Minggu, 09 September 2012

Manajemen Berbasis Madrasah


BAB I
PENDAHULUAN
Istilah manajemen berbasis sekolah/madrasah (School Based Management) pertama kali muncul di Amerika serikat ketika masyarakat mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat setempat. Manajemen Berbasis Sekolah/ Madrasah mulai dipopulerkan di Indonesia sejak tahun 1994-an dan dicobakan sejak tahun 1998. Ada banyak harapan tersimpan dalam pendekatan baru tersebut.
 Manajemen Berbasis Sekolah/Madrasah merupakan paradigma baru manajemen pendidikan, yang memberi otonomi luas pada sekolah dan pelibatan masyarakat dalam kerangka kebijakan nasional. Otonomi diberikan agar sekolah leluasa dalam mengelola sumber daya, sumber dana, sumber belajar, dan mengalokasikannya sesuai prioritas kebutuhan serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat. Otonomi tersebut tidak serta merta menjadikan sekolah melepaskan diri dari kontrol pemerintah. Aturan kelembagaan yang bersifat fungsional operasional sebagai bagian dari lembaga negara di bidang pendidikan, tentu  tetap berlaku.
Kebijakan Manajemen Berbasis Madrasah memberi peluang madrasah untuk menjadi semakin unggul. Sekolah ber-MBM artinya dalam menyelenggarakan manajemen pengelolaannya berorientasi pada kepentingan sekolah. Secara mandiri madrasah menentukan visi, misi, tujuan dan segala aktivitas pelaksanaannya. Kurikulum sekolah MBM disusun sesuai tujuan madrasah, sebagai hasil kesepakatan kehendak madrasah,  orang tua, dan masyarakat terutama  pengguna lulusan madrasah.
Segala aktivitas pendidikan di madrasah diorientasikan untuk peningkatan mutu pendidikan sekolah yang bersangkutan. Kontribusi orang tua dan masyarakat terhadap sekolah tidak hanya tanggung jawab finansial terhadap penyediaan sarana prasarana pendidikan di sekolah, tetapi juga tanggung jawab terhadap pengendalian mutu sekolah. Fungsi pengawasan pun dilakukan oleh orang tua dan masyarakat terhadap sekolah secara utuh dan menyeluruh.
Bertambahnya sekolah dan madrasah ber-MBS/M di seluruh Indonesia baik secara kuantitas maupun kualitas akan semakin memunculkan sekolah dan madrasah unggulan. Sebuah obsesi jika semua madrasah ber-MBM maka  kompetisi  unggul dari yang unggul menjadi wacana. Daya saing secara global dalam hal ini akan memberi aroma positif terhadap pendidikan di Indonesia.
Untuk membatasi permasalahan dalam pembahasan, maka dalam makalah ini akan membahas tentang pola manajemen berbasis sekolah/madrasah, pengertian MBM, bagaimana implementasi di madrasah, apasaja hambatan-hambatan dalam pelaksanaanya, dan bagaimana manajemen pengelolaan MI yang ideal menurut penulis.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Konsep Manajemen berbasis madrasah (MBM)
1.    Pola Manajemen berbasis madrasah
Seiring dengan berlakunya Undang-Undang RI No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Otonomi Daerah) dan bukti-bukti empiris tentang kurang efektif dan efisiensinya manajemen berbasis pusat, maka Depdiknas melalui perubahan dan penyesuaian, salah satu diantaranya adalah melalui pergeseran pendekatan manajemen, yaitu manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah/ madrasah (MBM).
Adapun untuk menelaah lebih lanjut tentang paradigma baru perubahan pola lama ke pola baru secara rinci dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.

Pola Lama    Menuju    Pola Baru      
- Subordinasi    à    - Otonomi      
- Pengambilan keputusan terpusat    à    - Pengambilan Keputusan
 Partisipatif      
- Ruang gerak kaku    à    - Ruang gerak luwes      
- Pendekatan birokratik    à    - Pendekatan profesional      
- Sentralistik    à    - Desentralistik      
- Diatur    à    - Motivasi diri      
- Overregulasi    à    - Deregulasi      
- Mengental    à    - Mempengaruhi      
- Mengarahkan    à    - Memfasilitasi      
- Menghindari risiko    à    - Mengelola risiko      
- Gunakan uang seenaknya    à    - Gunakan uang seefisien
   Mungkin      
- Individu tercerdas    à    - Team work cerdas      
- Informasi terpribadi    à    - Informasi terbagi      
- Pendelegasian    à    - Pemberdayaan      
- Organisasi hierarkis    à    - Organisasi datar   
(Diadaptasi dari Depdiknas, 2000)
Berdasarkan Tabel 1 di atas, dapat dikemukakan bahwa otonomi dapat diartikan sebagai kemandirian yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri. Kemandirian dalam perencanaan program maupun rencana anggaran merupakan tolok ukur utama kemandirian madrasah. Pada gilirannya kemandirian yang berlangsung secara terus menerus akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan madrasah. Jadi otonomi sekolah adalah kewenangan madrasah untuk mengurus dan mengatur kepentingan semua warga madrasah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga madrasah sesuai paraturan dan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku.
Dalam hal ini kemandirian harus didukung dengan sejumlah kemampuan: kemampuan mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi yaitu menghargai perbedaan pendapat, kemampuan bermobilisasi sumber daya, kemampuan berkomunikasi dengan baik, dan kemampuan memecahkan masalah sekolah.
Fleksibilitas dapat diartikan sebagai keluwesan-keluwesan yang diberikan kepada sekolah untuk mengelola, memanfaatkan, dan memberdayakan sumber daya sekolah seoptimal mungkin untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan keluwesan-keluwesan yang lebih besar diberikan kepada sekolah, maka akan lebih lincah dan tidak harus menunggu arahan dari atasannya untuk mengelola, memanfaatkan dan memberdayakan sumber daya. Dengan cara ini, sekolah akan lebih responsif dan cepat tanggap atas segala tantangan yang dihadapi. Namun demikian keluwesan yang dimaksud harus tetap dalam koridor kebijakan dan peraturan perundangan yang ada.
Pendekatan profesionalisme pada pendekatan birokratis, apa yang dilakukan oleh sekolah didasarkan atas kemauan atasan mana yang dianggap baik dan benar oleh pemimpin, itulah yang harus dilaksanakan. Pada pendekatan profesionalisme yang dilakukan sekolah berorientasi pada keahlian pada warga sekolah, sehingga profesionalisme yang dimiliki dapat membimbing tingkah laku dan arahan kepada semua warga sekolah bukan semata-mata pada keluwesan.
Pola manajemen desentralistik, keputusan kekuasaan tidak akan terjadi lagi karena banyak kewenangan pusat wilayah dan Diknas kota yang diserahkan sekolah. Dengan demikian sekolah lebih berdaya dan semua keputusan yang dibuatnya akan lebih efektif dan efisien.
Deregulasi pendidikan akan mampu menumbuhkan daya kreativitas. Prakarsa sekolah, tidak tergantung pada jumlah dan jenis, perintah, membuat sekolah seperti robot, membunuh kreativitas sekolah terutama gurunya. Dengan deregulasi akan membuat sekolah sebagai pusat perubahan, mampu memberikan kelenturan dalam mengelola sekolahnya. Mempengaruhi cenderung ditekankan pada input dan proses sehingga terhindar dari kemungkinan kesalahan, oleh karena itu manajemen berbasis madrasah lebih menekankan pada “mempengaruhi” atau “mengontrol”. Memfasilitasi dengan maksud lebih menekankan pada pemberian “fasilitas”, misalnya bagaimana menurut pendapat Anda program dan perencanaan ini dimana kelebihan dan kelemahannya, bagaimana pemecahannya, sehingga terjadi inovasi, kreativitas bertumbuh subur.
“Mengelola risiko” pada pola manajemen baru lebih menganjurkan “mengambil risiko” dalam hal ini didasari oleh kenyataan yang terjadi bahwa orang-orang yang berani untuk mengambil risiko ternyata cenderung lebih produktif, kreatif dan lebih maju dalam menghadapi permasalahan ke depan dibanding dengan orang yang suka “menghindari risiko”.
Penggunaan uang yang seefisien. Kenyataan pada pola manajemen lama menekankan pada “uang harus dihabiskan semua”, akan tetapi pada pola manajemen baru bergeser menjadi “gunakan uang secukupnya”, sehingga memungkinkan meningkatkan efisiensi sekolah. Kelebihan uang dapat digunakan pelaksanaan program berikutnya walaupun dalam hal ini tetap dituntut terstrukturisasi anggaran pola lama.
“Team work” (kebersamaan) merupakan karateristik yang dituntut oleh MPMBM, karena output pendidikan merupakan hasil kolektif warga sekolah, bukan hasil individual. Team work harus kompak, cerdas dan dinamis. Inti budaya kerjasama antar fungsi dalam sekolah, antar individu dalam sekolah, harus merupakan kebiasaan hidup sehari-hari semua warga sekolah, dengan demikian akan mampu meningkatkan kinerja sekolah.
“Informasi Terbagi” pada pola manajemen lama informasi hanya dimiliki oleh sejumlah warga sekolah khususnya kepala madrasah, wakil dan stafnya serta sebagian guru. Bahkan hal tersebut umumnya tidak disebarluaskan kepada warga sekolah (terpribadi). Dalam pola sekolah dengan manajemen baru informasi harus tersebar, terbagi secara merata ke seluruh warga. Tentu saja yang dimaksudkan adalah tidak setiap hanya diberikan kepada mereka yang memang berhak menerimanya.
Pemberdayaan manajemen pendidikan sampai saat ini masih diwarnai dengan praktik-praktik penyalahgunaan pendelegasian tugas dan fungsi serta tanggung jawab semata tanpa diikuti penyerahan kewenangan. Dengan demikian, sekolah tidak berdaya sama sekali, akan tetapi dengan pemberdayaan melalui penyerahan tugas dan fungsi, tanggung jawab, hak dan kewajiban yang disertai kewenangan untuk mengambil keputusan, maka hanya sekolahlah yang merupakan “pusat perubahan” yang sebenarnya terutama sumber daya manusianya. Sebaik apapun kebijakan dari pusat namun, jika sekolah tidak berubah, maka tidak akan pernah ada perubahan.
Organisasi datar, dari perjalanan panjang pendidikan di Indonesia, bahkan perubahan kurikulum 1968 sampai dengan kurikulum 1994 belum menunjukkan perubahan yang signifikan, apalagi organisasi pendidikan khususnya organisasi sekolah masih diatur dengan berlapis-lapis manajemen yang rumit, sehingga sekolah lamban untuk beradaptasi terhadap perubahan-perubahan, dan kurang tanggap atas isu-isu kritis strategis yang menyangkut kemajuan sekolah. Maka dengan organisasi baru sekolah lebih responsif, antisipatif terhadap isu strategis kritis, termasuk perubahan-perubahan sosial secara umum.
Simpulan dari uraian tabel tersebut di atas yaitu:
a.    Pada pola lama, tugas dan fungsi sekolah lebih pada melaksanakan program daripada mengambil inisiatif merumuskan dan melaksanakan program peningkatan mutu yang dibuat sendiri oleh sekolah.
b.    Pada pola baru, sekolah memiliki wewenang lebih besar dalam pengelolaan lembaganya, pengambilan keputusan dilakukan secara partisipatif, dan partisipasi masyarakat akan semakin besar. Sekolah lebih luwes dalam mengelola lembaganya, pendekatan profesionalisme lebih diutamakan daripada pendekatan birokratis, pengelolaan sekolah lebih desentralistik. Perubahan sekolah lebih didorong oleh motivasi diri daripada diatur dari luar, regulasi pendidikan lebih sederhana, peranan pusat bergeser dari mengontrol menjadi mempengaruhi dan dari mengarahkan menjadi memfasilitasi dari menghindari risiko menjadi mengelola risiko, penggunaan uang lebih efisien karena sisa anggaran pada tahun yang lalu digunakan tahun berikutnya (efficiency based budgetting).
2.    Pengertian Manajemen Berbasis Madrasah
Menurut Malen, Ogawa dan Kranz manajemen berbasis sekolah/ madrasah secara konseptual dapat digambarkan sebagai suatu perubahan formal struktur penyelenggaraan sebagai suatu bentuk desentralisasi yang mengidentifikasi sekolah itu sendiri sebagai unit utama peningkatan serta bertumpu pada kewenangan pembuatan keputusan sebagai sarana penting dalam peningkatan.
Menurut Mulyasa MBS/M merupakan salah satu dari wujud reformasi pendidikan yang menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai. Otonomi dalam manajemen merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja para staf, menawarkan partisipasi langsung kelompok-kelompok tertentu, dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan.
Menurut Depdiknas (2001) Manajemen berbasis sekolah (MBS) atau “School Based Management” (SBM) merupakan bentuk alternatif yang dapat diartikan sebagai pengkoordinasian dan penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah (Stake Holders). MBS/M bertujuan memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan, keluwesan dari sumber daya untuk meningkatkan mutu sekolah dengan meningkatkan produktivitas sekolah, memberikan fleksibilitas, meningkatkan akutabilitas, mampu melakukan perubahan ke arah perbaikan.
Manajemen berbasis madrasah merupakan salah satu bentuk kebijakan pemerintah dalam bidang desentralisasi pendidikan dan merupakan salah satu implementasi dari pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan PP RI No. 25 tentang Otonomi Daerah.
Esensi manajemen berbasis madrasah adalah merupakan bentuk pengelolaan madrasah yang menjamin madrasah memiliki otonomi luas dalam mengelola sumber daya, melibatkan masyarakat dalam pengelolaan, serta tidak mengabaikan kebijakan nasional. Beberapa faktor yang merefleksikan kepentingan otonomi sekolah, yaitu terjaganya akutabilitas atau “accountability”, tercapainya staff, orang tua, dan siswa dalam pengambilan keputusan, dan tercapainya program-program pengembangan profesi dalam meningkatkan manajemen.
3.    Tujuan Penerapan Model MBM
Desain pengelolaan madrasah menggunakan MBM bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. MBM memberikan kekuasaan dan meningkatkan partisipasi madrasah dalam memperbaiki kinerja madrasah mencakup kepemimpinan madrasah, profesionalisme guru, layanan belajar peserta didik yang bermutu, manajemen madrasah yang bermutu, partisipasi orangtua peserta didik dan masyarakat.
Penerapan Manajemen Berbasis Madrasah bertujuan:
a.    Meningkatkan mutu pendidikan dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdaya sumber daya dan potensi yang tersedia.
b.    Meningkatkan kepedulian warga madrasah dalam menyelenggarakan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama.
c.    Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, sekolah, dan pemerintah tentang mutu sekolah.
d.    Meningkatkan kompetensi yang sehat antarmadrasah untuk pencapaian mutu pendidikan yang diharapkan.
4.    Prinsip Manajemen Berbasis Madrasah
Prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan MBM antara lain:
a.    Komitmen, kepala madrasah dan warga madrasah harus mempunyai komitmen yang kuat dalam upaya menggerakkan semua warga sekolah untuk ber-MBM
b.    Kesiapan, semua warga madrasah harus siap fisik dan mental
c.    Keterlibatan, pendidikan yang efektif melibatkan semua pihak
d.    Kelembagaan, madrasah sebagai lembaga adalah unit terpenting bagi pendidikan yang efektif.
e.    Keputusan, segala keputusan madrasah dibuat oleh pihak yang benar-benar mengerti pendidikan
f.    Kesadaran, guru-guru harus memiliki kesadaran untuk membantu dalam pembuatan keputusan program pendidikan
g.    Kemandirian, madrasah harus diberi otonomi sehingga memiliki kemandirian dalam membuat keputusan
h.    Ketahanan, perubahan akan bertahan lebih lama apabila melibatkan stakeholders madrasah
5.    Karakteristik MBS
Manajemen berbasis sekolah/ madrasah memiliki karakteristik sama dengan sekolah yang efektif, yaitu:
a.    Memiliki output, yaitu prestasi pembelajaran dan manajemen sekolah yang efektif.
b.    Efektifitas proses belajar mengajar yang tinggi
c.    Peran kepala madrasah yang kuat dalam mengkoordinasikan, menggerakkan, dan menyerasikan semua sumber daya pendidikan yang tersedia.
d.    Lingkungan dan iklim belajar yang aman, tertib, dan nyaman sehingga manajemen sekolah lebih efektif.
e.    Melakukan analisa kebutuhan, perencanaan, pengembangan, evaluasi kerja,, hubungan kerja, dan imbalan jasa tenaga kependidikan dan guru yang dapat memenuhi kebutuhan nafkah hidupnya sehingga mampu menjalankan tugasnya dengan baik.
f.    Pertanggungjawaban madrasah terhdap keberhasilan program yang telah dilaksanakan.
g.    Pengelolaan dan penggunaan anggaran yang sepantasnya dilakukan oleh madrasah sesuai kebutuhan riil untuk meningkatkan mutu layanan belajar. 
6.    Kepala madrasah Dalam Era MBM
Peran kepala madrasah dalam era MBM dapat dirinci sebagai berikut:
a.    Memiliki masukan manajemen yang lengkap dan jelas yang ditampilkan oleh kelengkapan administrasi serta kejelasan dalam tugas (apa yang harus dikerjakan), rencana (deskripsi produk yang akan dihasilkan) ketentuan-ketentuan/limitasi (peraturan perundang-undangan, kualifikasi spesifikasi, metode kerja, prosedur kerja, dan sebagainya) pengendalian (tindakan turun tangan), dan dapat memberikan kesan yang baik bagi lainnya.
b.    Memahami, menghayati, dan melaksanakan perannya sebagai manajer (mengkoordinasi dan menyerasikan sumber daya untuk mencapai tujuan), pemimpin madrasah memobilisasi dan memberdayakan sumber daya manusia), pendidik (mengajak murid untuk berubah, wirausahawan (membuat sesuatu bisa terjadi) penyelia( mengarahkan, membimbing dan memberi contoh), pencipta iklim kerja (membuat situasi kerja menjadi nikmati), pengurus/administrator (mengadministrasi), pembaru (memberi nilai tambah), dan pembangkit motivasi (menyemangatkan).
c.    Mampu menciptakan tantangan kinerjanya (di madrasah akan terjadi kesenjangan antara kinerja kenyataan dan kinerja harapan) berangkat dari sinilah, kemudian dirumuskan sasaran apa yang akan dicapai oleh sekolah, dilanjutkan dengan melakukan analisis (SWOT) dan berupaya mencari langkah-langkah pencegahannya.
d.    Menciptakan team work kompak/kohesif dan cerdas, serta menciptakan koneksi dan kesalingtergantungan antar fungsi dan antar warganya, sehingga membentuk suatu sistem yang utuh dan benar yang dapat menjamin kepastian dan kebermanfaatan hasilnya. Esensinya kepala madrasah mampu mengajak warganya untuk selalu berfikir sistem.
e.    Mampu menciptakan situasi dan menumbuhkan kreativitas dan memberikan peluang kepada warganya untuk melakukan eksperimentasi dalam rangka mencari penemuan-penemuan baru walaupun kurang akurat atau salah, sehingga dalam hal ini kepala madrasah mendorong warganya untuk mengambil risiko dan dilinsungi apabila hasilnya salah.
f.    Mampu dan sanggup menciptakan sekolah sebagai tempat belajar. Suatu lembaga pendidikan atau sekolah perlu penataan misalnya letaknya jauh dari kebisingan, suasana kelas yang sejuk. Mempunyai lapangan bermain saat beristirahat, sarana ibadah yang memadai, mempunyai lapangan olahraga, perpustakaan yang lengkap, laboratorium sebagai tempat siswa untuk praktik, dan yang lainnya sehingga sekolah benar-benar menjadi tempat belajar.
g.    Mampu dan mempunyai kesanggupan untuk melaksanakan manajemen berbasis madrasah sebagai konsekuensi logis dari pergeseran kebijakan manajemen dari manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis madrasah.
h.    Mampu memutuskan perhatian terhadap pengelolaan proses belajar-mengajar sebagai kegiatan utamanya, karena kegiatan-kegiatan lainnya dipandang sebagai kegiatan pendukung/penunjang proses belajar-mengajar, karena itu pengelolaan proses belajar mengajar dianggap memiliki tingkat kepentingan yang urgensi sehingga kegiatan ini dianggap komponen proses.
i.    Sanggup dan mampu memberdayakan madrasahnya, terutama sumberdaya manusia melalui pemberian kewenangan, keluwesan dan kemandirian sehingga nantinya komitmen yang tinggi dari warganya terhadap visi dan misi sekolah, tingkat kemandirian tinggi dan tingkat ketergantungan rendah, bersifat adaptif dan proaktif, sekaligus berjiwa kewirausahaan yang tinggi, bertanggung jawab terhadap hasil, memilki kontrol yang kuat terhadap input manajemen, komitmen yang tinggi terhadap dirinya dan dapat dimiliki oleh pencapian prestasinya. Adapun contoh yang dapat memberdayakan kepada warga madrasah: pemberian otonomik kepada warganya, penugasan kerja yang bermakna, pemecahan persoalan secara “team work”, variasi tugas, hasil kerja yang terukur, warga sekolah selalu didengar, ada penghargaan atas prestasi kerjanya atau ide-ide baru dan mengetahui bahwa warga madrasah adalah bagian terpenting dari madrasah.
    Kinerja mempunyai hubungan erat dengan produktivitas karena merupakan indikator dalam menentukan usaha untuk mencapai tingkat produktivitas organisasi yang tinggi. Sehubungan dengan hal tersebut maka upaya untuk mengadakan penilaian terhadap kinerja organisasi merupakan hal yang penting untuk mengetahui pekerjaan seseorang (kepala madrasah) sehingga perlu ditetapkan standar kinerja atau standard performance.
B.    Analisis Masalah di Lapangan
1.    Fenomena I
Kemenag: Pemda Harus Adil pada Madrasah
Sabtu, 10 April 2010, 01:15 WIB

Republika online JAKARTA--Kementerian Agama mendesak pemerintah daerah di seluruh Indonesia dari tingkat provinsi hingga kabupaten dan kota untuk memberikan perlakuan adil dan tidak diskriminatif pada madrasah. Hal itu karena siswa madrasah adalah warga negara dan memiliki hak untuk diperlakukan sama oleh pemda seperti siswa sekolah negeri.
'’Madrasah seharusnya mendapatkan perlakuan adil dan sama seperti daerah memperlakukan sekolah,’’ kata Direktur Pendidikan Madrasah Kemenag, Firdaus, kepada Republika, Jumat, (9/4). Menurut Firdaus, hingga akhir tahun lalu, jumlah seluruh madrasah tingkat MI, MTs, dan MA di Indonesia mencapai sekitar 40.218 buah. Dari jumlah itu, hanya 8,6 persen berstatus sebagai madrasah negeri. Sisanya 91,4 persen merupakan madrasah swasta yang dibiayai secara swadaya oleh masyarakat.
Firdaus menyebutkan, perbandingan porsi terbalik terjadi pada data jumlah sekolah umum tingkat SD, SMP, SMA, dan SMK. Sekitar 80 persen sekolah umum di Indonesia berstatus negeri dan sisanya 20 persen swasta. Hal ini berarti jumlah sekolah negeri yang didukung anggaran pemerintah yang bersumber dari pajak masyarakat jauh lebih besar dibandingkan madrasah negeri. Lebih sedikitnya jumlah madrasah negeri dibandingkan sekolah negeri disebabkan keterbatasan alokasi anggaran. Madrasah negeri hanya mendapatkan alokasi anggaran pengembangan pendidikan dari pemerintah pusat melalui Kementerian Agama. Sedangkan, sekolah negeri tidak hanya mendapatkan alokasi anggaran pendidikan dari pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan Nasional, tapi juga pemerintah daerah. Hal itu sehingga pengembangan kuantitas dan kualitas madrasah negeri tidak secepat sekolah negeri.
Menurut Firdaus, sebagian besar pemda tidak bertanggung jawab pada pengembangan pendidikan di madrasah negeri. Mereka menganggap madrasah negeri adalah milik Kemenag, jadi tidak perlu dibiayai anggaran daerah. Sedangkan, sekolah negeri merupakan tanggung jawab bersama pemerintah pusat dan daerah. ‘’Mereka menilai madrasah itu tanggung jawab vertikal pemerintah pusat dan mereka juga menggunakan alasan UU Otonomi Daerah,’’ katanya.

 Analisis:
Di dalam UU Nomor 22 tahun 1999, pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa “Agama merupakan bidang pemerintahan yang tidak di otonomikan”. Dalam Kemenag terdapat sekolah-sekolah keagamaan yang dalam hal ini Madrasah Ibtidaiyah (MI) Madasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA), sehingga pemerintah daerah menilai madrasah itu menjadi tanggung jawab vertikal pemerintah pusat dan terjadi perbedaan perlakuan terhadap sekolah umum dan madrasah.
Dalam upaya merespon desentralisasi pendidikan, Departemen Agama telah melayangkan Surat Menteri Agama nomor : MA/407/2000 tanggal 21 November 2000 yang diarahkan kepada Menteri Dalam Negeri dan otonomi daerah.surat itu berisi : Kewenangan penyelenggaraan pendidikan agama (PAI) pada sekolah umum dan penyelengaraan Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah diserahkan kepada Daerah Kabupaten dan   kewenanagan lain di bidang pendidikan sebagaimana dimaksud dalam PP No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom. Bab II pasal 2 ayat (3) angka II sepanjang yang menyangkut agama masih di bawah wewenang Departemen Agama.
Di Indonesia terdapat kelembagaan madrasah yang jumlahnya cukup signifikan. Jumlah MA sebanyak 4.687 (86 % diantaranya swasta), MTs sebanyak 12.054 (90% diantaranya swasta), dan MI sebanyak 23.517 (93% diantaranya swasta). Kabupaten Blora terdapat 163 MI diantaranya hanya ada satu MI negeri dan 162 MI swasta. Masyarakat Madrasah banyak yang menyampaikan keluhannya terutama dalam akses otonomi daerah. Berbeda dengan eksistensi sekolah, di beberapa daerah madrasah memang belum diterima secara bulat sebagai asset daerah.
2.    Fenomena II
Kemenag Belum Serius Urus Madrasah dan  Pesantren
|Selasa, 14 Februari 2012 | 09:33 WIB

JAKARTA, KOPAS.com  Pemerintah, khususnya Kementerian Agama, diminta serius meningkatkan kualitas madrasah dan pesantren. Apalagi, lembaga pendidikan Islam ini bisa menjadi cermin bagi kemajuan pendidikan umat Islam dan anak negeri ini. ”Saat ini masih banyak masalah yang dihadapi Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Agama dalam meningkatkan kualitas madrasah dan pesantren,” kata anggota Komisi VIII DPR, Jazuli Juwaini, di Jakarta, Selasa (14/2/2012).
Sehari sebelumnya pada rapat kerja dengan kepala kanwil Kemenag se-Indonesia di Jakarta, menurut Jazli, ia sudah menyampaikan sejumlah solusi yang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas lembaga pendidikan Islam.
”Pendidikan Islam membutuhkan solusi yang tepat dan strategis sehingga tidak dipersepsikan lagi sebagai pendidikan kelas dua. Saya sangat mendukung peningkatan anggaran dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan, namun dari Kemenag juga harus berbenah dalam pengelolaan madrasah dan pesantren,” ujarnya.
Kementerian Agama merupakan salah satu yang tidak diotonomikan sehingga pertanggungjawabannya secara vertikal termasuk pendidikan Islam. ”Walaupun ada beberapa usulan yang meminta madrasah dan pesantren dilebur saja dengan kementerian yang mengurusi pendidikan, saya akan terus mempertahankan karena madrasah dan pesantren memiliki keunikan sendiri yang tidak dapat dimengerti oleh yang lain,” jelas Jazuli.
Analisis:
Pemerintah khususnya Kementerian Agama haruslah melakukan upaya-upaya yang mampu meningkatkan mutu madrasah karena Madrasah Ibtidaiyah memiliki berbagai karakter dan keunikan. Madrasah Ibtidaiyah  didirikan dan dikelola oleh tokoh Agama yg memiliki prototype kepribadian Muslim tertentu. Seringkali karakter sang tokoh sebagai pendiri sekaligus menjadi karakter Madrasah Ibtidaiyah. Bahkan Madrasah Ibtidaiyah itu identik dengan karakter pendiri dan pengelolanya, terutama Madrasah Ibtidaiyah swasta. Madrasah itu sebetulnya pondok pesantren plus dan sekolah plus. Keunggulan Sekolah Dasar itu terletak pada sistem pendidikan modern terutama mata pelajaran umum dan Bahasa Inggris. Keunggulan Pondok Pesantren itu terletak pada sistem pendidikan tradisional yg memiliki keunggulan dari segi kepribadian, rumpun mata pelajaran Agama Islam dan Bahasa Arab. MI adalah SD (unggul pada sistem pendidikan modern terutama mata pelajaran umum) plus kepribadian Muslim, Pendidikan Agama Islam, dan Bahasa Arab.
Madrasah merupakan lembaga pendidikan Islam yang dalam sejarah telah melahirkan intelektual-intelektual bermoral karena nilai-nilai keagamaan sangat kental dalam sistem pendidikannya. Selain itu, madrasah juga menjadi media perjuangan untuk mempertahankan kelestarian ajaran-ajaran Islam. Untuk itulah, seharusnya, proses pembelajaran dan pendidikan di madrasah harus terus dilestarikan dan dikembangkan dengan memberikan porsi perhatian yang seimbang mengingat peran krusial yang diemban oleh madrasah. Posisi madrasah tidak dapat digantikan oleh lembaga-lembaga lain, sebab kelahiran madrasah merupakan upaya menjawab kebutuhan masyarakat akan pendidikan agama. Lembaga pendidikan ini menawarkan konsep pendidikan yang berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Ciri khas madrasah lebih dari hanya sekadar penyajian mata pelajaran agama saja. Artinya, ciri khas tersebut bukan hanya sekadar menyajikan mata pelajaran agama Islam di dalam lembaga madrasah tetapi yang lebih penting ialah perwujudan dari nilai-nilai keislaman di dalam totalitas kehidupan madrasah. Suasana madrasah yang demikian dapat melahirkan budaya madrasah yang merupakan identitas lembaga pendidikan madrasah. Otonomi lembaga pendidikan madrasah hanya dapat dipertahankan apabila madrasah tetap mempertahankan dirinya sebagai pendidikan yang berbasis masyarakat (community-based education).
3.    Fenomena III
Lima Sekolah di Biak Dapat Bantuan Dana MBS
Selasa, 14 Pebruari 2012, 06:29 WIB
REPUBLIKA.co.id, BIAK - Lima sekolah di Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua mendapat dukungan dana bantuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk pengembangan manajemen berbasis sekolah (MBS) masing-masing sebesar Rp 15 juta/sekolah.
Sekretaris Dewan Pendidikan Biak Tjipto Prawira SE,MM di Biak, Selasa (14/2) mengakui, lima sekolah yang menerima dana program MBS terdiri atas tiga sekolah di antaranya SD YPK Wafnor, SD Santo Yosef 2 serta SD Madrasah Ibtidaiyah DDI Mandouw. "Untuk tingkat SMP dua sekolah yang menerima dukungan bantuan dana MBS yakni SMP negeri 3 dan SMP negeri 5, anggaran langsung ditranfer ke rekening sekolah," kata Tjipto. Ia mengakui, dua dari lima sekolah penerima dana MBS tahun 2011 hingga ssat ini belum ditranfer rekening sekolah SD Santo Yosef 2 dan Madrasah Ibtidaiyah DDI Mandouw.
Masalah keterlambatan pemberian dana pengembangan MBS, lanjut Tjipto, karena menyangkut rekening sekolah bersangkutan merupakan milik pribadi. "Sesuai aturan bantuan dana program pengembangan MBS dari pemerintah pusat untuk lima sekolah harus ditranfer langung ke rekening sekolah bukan milik pribadi," ujarnya. Tjipto mengakui, tiga sekolah penerima dana MBS telah memanfaatkan penggunaannya untuk melakukan sosialisasi kepada komite sekolah, dewan guru serta pihak berkepentingan di wilayah ini. "Harapan saya pengelolaan bantuan dana pengembangan MBS meski sedikit harus digunakan tepat sasaran untuk kemajuan pendidikan di sekolah bersangkutan," kata mantan Kepsek SMP Negeri 3 Biak ini. Berdasarkan data sejak tahun 2004 hingga saat ini pengembangan program MBS di berbagai sekolah kabupaten Biak Numfor mendapat pembinaan dan intervensi program dari badan dunia Unicef.
Analisis:
Dengan adanya bantuan dana tersebut semoga dapat dimanfaatkan dengan tepat sasaran dan tepat waktu. Jangan sampai dana tersebut hanya dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu dan tidak digunakan sebagaimana mestinya. Dana ini sangat mendukung bagi perkembangan Manajemen Berbasis Madrasah. Perlu adanya monitoring dan evaluasi dalam pelaksanaan kebijakan MBM supaya tidak terjadi penyelewengan dalam pengelolaan dana khususnya.
4.    Fenomena IV
Mutu Madrasah Harus Ditingkatkan
Kamis, 22 Maret 2012 | 06:15 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) dituntut untuk lebih memperhatikan sekolah-sekolah berbasis agama atau madrasah. Sampai saat ini, banyak madrasah yang belum mampu menyelenggarakan pendidikan bermutu bagi peserta didiknya.
Wakil Ketua Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama Pusat, Masduki Baidhowi mengatakan, ketimpangan mutu pendidikan di madrasah yang terjadi antara kota dan daerah disebabkan oleh banyak hal. Beberapa diantaranya adalah dikotomi kebijakan pemerintah antara sekolah negeri dan swasta, keterbatasan sekolah-sekolah di daerah terpencil dalam memperoleh guru yang kompeten, sarana prasarana yang lengkap, serta kelengkapan sumber materi ajar.
"Lembaga-lembaga ini (madrasah) terdiskriminasi secara masif. Kemdikbud harus memperhatikan ini," kata Masduki di sela-sela diskusi pendidikan bertajuk "Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Inovasi Teknologi Pendidikan", di gedung PBNU, Jakarta, Rabu (21/3/2012). Ia mengungkapkan, diskriminasi pada madrasah umumnya terjadi di level daerah.
Hal itu terjadi lantaran madrasah masih menjadi tanggungjawab pemerintah pusat. Berbeda dengan sekolah lainnya (jenjang pendidikan dasar), yang sudah menginduk dan menjadi kewenangan pemerintah daerah. Semestinya, kata dia, Kemdikbud dapat benar-benar membuka akses pendidikan madrasah agar haknya dapat sama rata dengan sekolah lain yang menjadi tanggungjawab pemerintah. "Yang bertanggungjawab itu Kemdikbud, bukan Kementerian Agama. Termasuk jika terjadi kegagalan pada peningkatan mutu, Kemdikbud harus bertanggungjawab," pungkasnya.
Analisis:
Salah satu cara untuk meningkatkan mutu MI adalah melalui pengelolaan MI secara professional disertai dengan memperkuat plusnya. Pengelola MI adalah pemerintah dan masyarakat. Pengelola berusaha memenuhi 8 standar pendidikan, terutama standar-standar yg memang pada umumnya masih kurang, seperti standar proses, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan.
Peningkatan mutu MI merupakan tanggung jawab bersama, baik itu pemerintah dan masyarakat. Kurang bijaksana kiranya jika saling menyalahkan siapa yang bertanggung jawab atas rendahnya mutu pendidikan di madrasah ibtidaiyah. Pemerintah haruslah adil dan tisak membeda-bedakan antara sekolah negeri dan sekolah swasta, sekolah yang dibawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atau dibawah Kementerian yang lainnya.
Jika pendidikan diserahkan dalam satu naungan di bawah Kemdikbud dan tidak mengurangi ciri khas dari pendidikan yang ada di naungan kementrian Agama, penulis merasa tidak masalah. Hal yang lebih penting adalah mengusahakan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia sehingga tujuan pendidikan tercapai secara efektif dan efisien.
5.    Fenomena V
14.000 Kepala Madrasah Studi Manajemen Pendidikan
| Benny N Joewono | Minggu, 4 Desember 2011 | 22:52 WIB
SEMARANG, KOMPAS.com - Kementerian Agama mengirim sekitar 14.000 kepala madrasah dan pengawas di seluruh wilayah Indonesia untuk belajar manajemen pendidikan dengan menggandeng perguruan tinggi setempat.
"Itu memang program kami, tahun ini total 14.000 kepala madrasah dan pengawas dapat pelatihan," kata Kepala Seksi Pengawas Madrasah Direktorat Pendidikan Madrasah Kementerian Agama R. Nurul Islam di Semarang, Minggu (4/12/2011).
Hal tersebut diungkapkannya usai membuka Pendidikan dan Pelatihan Kepala Madrasah Jawa Tengah di Kampus II Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) PGRI Semarang.
Menurut dia, pelatihan kepala madrasah itu dilakukan dengan menggandeng perguruan tinggi setempat, untuk Jateng menggandeng Universitas Sains Alqur’an (Unsiq) Wonosobo dan IKIP PGRI Semarang.
Ia mengakui, kompetensi kepala madrasah di bidang agama memang tidak perlu diragukan, namun kompetensi di bidang manajerial pendidikan masih kurang, diiringi sarana dan prasarana madrasah yang mereka kelola.
Sekitar 92 persen madrasah di Indonesia, kata dia, berstatus swasta yang tentunya kelangsungan hidup dan pemenuhan sarana prasarana mereka bergantung kepada pendanaan masyarakat.
"Kebanyakan kepala madrasah ini bahkan belum pernah tersentuh pelatihan manajemen pendidikan semacam ini sama sekali. Karena itu, kami beri mereka pelatihan dengan menggandeng perguruan tinggi," katanya.
Rektor IKIP PGRI Semarang Muhdi menyatakan mendukung langkah Kemenag menggandeng perguruan tinggi untuk membantu peningkatan kompetensi para kepala madrasah dan pengawas di lingkup kementerian itu.
Ia mengakui, kondisi madrasah berbeda dengan sekolah umum, sebab banyak madrasah yang didirikan dengan prinsip "ikhlas beramal" dalam artian mereka harus berjuang keras untuk menyelenggarakan pendidikan.
"Sebagian besar madrasah memang swasta. Apalagi dengan prinsip ’ikhlas beramal’ itu. Mereka tentunya kesulitan meningkatkan kompetensi tenaga pendidiknya, termasuk kepala sekolah," katanya.
Selain pelatihan manajemen pendidikan, Muhdi menekankan pelatihan itu juga mencakup penanaman nasionalisme dan cinta tanah air kepada peserta didik yang menjadi tugas pendidik, di samping transfer ilmu.
Pelatihan yang berlangsung selama tujuh hari itu memberikan berbagai materi di antaranya pendidikan dan analisis dalam penelitian tindakan kelas (PTK) dan diikuti oleh sekitar 800 kepala madrasah di Jateng.
Analisis:
Dalam mengembangkan Madrasah haruslah dimulai dengan mengembangkan faktor kuncinya, yaitu sumberdaya manusianya yang meliputi kepala Madrasah, guru-guru, staf administrasi, pengurus yayasan/BP3, dan pejabat Kandepag atau Kanwil Depag yang mengurusi Madrasah. The man behind the gun lebih menentukan daripada the gun-nya.
Usaha pengembangan Madrasah yang berhasil menuntut agar seluruh, atau sebagian besar, personil Madrasah tersebut melakukan perubahan-perubahan pada pekerjaan mereka sehari-hari yang telah mereka lakukan bertahun-tahun: cara mengajar, cara melayani siswa, cara kerja, dsb.  Mungkin, sebagian besar dari mereka merasa kikuk dan tidak siap untuk melakukan hal itu.  Dalam hal ini, Kandepag/Kanwil dapat memainkan peran untuk mengatasi hal itu.  Kandepag atau Kanwil dapat membantu Madrasah yang mempunyai potensi untuk berkembang (dan ingin berkembang) dalam hal peningkatan wawasan, pengetahuan,  ketrampilan dan kemampuan para kepala madrasahnya sebagai pemimpin pendidikan.
Kandepag/Kanwil dapat melakukan penataran kepala madrasah di bidang ini dengan memanfaatkan para ahli yang ada di Fakultas Tarbiyah, Diklat, maupun IKIP di wilayah mereka. Peningkatan wawasan, pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan ini kemudian dapat dilanjutkan sampai ke guru-guru, staf non-guru, dan pengurus yayasan/BP3.
Dalam menentukan mitra yang ahli dalam bidang manajemen, kemenag haruslah lebih bijaksana. Misalnya apakah perguruan tinggi yang digandeng tersebut benar-benar ahli dalam bidang menejemen, sehingga usaha yang dilakukan dengan anggaran biaya yang tidak sedikit tersebut dapat efektif dan mencapai tujuan yang diharapkan.
C.    Hambatan dalam Penerapan MBM
Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan Manajemen Berbasis Madrasah adalah:
1.    Tidak Berminat Untuk Terlibat. Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.
2.    Tidak Efisien. Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif         adakalanya menimbulkan frustrasi dan sering kali lebih lamban     dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan     sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas,     bukan pada hal-hal lain di luar itu.
3.    Pikiran Kelompok. Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit pikiran kelompok. Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
4.    Memerlukan Pelatihan. Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan      besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model     yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak     memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS     sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, dan     komunikasi.
5.    Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru. Pihak-pihak yang     terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja     yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan     tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang     mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan     kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab     pengambilan keputusan.
6.    Kesulitan Koordinasi. Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah. Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah dilibatkan sejak awal, mereka dapat memastikan bahwa setiap hambatan telah ditangani sebelum penerapan MBM. Dua unsur penting adalah pelatihan yang cukup tentang MBM dan klarifikasi peran dan tanggung jawab serta hasil yang diharapkan kepada semua pihak yang berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat harus memahami apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yang dapat dibagi, oleh siapa, dan pada level mana dalam organisasi.

D.    Manajemen Pengelolaan MI Masa Depan Menurut Penulis
Madrasah Ibtidaiyah memiliki berbagai karakter dan keunikan. Madrasah Ibtidaiyah  didirikan dan dikelola oleh tokoh Agama yg memiliki prototype kepribadian Muslim tertentu. Seringkali karakter sang tokoh sebagai pendiri sekaligus menjadi karakter Madrasah Ibtidaiyah. Bahkan Madrasah Ibtidaiyah itu identik dengan karakter pendiri dan pengelolanya, terutama Madrasah Ibtidaiyah swasta.
Posisi madrasah tidak dapat digantikan oleh lembaga-lembaga lain, sebab kelahiran madrasah merupakan upaya menjawab kebutuhan masyarakat akan pendidikan agama. Lembaga pendidikan ini menawarkan konsep pendidikan yang berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Ciri khas madrasah lebih dari hanya sekadar penyajian mata pelajaran agama saja. Artinya, ciri khas tersebut bukan hanya sekadar menyajikan mata pelajaran agama Islam di dalam lembaga madrasah tetapi yang lebih penting ialah perwujudan dari nilai-nilai keislaman di dalam totalitas kehidupan madrasah. Otonomi lembaga pendidikan madrasah dapat dipertahankan apabila madrasah tetap mempertahankan dirinya sebagai pendidikan yang berbasis masyarakat (community-based education).
Pengelolaan Madrasah Ibtidaiyah agar efektif dan efisien dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut:
1.    Analisis SWOT keseluruhan fungsi madrasah yang diperlukan untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Untuk mengetahui tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya dicapai melalui membandingkan faktor dalam kondisi nyata dengan faktor dalam kriteria kesiapan. Dari analisis SWOT nantinya akan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam perancangan Visi dan Misi Madrasah sehingga dapat mengetahui keunggulan-keunggulan dan kelemahan dan bagaimana mengubah hambatan MI menjadi sebuah kesempatan.
2.    Sumber Daya Manusia yang Kompeten, Kreatif, Mau dan Mampu untuk     Berubah menjadi lebih Baik.
        Dalam pengelolaan MI dibutuhkan SDM yang berkualitas, kompeten,     kreatif. Dengan memiliki SDM yang demikian maka kekurangan-    kekurangan lain seperti fasilitas, sarana dan prasarana dapat ditutupi.
3.    Memperkuat plus/ keunikan MI
Keunggulan Sekolah Dasar itu terletak pada sistem pendidikan modern terutama mata pelajaran umum dan Bahasa Inggris. Keunggulan Pondok Pesantren itu terletak pada sistem pendidikan tradisional yg memiliki keunggulan dari segi kepribadian, rumpun mata pelajaran Agama Islam dan Bahasa Arab. MI adalah SD (unggul pada sistem pendidikan modern terutama mata pelajaran umum) plus kepribadian Muslim, Pendidikan Agama Islam, dan Bahasa Arab.
4.    Menarik Animo Masyarakat
Dapat dilakukan dengan melakukan suatu kegiatan yang dapat menarik perhatian masyarakat, seperti menampilkan keunggulan-keunggulan yang ada di MI, kegiatan drumband, lomba pidato bahasa asing, dll. Dengan melihat beragam kegiatan yang ditampilkan, secara bertahap masyarakat akan mempercayakan putra-putrinya untuk sekolah di MI
5.    Mengadakan program-program unggulan
Program-program unggulan yang dapat dilakukan seperti: mengadakan ekstrakurikuler sesuai bakat dan minat peserta didik, pidato bahasa Asing, Musik, Modelling, Menyanyi, Sains, dll.
6.    Menjalin kerjasama dengan orang tua dan masyarakat
Hal ini dapat dilakukan dengan adanya kegiatan parent day. dimana wali murid yang memiliki profesi atau life skill tertentu diberikan kesempatan untuk mengajar. Program ini membantu terjalinnya hubungan baik antara pihak sekolah dan para wali murid sehingga tercipta iklim belajar yang lebih kondusif.
Selain mampu meningkatkan kompetensi siswa, hari orang tua (parent day) juga merupakan upaya meningkatkan kesadaran orang tua akan tanggung jawab dalam melaksanakan perannya sebagai pendukung kemampuan bersosialisasi anak dan pengembangan mereka.
7.    Memiliki Badan Usaha
    Madrasah memiliki suatu badan usaha yang sesuai dengan keadaan ekonomi dan keterampilan masyarakat sekitar. Misalnya memiliki usaha Koperasi tani, percetakan, bengkel, kolam ikan, apotek hidup dll. Hal ini dapat dimanfaatkan sebagai media pembelajaran bagi peserta didik. Dengan begitu peserta didik seudah dilatih sejak dini untuk berwira usaha. Hasil keuntungan dapat dimanfaatkan untuk mensejahterakan guru dan karyawan. Meskipun madrasah swasta, tetapi mampu memberikan kesejahteraan guru dan karyawan sehingga guru termotivasi dan semangat dalam mengajar. Sesuai dengan teori Maslow bahwa untuk meningkatkan motivasi seseorang maka haruslah dipenuhi kebutuhan dasarnya.
8.    Meningkatkan fasilitas
Diharapkan tersedianya alat-alat atau fasilitas belajar yang memadai secara kuantitatif, kualitatif dan relefan dengan kebutuhan dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan proses pendidikan dan pengajaran, baik oleh guru sebagai pengajar maupun murid-murid sebagai pelajar.
9.    Model Boarding School
Dengan model boarding school atau asrama maka peserta didik akan lebih mendapatkan banyak pendidikan. Ia akan dapat bersosialisasi dengan teman-temannya, melatih kemandirian dan hidup bermasyarakat, dapat dikontrol dengan baik kegiatan-kegiatan yang dilakukannya, meminimalisasi pengaruh-pengaruh buruk dari lingkungan. Selain itu dengan model boarding school maka dapat meningkatkan ibadah peserta didik, dengan shalat jamaah bersama, kegiatan mengaji, dll.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
MBM merupakan salah satu strategi dalam peningkatan mutu madrasah. Esensi MBM adalah otonomi madrasah. Salah satu metode pendekatan pengelolaan manajemen madrasah bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan semua warga sekolah melalui pemberian kewenangan dan keluwesan untuk peningkatan mutu. Dalam konsepnya baik manajemen berbasis sekolah atau madrasah merupakan suatu bentuk kebijakan desentralisasi yang memberikan otonomi yang luas kepada sekolah dan madrasah agar dapat meningkatkan mutu pendidikan, tetapi dalam prakteknya masih ada perlakuan-perlakuan yang berbeda oleh pemerintah dalam memperhatikan antara sekolah dan madrasah. Madrasah di bawah naungan kementerian agama dimana agama merupakan hal yang tidak diotonomikan, sehingga dirasa bukan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.
Kepala madrasah sebagai motor penggerak dituntut untuk memiliki  kemampuan manajerial yang dapat menggerakkan seluruh kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah (stake holders) untuk mencapai tujuan sekolah tersebut. Adanya perubahan dari pola manajemen lama (sentralisasi) ke pola baru (desentralisasi) yang lebih bernuansa otonomi dan demokrasi yang menuntut pola perubahan dalam pengelolaan pendidikan, yaitu ke arah manajemen berbasis madrasah (MBM).
B.    Rekomendasi
    Dari kesimpulan diatas bahwa mamanajemen berbasis madrasah ini sesuai dengan hakikat madrasah itu sendiri yakni berbasis masyarakat. Dalam penerapan manajemen berbasis madrasah diperlukan SDM yang berkualitas, kompeten, dan kreatif. Kepala madrasah sebagai leader harus mampu membawa MI menuju MI yang unggul bermutu dan berkualitas. Para stake holder yang harus mau dan mampu untuk berubah menuju yang lebih baik. Madrasah harus open manajement terutama masalah keuangan sehingga dapat dipertanggungjawabkan.


DAFTAR PUSTAKA

Abu-Duhou, Ibtisam. 2002. School-Based Management. Jakarta: Logos Wacana Ilmu

Arikunto, Suharsimi. 2008. Manajemen Pendidikan. Yogyakarta: Aditya Media.

Danim, Sudarwan. 2006. Visi Baru Manajemen Sekolah. Jakarta: Bumi Aksara.

Hidayat, Ara dan Imam Machali. 2010. Pengelolaan Pendidikan. Bandung: Pustaka Educa.

Mulyasa, E. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: Rosdakarya.

_______, E. 2005. Menjadi Kepala Sekolah Profesional. Bandung: Rosdakarya.

Rifai, Veithzal dan Sylviana Murni. 2009. Education Management. Jakarta: RajaGrafindo Persada

Sagala, Syaiful. 2010. Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Usman, Husaini. 2008. Manajemen Teori Praktik dan Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Wahjosumidjo. 2002. Kepemimpinan Kepala Sekolah. Jakarta: Rajawali Press

Kompas. “Kemenag Belum Serius Urus Madrasah dan  Pesantren”. Kompas.co.id. diakses pada tanggal 14 Februari 2012

Kompas. “Mutu Madrasah Harus Ditingkatkan”. Kompas.co.id. diakses pada tanggal 22 Maret 2012

Kompas. “14.000 Kepala Madrasah Studi Manajemen Pendidikan” Kompas.co.id. diakses pada tanggal 4 Desember 2012

Republika. “Lima Sekolah di Biak Dapat Bantuan Dana MBS”. Republika.co.id. diakses tanggal 14 Pebruari 2012

Republika. “Kemenag: Pemda Harus Adil pada Madrasah”. Republika.co.id. diakses tanggal 10 April 2010




Tidak ada komentar:

Posting Komentar