurut Julia jasmine empat
komponen dasar pembelajaran kooperatif yang membedakannya dengan
pembelajaran melalui kegiatan kelompok biasa, yaitu:22
- dalam pembelajaran kooperatif, semua anggota kelompok perlu bekerjasama untuk menyelesaikan tugas,
- kelompok pembelajaran kooperatif seharusnya heterogen,
- aktivitas-aktivitas pembelajaran kooperatif perlu dirancang sedemikian rupa shg setiap siswa berkontribusi kpd kelompok dan setiap anggota kelompok dpt dinilai atas dasar kinerjanya,
- tim pembelajaran kooperatif perlu mengetahui tujuan akademik maupun sosial suatu pelajaran terkait.
- Tujuan Pembelajaran Kooperatif
Tujuan pembelajaran kooperatif berbeda dengan kelompok tradisional
yang menerapkan sistem kompetisi, di mana keberhasilan individu
diorientasikan pada kegagalan orang lain. Sedangkan tujuan dari
pembelajaran kooperatif adalah menciptakan situasi di mana
keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan
kelompoknya.23
Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai
setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting yang dirangkum oleh
Ibrahim yaitu: 24
- Hasil belajar akademik
Dalam belajar kooperatif meskipun mencakup
beragam tujuan sosial, juga memperbaiki prestasi siswa atau
tugas-tugas akademis penting lainnya. Beberapa ahli berpendapat bahwa
model ini unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep sulit.
Para pengembang model ini telah menunjukkan bahwa model struktur
penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan nilai siswa pada
belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil
belajar. Selain mengubah norma yang
berhubungan dengan hasil belajar, pembelajaran kooperatif dapat
memberi keuntungan baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok
atas yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademik.
- Penerimaan terhadap perbedaan individu
Tujuan lain model pembelajaran kooperatif
adalah penerimaan secara luas dari orang-orang yang berbeda
berdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kemampuan, dan
ketidakmampuannya. Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi siswa
dari berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja dengan saling
bergantung pada tugas-tugas akademik dan melalui struktur penghargaan
kooperatif akan belajar saling menghargai satu sama lain.
- Pengembangan keterampilan sosial
Tujuan penting ketiga pembelajaran
kooperatif adalah mengajarkan kepada siswa keterampilan bekerja sama
dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan sosial, penting dimiliki
oleh siswa sebab saat ini banyak anak muda masih kurang dalam
keterampilan sosial.
- Keterampilan Kooperatif
Dalam pembelajaran kooperatif
tidak hanya mempelajari materi saja, tetapi siswa atau peserta didik
juga harus mempelajari keterampilan-keterampilan khusus yang disebut
keterampilan kooperatif. Keterampilan
kooperatif ini berfungsi untuk melancarkan hubungan kerja dan tugas.
Peranan hubungan kerja dapat dibangun dengan membangun tugas anggota
kelompok selama kegiatan. Keterampilan-keterampilan selama kooperatif
tersebut antara lain sebagai berikut:25
- Keterampilan Kooperatif Tingkat Awal
- Menggunakan kesepakatan
Yang
dimaksud dengan menggunakan kesepakatan adalah menyamakan pendapat
yang berguna untuk meningkatkan hubungan kerja dalam kelompok.
- Menghargai kontribusi
Menghargai
berarti memperhatikan atau mengenal apa yang dapat dikatakan atau
dikerjakan anggota lain. Hal ini berarti harus selalu setuju dengan
anggota lain, dapat saja kritik yang diberikan itu ditujukan terhadap
ide dan tidak individu.
- Mengambil giliran dan berbagi tugas
Pengertian
ini mengandung arti bahwa setiap anggota kelompok bersedia
menggantikan dan bersedia mengemban tugas/ tanggungjawab tertentu
dalam kelompok.
- Berada dalam kelompok
Maksud
di sini adalah setiap anggota tetap dalam kelompok kerja selama
kegiatan berlangsung.
- Berada dalam tugas
Yang dimaksud berada dalam
tugas adalah meneruskan tugas yang menjadi tanggungjawabnya, agar
kegiatan dapat diselesaikan sesuai waktu yang dibutuhkan.
- Mendorong partisipasi
Mendorong
partisipasi berarti mendorong semua anggota kelompok untuk memberikan
kontribusi terhadap tugas kelompok.
- Mengundang orang lain
Maksudnya
adalah meminta orang lain untuk berbicara dan berpartisipasi terhadap
tugas.
- Menyelesaikan tugas dalam waktunya
- Menghormati perbedaan individu
Menghormati
perbedaan individu berarti bersikap menghormati terhadap budaya,
suku, ras atau pengalaman dari semua siswa atau peserta didik.
- Keterampilan Tingkat Menengah
Keterampilan tingkat menengah meliputi menunjukkan
penghargaan dan simpati, mengungkapkan ketidaksetujuan dengan cara
dapat diterima, mendengarkan dengan arif, bertanya, membuat
ringkasan, menafsirkan, mengorganisir, dan mengurangi ketegangan.
- Keterampilan Tingkat Mahir
Keterampilan tingkat mahir meliputi mengelaborasi,
memeriksa dengan cermat, menanyakan kebenaran, menetapkan tujuan, dan
berkompromi.
- Model Pembelajaran Kooperatif
Dalam pembelajaran kooperatif ada beberapa
variasi model yang dapat diterapkan, yaitu diantaranya: Student
Team Achievement Division, Jigsaw,
Numbered Head Together
Teams-Games-Tournament,
Group Investigation,
Rotating Trio Exchange,
Group Resume,
Cooperative Integrated Reading and
Composition, dll.26
Sedangkan dalam Mel Silberman mengungkapkan beberapa model belajar
dengan cara bekerja sama antara lain: Information
Search, The Study Group, Card Sort, Learning Toutnament, The Power Of
Two, dan Quiz Team.27
Berikut penjelasan mengenai model Teams-Games-Tournament
(TGT) dan Jigsaw:
- Model Teams-Games-Tournament (TGT)
TGT adalah salah satu tipe pembelajaran
kooperatif yang menempatkan siswa dalam kelompok-kelompok belajar
yang beranggotakan 4 sampai 6 orang siswa yang memiliki kemampuan,
jenis kelamin dan suku kata atau ras yang berbeda. Dengan adanya
heterogenitas anggota kelompok, diharapkan dapat memotivasi siswa
untuk saling membantu antar siswa yang berkemampuan lebih dengan
siswa yang berkemampuan kurang dalam menguasai materi pelajaran. TGT
terdiri dari 5 langkah tahapan yaitu: Tahap Penyajian Kelas (class
precentation), Belajar Dalam Kelompok
(teams),
Permainan (games),
Pertandingan (tournament),
Penghargaan Kelompok (team recognition).
Guru menyajikan materi, dan siswa bekerja dalam
kelompok mereka masing-masing. Dalam kerja kelompok guru memberikan
LKS kepada setiap kelompok. Tugas yang diberikan dikerjakan
bersama-sama dengan anggota kelompoknya. Apabila ada dari anggota
kelompok yang tidak mengerti dengan tugas yang diberikan, maka
anggota kelompok yang lain bertanggungjawab untuk memberikan jawaban
atau menjelaskannya, sebelum mengajukan pertanyaan tersebut kepada
guru. Hal ini akan menyebabkan tumbuhnya rasa kesadaran pada diri
siswa bahwa belajar secara kooperatif itu menyenangkan.
Untuk memastikan bahwa seluruh anggota kelompok
telah menguasai pelajaran, maka seluruh siswa akan diberikan
permainan akademik. Dalam permainan akademik siswa akan dibagi dalam
meja-meja turnamen, dimana setiap meja turnamen terdiri dari 5 sampai
6 orang yang merupakan wakil dari kelompoknya masing-masing. Dalam
setiap meja permainan diusahakan agar tidak ada peserta yang berasal
dari kelompok yang sama. Siswa dikelompokkan dalam satu meja turnamen
secara homogen dari segi kemampuan akademik, artinya dalam satu meja
turnamen kemampuan setiap peserta diusahakan agar setara.
Langkah pertama sebelum memberikan penghargaan
kelompok adalah menghitung rata-rata skor kelompok Pemberian
penghargaan didasarkan atas rata-rata poin yang didapat oleh kelompok
tersebut. Lembar penghargaan dicetak dalam kertas HVS, dimana
penghargaan ini akan diberikan kepada tim yang memenuhi kategori
rata-rata poin sebagai berikut:
Tabel 1. Kriteria Penghargaan Kelompok
Rerata Kelompok
|
Predikat
|
30 sampai 39
|
Tim Kurang baik
|
40 sampai44
|
Tim Baik ( Good Team)
|
45 sampai 49
|
Tim Baik Sekali ( Great Team)
|
50 ke atas
|
Tim Istimewa ( Super Team)
|
- Jigsaw
Jigsaw adalah salah satu tipe
pembelajaran kooperatif di mana pembelajaran melalui penggunaan
kelompok kecil siswa yang bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi
belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran dan mendapatkan pengalaman
belajar yang maksimal, baik pengalaman individu maupun pengalaman
kelompok. Pada pembelajaran tipe
Jigsaw ini setiap siswa menjadi anggota dari 2 kelompok, yaitu
anggota kelompok asal dan anggota kelompok ahli. Anggota kelompok
asal terdiri dari 3-5 siswa yang setiap anggotanya diberi nomor
kepala 1-5. Nomor kepala yang sama pada kelompok asal berkumpul pada
suatu kelompok yang disebut kelompok ahli.
Langkah-langkah dalam penerapan
jigsaw adalah:
- Guru memilih materi belajar yang dapat dipisah-pisah menjadi beberapa bagian.
- Guru menghitung jumlah bagian materi belajar dengan jumlah peserta didik kemudian guru membagi tugas yang berbeda kepada kelompok peserta yang berbeda.
- Siswa dibagi dalam kelompok kecil yang disebut kelompok inti, beranggotakan 4 orang. Setiap siswa diberi nomor kepala misalnya A, B, C, D.
- Membagi wacana / tugas sesuai dengan materi yang diajarkan. Masing-masing siswa dalam kelompok asal mendapat wacana / tugas yang berbeda, nomor kepala yang sama mendapat tugas yang sama pada masing-masing kelompok.
- Kumpulkan masing-masing siswa yang memiliki wacana/ tugas yang sama dalam satu kelompok sehingga jumlah kelompok ahli sama dengan jumlah wacana atau tugas yang telah dipersiapkan oleh guru.
- Dalam kelompok ahli ini tugaskan agar siswa belajar bersama untuk menjadi ahli sesuai dengan wacana / tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
- Tugaskan bagi semua anggota kelompok ahli untuk memahami dan dapat menyampaikan informasi tentang hasil dari wacana / tugas yang telah dipahami kepada kelompok kooperatif (kelompok inti). Poin a dan b dilakukan dalam waktu 30 menit.
- Apabila tugas telah selesai dikerjakan dalam kelompok ahli masing-masing siswa kembali ke kelompok kooperatif asal.
- Beri kesempatan secara bergiliran masing-masing siswa untuk menyampaikan hasil dari tugas di kelompok asli. Poin c dan d dilakukan dalam waktu 20 menit.
- Bila kelompok sudah menyelesaikan tugasnya secara keseluruhan, masing-masing kelompok menyampaikan hasilnya dan guru memberikan klarifilkasi. (10 menit).
Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat dari ilustrasi berikut:
Penjelasan untuk
semua kelompok.
Kelompok I
Kelompok II Kelompok III
Penjelasan
kelompok belajar
1 1
1 1
2
2 2
2
3 3 3 3
Penjelasan kelompok
“Jigsaw”
- Penelitian Penerapan Strategi Pembelajaran Kooperatif dalam Pembelajaran PAI MI
Penerapan strategi pembelajaran kooperatif tipe
NHT dalam pembelajaran SKI di kelas V MI Muhammadiyah Tersono Batang
dilaksanakan dalam dua siklus yang setiap siklusnya dua kali
pertemuan. Strategi NHT mencakup penomoran, pengajuan masalah,
diskusi kelompok, pemanggilan nomor, presentasi dan pemberian
penghargaan. Strategi Cooperative Learning tipe NHT efektif digunakan
untuk meningkatkan motivasi belajar siswa dalam pembelajaran SKI
khususnya siswa kelas V MI Muhammadiyah Tersono Batang. Hal tersebut
terbukti dari adanya peningkatan motivasi belajar siswa dari siklus I
ke siklus II. Motivasi siswa pada siklus I sebesar 81,72 % dalam
kategori baik dan siklus II sebesar 87 % dalam kategori baik sehingga
terjadi peningkatan sebesar 5,28 %. Strategi tersebut juga efektif
untuk meningkatkan prestasi belajar siswa dalam pembelajaran SKI hal
tersebut terbukti dari adanya peningkatan prestasi belajar siswa dari
siklus I ke siklus II. Prestasi belajar siswa pada siklus I nilai
rata-rata pre- tes sebesar 64.28 dan post-tes sebesar 75 dan siklus
II nilai rata-rata pre-tes sebesar 69 dan post- test sebesar 83.86
sehingga terjadi peningkatan pada siklus I ke siklus II nilai pre-
test sebesar 4.72 dan nilai post-test sebesar 8.86.28
- Contoh RPP Pembelajaran Kooperatif
RENCANA
PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
Satuan Pendidikan :
MI Insan Cendekia Blora
Mata Pelajaran :
Fiqih
Kelas / semester :
IV / 1
Pertemuan ke :
II
Alokasi waktu : 2 x 35
menit
- Standar Kompetensi
Mengetahui
ketentuan zakat
- Kompetensi Dasar
1.1
Menjelaskan macam-macam zakat
- Indikator
- Siswa mampu menjelaskan pengertian zakat
- Siswa mampu merumuskan macam-macam zakat dengan benar.
- Siswa dapat membedakan orang yang berhak menerima zakat dengan orang yang tidak berhak menerima zakat
- Siswa mampu menyebutkan faedah zakat dari berbagai segi.
- siswa dapat menjelaskan hikmah zakat dengan benar.
- Tujuan Pembelajaran
Dengan
metode
Active knowledge sharing,
Learning Tournament,
Interactive Lecturing
didukung media grafis
maka siswa diharapkan dapat
menjelaskan macam-macam zakat
- Materi Pembelajaran
Pengertian zakat,
macam-macam zakat,
orang yang berhak menerima zakat, dan
Hikmah zakat dari berbagai segi (terlampir)
- Metode dan Strategi Pembelajaran
- Active knowledge sharing
- Learning Tournament
- Interactive Lecturing
- Langkah-langkah pembelajaran
Tahap | Kegiatan | Alokasi waktu |
Awal |
|
10 menit |
Inti |
|
50 menit |
Penutup |
|
10 menit |
- Sumber pembelajaran
- Media/ Alat:
White
board, Spidol,
Laptop, LCD
- Referensi
Buku
paket Fiqh MTs kelas III terbitan Departemen Agama RI
Panduan
Pintar Zakat. H.A. Hidayat, Lc. & H. Hikmat Kurnia. Qultum Media.
Jakarta. 2008.
Kutipan
dari Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia bebas
- Penilaian
- Partisipasi siswa dalam pembelajaran (terlampir)
- Tes lisan secara spontan
- sebutkan makna zakat secara bahasa dan istilah !
- jelaskan macam macam zakat !
- jelaskan hikmah zakat bagimu dan bagi orang lain !
Penugasan:
mencari dalil yang berkenaan dengan zakat
Kepala
Madrasah
Rofi’ah Nurul Hidayati, S.Pd
|
Guru
Mata pelajaran
Nurul Hidayati Rofi’ah,
S.Pd.I
|
Lampiran
Materi
Zakat adalah rukun ketiga dari rukun
Islam. Secara harfiah zakat berarti "tumbuh",
"berkembang", "menyucikan", atau "membersihkan".
Sedangkan secara terminologi syari'ah,
zakat merujuk pada aktivitas memberikan sebagian kekayaan dalam
jumlah dan perhitungan tertentu untuk orang-orang tertentu
sebagaimana ditentukan.
Zakat merupakan salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu
unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Oleh sebab itu hukum zakat
adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi
syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah,
seperti: shalat,haji,dan puasa yang telah diatur secara rinci dan
paten berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah,sekaligus merupakan amal
sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai
dengan perkembangan ummat manusia.
Macam-Macam Zakat
Zakat
terbagi atas dua tipe yakni:
- Zakat Fitrah
- Zakat yang wajib dikeluarkan muslim menjelang Idul Fitri pada bulan Ramadhan. Besar Zakat ini setara dengan 2,5 kilogram makanan pokok yang ada di daerah bersangkutan.
- Zakat Maal (Harta)
- Mencakup hasil perniagaan, pertanian, pertambangan, hasil laut, hasil ternak, harta temuan, emas dan perak serta hasil kerja (profesi). Masing-masing tipe memiliki perhitungannya sendiri-sendiri.
- Yang berhak menerima:
- Fakir - Mereka yang hampir tidak memiliki apa-apa sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok hidup.
- Miskin - Mereka yang memiliki harta namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup.
- Amil - Mereka yang mengumpulkan dan membagikan zakat.
- Muallaf - Mereka yang baru masuk Islam dan membutuhkan bantuan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan barunya
- Hamba Sahaya yang ingin memerdekakan dirinya
- Gharimin - Mereka yang berhutang untuk kebutuhan yang halal dan tidak sanggup untuk memenuhinya
- Fisabilillah - Mereka yang berjuang di jalan Allah (misal: dakwah, perang dsb)
- Ibnus Sabil - Mereka yang kehabisan biaya diperjalanan.
Yang
tidak berhak menerima zakat
- Orang kaya. Rasulullah bersabda, "Tidak halal mengambil sedekah (zakat) bagi orang yang kaya dan orang yang mempunyai kekuatan tenaga." (HR Bukhari).
- Hamba sahaya, karena masih mendapat nafkah atau tanggungan dari tuannya.
- Keturunan Rasulullah. Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya tidak halal bagi kami (ahlul bait) mengambil sedekah (zakat)." (HR Muslim).
- Orang yang dalam tanggungan yang berzakat, misalnya anak dan istri.
- Orang kafir.
Beberapa
Faedah Zakat
Faedah
Diniyah (segi agama)
- Dengan berzakat berarti telah menjalankan salah satu dari Rukun Islam yang mengantarkan seorang hamba kepada kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akhirat.
- Merupakan sarana bagi hamba untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Rabb-nya, akan menambah keimanan karena keberadaannya yang memuat beberapa macam ketaatan.
- Pembayar zakat akan mendapatkan pahala besar yang berlipat ganda, sebagaimana firman Allah, yang artinya: "Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah" (QS: Al Baqarah: 276). Dalam sebuah hadits yang muttafaq "alaih Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam" juga menjelaskan bahwa sedekah dari harta yang baik akan ditumbuhkan kembangkan oleh Allah berlipat ganda.
- Zakat merupakan sarana penghapus dosa, seperti yang pernah disabdakan Rasulullah Muhammad SAW.
Faedah
Khuluqiyah (Segi Akhlak)
- Menanamkan sifat kemuliaan, rasa toleran dan kelapangan dada kepada pribadi pembayar zakat.
- Pembayar zakat biasanya identik dengan sifat rahmah (belas kasih) dan lembut kepada saudaranya yang tidak punya.
- Merupakan realita bahwa menyumbangkan sesuatu yang bermanfaat baik berupa harta maupun raga bagi kaum Muslimin akan melapangkan dada dan meluaskan jiwa. Sebab sudah pasti ia akan menjadi orang yang dicintai dan dihormati sesuai tingkat pengorbanannya.
- Di dalam zakat terdapat penyucian terhadap akhlak.
Faedah
Ijtimaiyyah (Segi Sosial Kemasyarakatan)
- Zakat merupakan sarana untuk membantu dalam memenuhi hajat hidup para fakir miskin yang merupakan kelompok mayoritas sebagian besar negara di dunia.
- Memberikan dukungan kekuatan bagi kaum Muslimin dan mengangkat eksistensi mereka. Ini bisa dilihat dalam kelompok penerima zakat, salah satunya adalah mujahidin fi sabilillah.
- Zakat bisa mengurangi kecemburuan sosial, dendam dan rasa dongkol yang ada dalam dada fakir miskin. Karena masyarakat bawah biasanya jika melihat mereka yang berkelas ekonomi tinggi menghambur-hamburkan harta untuk sesuatu yang tidak bermanfaaat bisa tersulut rasa benci dan permusuhan mereka. Jikalau harta yang demikian melimpah itu dimanfaatkan untuk mengentaskan kemiskinan tentu akan terjalin keharmonisan dan cinta kasih antara si kaya dan si miskin.
- Zakat akan memacu pertumbuhan ekonomi pelakunya dan yang jelas berkahnya akan melimpah.
- Membayar zakat berarti memperluas peredaran harta benda atau uang, karena ketika harta dibelanjakan maka perputarannya akan meluas dan lebih banyak pihak yang mengambil manfaat.
Hikmah
Zakat
Hikmah
dari zakat antara lain:
- Mengurangi kesenjangan sosial antara mereka yang berada dengan mereka yang miskin.
- Pilar amal jama'i antara mereka yang berada dengan para mujahid dan da'i yang berjuang dan berda'wah dalam rangka meninggikan kalimat Allah SWT.
- Membersihkan dan mengikis akhlak yang buruk
- Alat pembersih harta dan penjagaan dari ketamakan orang jahat.
- Ungkapan rasa syukur atas nikmat yang Allah SWT berikan
- Menambah pendapatan negara untuk proyek-proyek yang berguna bagi ummat.
BAB
III
KESIMPULAN
- Kesimpulan
Strategi pembelajaran
kooperatif merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan dalam
pembelajaran PAI agar pembelajaran dapat berjalan secara efektif dan
efisien untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
Strategi pembelajaran kooperatif secara psikologis sesuai dengan
perkembangan sosial peserta didik usia MI dan sesuai dengan
karakteristik mereka yang senang bekerja dalam kelompok. Strategi
kooperatif juga merupakan cerminan dari unsur kepribadian bangsa
Indonesia yaitu gotong royong. Oleh karena itu pembelajaran harus
sesuai dengan keadaan masyarakat dan sifat gotong royong hendaknya
dijadikan suatu prinsip yang mewarnai praktik pembelajaran untuk
peserta didik.
Dengan strategi pembelajaran
kooperatif, guru dapat menggunakan berbagai metode yang menarik yang
dapat meningkatkan minat, motivasi, prestasi peserta didik. Peserta
didik tidak hanya mendengarkan melalui ceramah, tetapi mereka
dituntut untuk aktif kooperatif dengan teman sekelasnya. Dengan
strategi ini, interaksi pembelajaran akan lebih “multi-arah” dan
terjadi diversifikasi sumber belajar. Strategi pembelajaran
kooperatif ini diarahkan pada pengembangan kemampuan kognitif siswa
bersamaan dengan kemampuan hubungan interpersonal (ketrampilan
sosial) peserta didik.
Dalam pelaksanaan strategi pembelajaran kooperatif
dibutuhkan kemauan dan kemampuan serta kreatifitas guru dalam
mengelola lingkungan kelas, sehingga guru menjadi lebih aktif
terutama saat menyusun rencana pembelajaran secara matang, pengaturan
kelas saat pelaksanaan, dan membuat tugas untuk dikerjakan siswa
bersama dengan kelompoknya.
- Rekomendasi
- Dalam penerapan model pembelajaran kooperatif diperlukan perencanaan dan persiapan yang matang dan waktu yang tidak sebentar, maka guru diharapkan lebih kreatif dalam mempersiapkan dan mengelola waktu dengan tepat.
- Hendaknya tidak membebani peserta didik dengan terlalu banyak aktivitas. Sedikit aktivitas kadang lebih berarti. Menggunakan aktivitas tersebut untuk menggairahkan suasana kelas.
- Dalam menerapkan strategi pembelajaran kooperatif diharapkan guru mampu membuat petunjuk dengan jelas. Guru dapat memperagakan atau mengilustrasikan apa yang harus dilakukan peserta didik sehingga tidak muncul kebingungan di kalangan peserta didik. Hal ini justru dapat mengalihkan perhatian mereka.
- Penutup
Alhamdulillah, puji syukur
penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Penulis
yakin masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah
ini dan jauh dari kesempurnaan. Harapan penulis, semoga makalah
ini bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Desmita.
Psikologi Perkembangan. Bandung:
Rosdakarya. 2006.
Evertson, M. Carolyn dan Edmund T. Emmer.
Manajemen Kelas untuk Guru Sekolah
Dasar. Jakarta: Kencana. 2011.
Huda, Miftahul. Cooperatif
Learning Metode, Teknik, Struktur, dan Model Penerapan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011.
Ibrahim, Pembelajaran Kooperatif, Surabaya: Unesa Press. 2000.
Isjoni. Pembelajaran
Kooperatif Meningkatkan Kecerdasan komunikasi antar Peserta Didik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009.
Isjoni.
Cooperative Learning, Efektifitas Pembelajaran Kelompok.
Bandung: Alfabeta.
2009.
Ismail. Strategi
Pembelajaran Agama Islam Berbasis
PAIKEM. Semarang: RaSAIL, 2008.
Jasmine, Julia. 2007. Panduan
Praktis Mengajar Berbasis Multiple
Intelegences.
Bandung: Nuansa.
Joice, Bruce. Models
of Teaching. London: Allyn and Bacon.
1996.
L, Zulkifli. Psikologi
Perkembangan. Bandung:Rosdakarya. 2005.
Lie, Anita. Cooperative
Learning Mempraktekkan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas.
Jakarta: Grasindo. 2008.
Nasution. Didaktik
Asas-Asas Mengajar. Jakarta:Bumi
Aksara. 1995.
Prabowo, Sugeng Listyo. Perencanaan
Pembelajaran. Malang: UIN Maliki Press.
2010.
Rusman. Model-model Pembelajaran Mengembangkan
Profesionalisme Guru. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2011.
Slavin, Robert E. Cooperative
Learning. Bandung: Nusa Media 2008.
Suyono dan Hariyanto. Belajar
dan Pembelajaran. Bandung: Rosdakarya.
2011.
Suprijono, Agus. Cooperatif
Learning: teori dan Aplikasi PAKEM.
Yogyakarta: Pustaka Belajar. 2009.
Solihatin, Etin dan Raharjo. Cooperatif
Learning Analisis Model Pembelajaran IPS.
Jakarta:Bumi Aksara. 2008.
1
Empat pilar pendidikan dalam
UNESCO lihat juga Suyono, Belajar
dan Pembelajaran,
Bandung:Rosdakarya, 2011, hal. 29.
4 Anita
Lie, Cooperatif Learning: Mempraktikkan
Cooperatif Learning di Ruang-Ruang Kelas,
(Jakarta: Grasindo, 2002), hal.8
11 Agus
Suprijono, Cooperatif
Learning: teori dan Aplikasi PAKEM,
Yogyakarta: Pustaka Belajar,2009, hal. 54
12
Muslim Ibrahim dalam Rusman,
Model-Model
Pembelajaran,
Jakarta: Rajagrafindo persada, 2011, hal. 208
13
Anita Lie, Cooperatif
Learning: Mempraktikkan Cooperatif Learning di Ruang-Ruang Kelas,
(Jakarta: Grasindo, 2002), hal.8
17
Carolyn M. Evertson dan Edmund T. Emmer, Manajemen
Kelas untuk Guru Sekolah Dasar,
Jakarta: Kencana, 2011, hal. 153
18
Rusman, Model-model
Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011, hal. 203
19
Zamroni dalam Mahmud Arif”
Strategi Pembelajaran Kooperatif untuk PAI “materi kuliah PAI MI
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012
20
Yusuf, “ Kualitas Proses dan
Hasil Belajar Biologi Melalui Pengajaran Dengan Model Pembelajaran
Kooperatif Tipe Jigsaw Pada Madrasah Aliyah Ponpes Nurul Haramain
Lombok Barat NTB” Tesis Program Pascasarjana Program Studi
Pendidikan Sains Universitas Negeri Surabaya, hal. 23
22
Julia Jasmine,
Panduan
Praktis Mengajar Berbasis Multiple
Intelegences,
Bandung: Nuansa, 2007, hal. 141-143
28
Arini
Hasanah“Penerapan
Model Pembelajaran Kooperatif tipe NHT (Numbered
Head Together) Untuk
Meningkatkan Motivasi
dan Prestasi
Belajar Siswa Kelas V
Dalam Pembelajaran
SKI di
MI Muhammadiyah Tersono
Batang.”,
skripsi, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011.
Langganan:
Postingan (Atom)